Berharap Apa dari Kota Layak Anak?



Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) pada 6 April 2021. Peraturan ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (6) Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Isi Perpres KLA yakni kabupaten/kota dengan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh dan berkelanjutan. Adapun perlindungan anak didefinisikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak, sebagaimana dimaksud dalam perpres ini, adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Depok merupakan salah satu kota yang terpilih menjadi ‘kota layak anak’, bahkan telah meraih penghargaan kota layak anak selama tiga kali berturut-turut dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPA) pada 2017, 2018 dan 2019 dengan predikat Nindya dan kategori yang sama.

Predikat Nidya yang diraih Kota Depok, bagi beberapa pihak mengindikasikan pencapaian prestasi tersendiri dari Pemkot Depok. Hanya saja kita tidak bisa menutup mata pada  beberapa fakta yang terjadi di antaranya berbagai kriminalitas remaja, pencabulan “manula” terhadap 5 anak, Penyiksaan orang tua terhadap anak. Hal ini membuat Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Aris Merdeka Sirait, mendesak Pemerintah Kota Depok supaya segera mengevaluasi status ‘kota layak anak’ yang disandang Depok. (Kompas, 18/3/2021).

Bahkan menurutnya, saat ini kekerasan dan kejahatan anak di Kota Depok sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan data yang menempatkan Depok diurutan keempat kota di Indonesia yang paling banyak kasus kekerasan anak.

Di waktu yang berbeda, psikolog anak Seto Mulyadi atau kerap disapa Kak Seto bahkan  meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengevaluasi predikat layak anak yang disandang Kota Depok, Jawa Barat pada pertengahan 2020 lalu.

Walaupun sudah dilengkapi dengan berbagai perangkat perundang-undangan, seperti Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok Nomor 15 Tahun 2013 tentang KLA, sebagai perda yang paling pertama dibuat se-wilayah Jabar. Kemudian diperinci dengan dibuatnya Perwal Depok No 3 Tahun 2020 tentang pedoman pembentukan puspaga dan pelayanan ramah anak, serta kondisi terbaru bahwa sudah terdapat 11 kecamatan 63 kelurahan dan 236 RW menyatakan menjadi wilayah ramah anak, akan tetapi  perwujudan  Kota Depok layak anak masih perlu banyak evaluasi, jangan sampai menjadi kondisi jauh panggang dari api. Dari fakta di atas, berharap apa dari kota layak anak?


Telaah Kritis terhadap Program Kebijakan KLA

Perlindungan dan pemenuhan hak anak adalah tanggung jawab negara. Termasuk negara wajib memastikan agar semua perangkat sistem mulai dari pemerintah pusat hingga daerah menjalankan misi yang sama.

Berikut beberapa telaah kritis terhadap KLA: Pertama, program KLA yang masih terbatas pada daerah tertentu menunjukkan kelemahan negara menyediakan fasilitas dan perangkat yang menjangkau seluruh warga negara, khususnya bagi anak. Artinya anak-anak di luar jangkauan KLA harus menerima pil pahit tidak bisa mendapat akses pemenuhan hak.

Kedua, tampak indikasi KLA lebih banyak mengacu penyiapan fasilitas dan pemberian hak fisik. Sedangkan banyak kebutuhan non fisik anak yang tidak diperhatikan, seperti hak anak untuk mendapat pendidikan dan lingkungan-media yang mengukuhkan fitrah akidah Islamnya, hak mendapat pembiasaan ketaatan syariat saat banyak syariat diserang dan dipersoalkan seperti  taat berpakaian sesuai syariat dianggap radikal. Akan tetapi industri fashion dan media yang mencontohkan pakaian dan perilaku liberal sangat marak dan bebas menjangkau seluruh kalangan generasi.

Ketiga, pengarusan KLA murni berpijak pada persoalan lokal dan mengacu ke nilai lokal Ataukah hanya mengadopsi program global UNICEF, dengan cara pandang sekuler dan merekomendasikan solusi liberal terhadap berbagai masalah atas nama HAM dan hak anak. Poin ini bertentangan dengan perspektif dan solusi Islam. Salah satunya,  definisi anak [di Indonesia] adalah individu berusia 18 tahun yang berakibat tidak boleh ada beban hukum/taklif, sedangkan di dalam Islam maksimal usia 15 tahun sudah mukalaf. Apabila definisi anak yang 18 tahun tadi dipraktikkan luas, berbahaya. Akhirnya anak tidak boleh dilatih taat syarat dan seorang mukalaf tidak diperintah salat.

