Benarkah Agama dapat Menerima Sistem Politik Mana pun



Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, dalam webinar Tadarus Demokrasi Seasion I, bertema Relasi Agama dan Demokrasi, Sabtu (17/04), menyatakan agama – khususnya Islam, dapat menerima sistem politik dan pemerintahan apapun, baik demokrasi, kerajaan, monarki, otokrasi, teokrasi dan sistem lainnya. Namun, benarkah agama dapat menerima sistem politik mana pun?


Menurutnya, agama itu peraturan dan normanya, prinsipnya, datang vertikal, dari Tuhan. Pedoman hidup manusia. Wahyu Tuhan yang wajib diikuti sesuai keyakinan. Sementara demokrasi hanya model dan sistem di dalam bernegara. Normanya lahir secara horizontal.  Ia pun menambahkan,  urusan cara dan sistem hidup bernegara, prinsip organisasi pemerintahannya diserahkan kepada masing-masing pemeluk agama. (tribunnews.com, 18/04).


Pernyataan Mahfud MD  tersebut makin menyesatkan dan menampakkan hipokrisi konsep yang ditawarkan. Selain itu, jika memang agama menerima sistem politik dan pemerintahan apa pun, mengapa tidak menguji kelayakan sistem khilafah? Mengapa justru alergi dan terus menyerang serta menyesatkan informasi tentang sistem khilafah? Mengapa ketika kaum Muslimin ingin memasukkan syariat Islam dalam UU dan kebijakan negara justru dihalangi?


Kenyataannya dalam sistem demokrasi ini sama sekali tidak memberikan ruang bagi umat Islam untuk berbicara dan berdiskusi tentang khilafah. Pada dasarnya, Barat sebagai pengusung sistem demokrasi, sudah paham betul apabila adanya keterlibatan Islam dalam sistem politik dan sistem pemerintahan, akan mengantarkan umat kepada kemuliaan. Maka dari itu, apa pun yang melibatkan Islam di dalamnya, pasti akan dihalangi.


Menurut Abdul Qadim Zalum (1990), demokrasi sangat bertentangan dengam hukum-hukum Islam, baik sumber kemunculannya, akidah yang mendasarinya, ide maupun peraturan yang dibawanya. Demokrasi lahir dari sebuah akidah sekuler yang senantiasa memisahkan antara agama dengan kehidupan. Bukan berarti demokrasi mengingkari keberadaan agama, tetapi senantiasa menghapuskan peran agama dalam kehidupan bernegara.  


Alhasil dalam sistem demokrasi, manusia diberikan wewenang untuk membuat peraturan hidupnya sendiri. Akidah sekuler inilah yang akhirnya melahirkan sebuah konsep berpikir bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Dengan demikian, rakyat memiliki wewenang sebagai pembuat hukum dan bertindak sebagai pelaksana hukum.


Berbeda dengan Islam, Islam dibangun atas landasan akidah Islamiyah. Manusia tidaklah diberikan wewenang dalam mengatur hidupnya sendiri, serta mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah, baik kehidupan maupun bernegara. Kedaulatan dalam Islam berada di tangan Allah SWT sebab hanya Allah yang layak sebagai pembuat hukum.  “…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS al-Anaam: 57). Islam sama sekali tidak memberikan wewenang kepada manusia sebagai pembuat hukum sendiri dan mengabaikan aturan yang sudah Allah tetapkan. 


Demokrasi mendudukkan posisi rakyat sebagai sumber kekuasaan, yang artinya rakyat dapat memilih penguasa yang mereka kehendaki untuk menerapkan peraturan yang dibuatnya dan memutuskan perkara berdasarkan peraturan yang sudah dibuat.  Hal ini jelas sangat bertentangan dengan Islam. Sebab Islam menetapkan umat memiliki hak memilih penguasa yang akan menerapkan perintah dan larangan Allah atas umat, bukan untuk menerapkan peraturan yang dibuat oleh manusia. 


Salah satu konsep dalam sistem demokrasi yang paling menonjol adanya kebebasan bagi tiap-tiap individu. Konsep ini merupakan prinsip penting dalam jalannya sistem demokrasi yang memastikan tiap-tiap individu dapat melakukan suatu hal berdasarkan kehendaknya, tanpa tekanan atau paksaan. Konsep kebebasan yang ada dalam demokrasi, di antaranya kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan bertingkah laku.


Konsep ini jelas bertentangan dengan Islam. Kebebasan beragama dalam konsep demokrasi memiliki arti siapa pun boleh memilih memeluk/meninggalkan agamanya. Sedangkan Islam tidak memaksakan seseorang untuk memeluk/masuk Islam. Tapi, Islam mengharamkan Muslim untuk meninggalkan akidah Islam. 


Sudah begitu nyata, ketidaksesuaian antara demokrasi dengan Islam. Tapi tidak sedikit kaum Muslim mengambil, mengamalkan dan menyebarluaskan dengan alasan Islam masih sejalan dengan demokrasi. Kenyataannya, demokrasi dijadikan alat untuk melemahkan Islam untuk menghadang perjuangan umat Islam dalam menegakkan syariat Islam.


Maka dari itu, jika ada yang menyatakan agama dapat mengakui sistem politik mana pun, selain sistem khilafah sebagai sistem yang menjalankan aturan Islam secara kaffah, ini berarti menyalahi fakta syariat dan menujukkan ketidakpahaman terhadap sistem tersebut, sekaligus telah menyesatkan umat dari sistem yang benar. []


Oleh Maya Amellia Rosfitriani, Mahasiswi Universitas Gunadarma


Posting Komentar

0 Komentar