Aroma Moderasi di balik Peleburan Kemenristek



Pemerintah resmi menghapus Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Banyak pihak menyayangkan, karena penguasa dianggap mengorbankan Kemenristek untuk mendirikan Kementerian Investasi.


Namun, menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian, perubahan nomenklatur dua kementerian tersebut hanya kebetulan saja dilakukan serentak. Ia membantah anggapan penghapusan Kemenristek agar pemerintah dapat membentuk Kementerian Investasi (Tempo.co, 10/4/2021).


Faktanya, peleburan dua kementerian tersebut bukanlah penggantian nomenklatur semata. Karena, jika pemerintah memang sungguh-sungguh ingin memajukan perkembangan riset di Indonesia. Harusnya, memaksimalkan kinerja Kemenristek. Sayangnya, sesuai Surat Presiden (Surpres) Jokowi nomor R-14/Pres/03/2021 pemerintah justru memilih Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai lembaga otonom di bawah presiden yang mengelola riset.


Menurut Mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan di Kantor Staf Presiden (KSP), Yanuar Nugroho peleburan Kemenristek menunjukkan pemerintah tidak menjadikan kegiatan penelitian sebagai prioritas. Padahal, riset akan menghasilkan inovasi yang akan membantu pemerintah. Tanpa riset, tidak akan ada kemajuan (detiknews.com, 12/4/2021).


Akan tetapi, jika ditelisik lebih dalam. Ada hal yang masyarakat tidak sadari, yakni adanya dikte secara politis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Hal tersebut bisa dinilai salah satunya dari pernyataan petinggi BRIN. 


Pemerintah melalui Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko mengonfirmasi bahwa petinggi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akan menjadi Dewan Pengarah BRIN. Namun, Handoko mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu detil UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) (CNNIndonesia.Com, 30/4/2021).


Miris! Riset merupakan salah satu hal penting dalam peradaban manusia. Melalui riset, berbagai ilmu pengetahuan baru bermunculan dan teknologi terkini terus dikembangkan. Melalui riset pula, berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia besar kemungkinan bisa diselesaikan. Berdasarkan UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, riset digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan pembangunan.


Sayangnya, dengan menjadikan BRIN sebagai lembaga independen dan justru melebur Kemenristek sangat mengesankan dunia riset disetir kepentingan politik praktis. Hal ini jelas terlihat dari naskah RUU HIP yang banyak menyinggung soal BRIN.


Hal tersebut juga diungkap Dipo Alam dalam tulisannya yang berjudul 'Lembaga Ristek dalam Bayang-Bayang Indoktrinasi' di laman Kumparan, 11/4/2021. Menurutnya, sangat ganjil, naskah RUU yang seharusnya fokus pada bagaimana melembagakan nilai-nilai Pancasila, namun ternyata banyak sekali memuat soal BRIN.


Ada lima pasal dalam RUU HIP yang secara tegas menyebut BRIN, yaitu Pasal 35, 38, 45, 48 dan 49. Salah satu pasal yang disinggung Dipo yakni pasal Pasal 48 ayat (6) RUU HIP, yang berbunyi: “Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.” Dipo lalu melanjutkan "yang dimaksud sebagai 'Ketua dewan pengarah' dalam RUU HIP adalah ketua dewan pengarah dari badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan ideologi."


Rocky Gerung juga ikut mengomentari kebijakan ini. Dia mengatakan bahwa BRIN mengingatkannya pada Adolf Hitler, seorang diktator Jerman yang berpahamkan ideologi fasisme. Menurut penilaian Rocky, arah kebijakan pemerintah terkait BRIN tampak mirip dengan apa yang dilakukan Hitler dahulu yang berpolitik untuk memurnikan bangsa Jerman. Hanya saja, Rocky belum mengetahui pasti atas apa yang sedang ingin dimurnikan oleh Pemerintahan saat ini (terkini.id, 12/4/2021).


