"Assasinasi" KPK, Untuk Siapa?



Kisruhnya berita pemecatan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus berlanjut hingga kini. Dinilai hal tersebut tidak logis dan terlalu mengada-ada hanya dikarenakan tidak lolosnya mereka dalam tes wawasan kebangsaan. Adanya tes wawasan kebangsaan yang harus dilalui oleh pegawai KPK bukan berarti menjadi penentu masuk tidaknya mereka menjadi ASN.


Seperti yang dijelaskan oleh pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar bahwa KPK saat ini sudah berada di ranah eksekutif. Karena itu, seharusnya Presiden Jokowi memerintahkan menkopolhukam untuk menegur ketua KPK Firli Bahuri dan membatalkan keputusan pimpinan KPK untuk menonaktifkan 75 pegawai yang dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan.


Menurutnya, ada salah penafsiran dalam penerapan undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang status pegawai KPK yang dinyatakan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). “Seharusnya, begitu UU yang baru berlaku, maka dengan sendirinya seluruh pegawai KPK langsung otomatis menjadi ASN, bahwa ada tes wawasan itu seharusnya bukan untuk menentukan orang masuk atau tidak menjadi ASN,” ujarnya.


Lanjutnya lagi, Abdul Fickar menerangkan bahwa mengingat test masuk KPK harus dianggap sebagai bagian dari test masuk ASN, jika ada kelemahan dalam wawasan kebangsaan dengan ukuran hasil test seharusnya dilakukan pembekalan dan penambahan wawasan, bukan memutus hak pegawai KPK sebagai ASN. (sindonews.com, 21/05/2021).  


Pun, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Saut Situmorang mengatakan, dirinya sudah melihat portofolio 75 orang pegawai KPK yang tidak lolos TWK tidak perlu diragukan wawasan kebangsaannya. Saut menambahkan, pihak yang menentukan lolos atau tidaknya pegawai KPK tersebut harus melihat portofolio para pegawai sehingga dapat menilai integritas dan catatan mereka selama bekerja di KPK. (Kompas.com, 23/05/2021). 


Sebagai contohnya, di dalam kasus ini ternyata ada salah satu pegawai yang tak lolos TWK adalah Sujanarko, seorang Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, yang pernah menerima piagam Satyalancana Wira Karya dari presiden Joko Widodo karena dianggap warga negara yang punya dharma bakti besar terhadap nusa dan bangsa, lalu melalui test yang hanya dalam dua jam ia dinyatakan tidak Pancasilais, tidak berwawasan kebangsaan, dan ini sebuah anomali. 


Sungguh ironis jika ‘penyingkiran’ tersebut terlaksana, sebab kejadian ini menjadi sebuah sinyal lanjutan akan ‘pembunuhan’ dari sebuah institusi penegakkan hukum pemberantasan korupsi di negeri ini. Dilansir dari BBC News Indonesia, 12/05/2021, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan sejumlah nama dalam daftar mereka  yang tak lolos TWK memiliki rekam jejak panjang dalam pemberantasan korupsi. Salah satunya, Novel Baswedan.


“Ada yang menangani kasus korupsi bansos, suap benih lobster, pencarian Harun Masiku, kasus KTP elektronik. Kami menduga penyingkiran ini dilakukan atas motif supaya perkara-perkara ini tak dikembangkan ke pihak-pihak lain, pengungkapan kasus juga dikhawatirkan terganggu.” ujar Kurnia.  


Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Giri Suprapdiono. Dimana, dari 75 pegawai KPK yang dibebastugaskan itu, Sembilan diantaranya merupakan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) yang sedang menangani kasus-kasus besar di KPK. Sembilan Satgas itu, tujuh diantaranya di bagian penyidikan dan dua lainnya dibagian penyelidikan. 


Giri menyayangkan jika ada yang menyinggung bahwa 75 pegawai yang dibebastugaskan tersebut hanya segelintir saja. Sebab, mereka yang dibebastugaskan adalah pegawai-pegawai KPK yang berintegritas dan terlebih sedang menangani kasus besar. “Kalau kemudian ada narasi kan Cuma 75 orang, dari 1200 an,  nanti dulu, 1200 itu penyidiknya enggak sampai 100, jadi yang diambil disini hampir 20 penyidik penyelidik yang dari ratusan,” tandasnya. (Sindonews.com, 22/05/2021).


Meskipun, Hingga akhirnya setelah melalui perdebatan panjang disepakati bersama hanya 24 pegawai saja yang lolos dan akan dilakukan pembinaan. Hal tersebut diungkapkan oleh Pimpinan KPK usai menggelar rapat bersama Menpan RB, Kepala BKN dan Menkumham. “Dari hasil pemetaan asesor dan kita sepakati dari 75 ada 24 pegawai, dari 75 tadi yang masih dimungkinkan untuk dilakukan pembinaan sebelum diangkat menjadi ASN. Terhadap 24 tadi nanti akan mengikuti pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan.” tutur Alex saat jumpa pers di Kantor BKN, Jakarta, Selasa (25/5/2021). 


Terlihat jelas, pemecatan kini 51 orang pegawai KPK tersebut akan membuat langkah pemberantasan korupsi mengalami hambatan lebih banyak lagi. Komisi Pemberantasan Korupsi sedang “sekarat” akibat penyelenggaraan TWK yang illegal, demikian menurut pandangan peneliti ICW Kurnia Ramadhana.


Mengapa dikatakan illegal? “Sebab, TWK diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 tahun 2021 (Perkom 1/2021). Padahal Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih status kepegawaian KPK,” kata Kurnia dalam keterangannya (wartaekonomi.co.id, 27/05/2021). 


Polemik kasus tersebut secara nyata memperlihatkan kebobrokan dari sistem demokrasi yang saat ini dianut negeri ini. Hukum dan Undang-Undang yang diberlakukan secara “ugal-ugalan” dan semaunya sendiri begitu terlihat dengan jelas. Siapapun pembuat hukum dibalik polemik ini, yang pasti ia adalah orang yang memiliki kekuasaan dan juga kekuatan modal yang begitu besar, sehingga dengan mudahnya bisa “membeli” hukum di negeri ini. Rusaknya sistem yang ada, ditambah tidak amanah dan bejatnya moral orang-orang yang yang berkuasa akan mempercepat runtuhnya negeri tercinta ini. Apakah hal itu yang kita inginkan? Tidakkah kita ingin memperbaikinya dengan kembali kepada sistem yang sahih? sistem yang tidak diragukan lagi kebenaran dan keunggulannya, karena aturan dan hukum tersebut bukan berasal dari pemikiran dan hawa nafsu manusia. 


Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh Anjar Rositawati

Posting Komentar

0 Komentar