Kalau kita lihat faktanya di Indonesia, berdasarkan data World Population Review, jumlah penduduk muslim di Tanah Air hingga tahun 2020 mencapai 229 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk 273,5 juta jiwa. Kemudian, jika kita kaitkan dengan kebijakan Kemendikbud belum lama ini yang menghapus frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan. Dikhawatirkan, kolaborasi antara BRIN dan BPIP merupakan upaya menggerus pemikiran Islam di Tanah Air.


Sungguh memprihatinkan. Ilmu pengetahuan yang sejatinya merupakan inovasi sebagai fondasi dalam merumuskan arah dan tujuan bernegara. Dijadikan kaki tangan penghamba materi dan kebebasan. Parahnya, kebijakan tersebut juga tidak luput dari disusupi isu paham sosialisme.


Apalagi jika kita melihat asas BPIP yang menjunjung tinggi nilai toleransi, jelas aroma moderasi kian menyengat. Ilmu pengetahuan yang sejatinya bisa membuat seseorang semakin bertambah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt., justru digunakan sebagai alat menjauhkan manusia dari Sang Pemilik jagat raya. Jangan sampai masa depan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di tanah air dipertaruhkan untuk kepentingan sekularis dan liberalis.


Selain itu, Ketua Dewan Pengarah BRIN yang digadang-gadang berasal dari BPIP notabene adalah seorang petinggi partai. Oleh karenanya, selain memperkuat dugaan BPIP hendak mengendalikan BRIN, hal tersebut juga menunjukkan, paham kapitalisme semakin mencengkram negeri ini. Berdasarkan penjabaran di atas, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sarat sekularisasi dan liberalisasi.


Wajar jika publik beranggapan pemerintah mengorbankan Kemenristek untuk Kementerian Investasi dan BRIN. Karena, riset membutuhkan dana tidak sedikit. Maka, atas nama investasi penguasa menjadikan riset sebagai umpannya. Kapitalisme menjadikan untung-rugi sebagai standar dalam pengembangan riset dan inovasi.


Selain itu, melalui ALMI Hawis Madduppa, 

Akademi Ilmuwan Muda Indonesia berpesan agar negara mencegah dan menghindari upaya teknokratisme pengetahuan. Menurutnya, prasyarat untuk pembaruan yang menuju penguatan iklim pengembangan riset adalah menegaskan posisi negara untuk tidak menjadikan lembaga riset, universitas, dan pendidikan tinggi sebagai institusi korporatisme negara (Tempo.co, 2/5/2021).


Sejalan dengan hal tersebut, Rocky Gerung mengemukakan bahwa jika hal itu terjadi, dikhawatirkan nantinya akan ada kekacauan. Karena, pihak-pihak yang ingin melakukan riset hanyalah yang disetujui oleh partai. Maka, akan rawan terjadi riswah (suap) dan membuka celah korupsi (terkini.id, 12/4/2021).


Oleh karena itu, masyarakat harus sadar bahwa menjadikan sistem demokrasi kapitalisme yang berasaskan memisahkan agama dengan kehidupan, serta paham kebebasan sebagai pijakan hanya akan membuat rakyat semakin sengsara. Arus moderasi yang digencarkan di semua lini, nyatanya memasung perkembangan ilmu pengetahuan. Tentunya, hal itu hanya akan membuat rakyat terpenjara dalam kebodohan.


Berbeda dengan aturan Islam yang sangat mengapresiasi para ilmuwan. Sejarah mencatat, Daulah Islam kala itu tidak segan mengalokasikan anggaran besar untuk melakukan riset. Tidak heran, jika para penemu Islam kelas dunia seperti Al Khawarizmi, Ibnu Al Haitam dan Al Batani menorehkan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. 


Hanya dengan aturan Islam, ilmu pengetahuan, riset dan teknologi akan benar-benar dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Islam menjamin sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan bagi semua rakyat tanpa terkecuali, wallahualam bishawab. 


Oleh Anggun Permatasari

Posting Komentar

0 Komentar