Keempat, kasus kekerasan pada anak dan kejahatan anak tetap cenderung meningkat. Kekerasan kepada anak terutama fisik dan seksual justru kian marak di banyak tempat. Bahkan setelah lebih dari sepuluh tahun yang lalu sejak Komnas Perlindungan Anak menetapkan status Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak, nyatanya kasus demi kasus terus bertambah. 

Sebagaimana diketahui, korban kekerasan seksual besar kemungkinan akan menjadi pelaku di kemudian hari jika tidak tuntas dalam penanganannya. Kasus kekerasan fisik menyasar anak pun angkanya terus meningkat. Sebagaimana yang diungkap Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap anak selama kurun 2020 saja meningkat 38 persen.

Sungguh problem yang menimpa anak saat ini akibat diterapkannya sistem sekularisme kapitalisme, sebagaimana problem yang dihadapi rakyat di kelompok usia lain. Maka solusinya harus menghentikan sistem sekularisme dan mengadopsi sistem Islam.


Hentikan Sistem Sekularisme dan Adopsi Sistem Islam

Tidak mungkin kita bisa menyelesaikan masalah kekerasan dan kejahatan anak jika yang melakukannya hanya individu atau keluarga. Negara memiliki beban sebagai pengayom, pelindung dan benteng bagi keselamatan seluruh rakyatnya, demikian juga anak. Nasib anak menjadi kewajiban negara untuk menjaminnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yagn memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Al-Bukhari, Muslim)

Negara adalah benteng sesungguhnya yang melindungi anak-anak dari kejahatan. Mekanisme perlindungan dilakukan secara sistemik, melalui penerapan berbagai aturan, yaitu: Pertama, Penerapan sistem ekonomi Islam. Beberapa kasus kekerasan anak terjadi karena fungsi ibu sebagai pendidik dan penjaga anak kurang berjalan. Karena tekanan ekonomi memaksa ibu untuk bekerja meninggalkan anaknya. Bahkan musibah besar pernah terjadi ketika seorang ibu tega memutilasi darah dagingnya sendiri karena tidak kuat menghadapi kesulitan hidup. Ada juga anak yang terpaksa menghidupi dirinya sendiri dengan menjadi anak jalanan yang rawan tindak kekerasan dan kejahatan. 

Terpenuhinya kebutuhan dasar merupakan masalah asasi manusia. Karenanya, Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang cukup dan layak agar para kepala keluarga dapat bekerja dan mampu menafkahi kelaurganya. Sehingga tidak ada anak yang terlantar; krisis ekonomi yang memicu kekerasan anak oleh orang tua yang stress bisa dihindari; para perempuan akan fokus pada fungsi keibuannya (mengasuh, menjaga, dan mendidik anak) karena tidak dibebani tanggung jawab nafkah.

Kedua, penerapan sistem pendidikan. Negara wajib menetapkan kurikulum berdasarkan akidah Islam yang akan melahirkan individu bertakwa. Individu yang mampu melaksanakan seluruh kewajiban yang diberikan Allah dan terjaga dari kemaksiatan apa pun yang dilarang Allah. Salah satu hasil dari pendidikan ini adalah kesiapan orang tua untuk menjalankan salah satu amanahnya yaitu merawat dan mendidik anak-anak, serta mengantarkan mereka ke gerbang kedewasaan.


Ketiga, penerapan sistem sosial. Negara wajib menerapkan sistem sosial yang akan menjamin interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan berlangsung sesuai ketentuan syariat. Di antara aturan tersebut adalah: perempuan diperintahkan untuk menutup aurat dan menjaga kesopanan, serta menjauhkan mereka dari eksploitasi seksual; larangan berkhalwat; larangan memperlihatkan dan menyebarkan perkataan serta perilaku yagn mengandung erotisme dan kekerasan (pornografi dan pornoaksi) serta akan merangsang bergejolaknya naluri seksual. Keitka sistem sosial Islam diterapkan tidak akan muncul gejolak seksual yang liar memicu kasus pencabulan, perkosaan, serta kekerasan pada anak.


Keempat, pengaturan media massa. Berita dan informasi yang disampaikan media hanyalah konten yang membina ketakwaan dan menumbuhkan ketaatan. Apapun yang akan melemahkan keimanan dan mendorong terjadinya pelanggaran hukum ysara akan dilarang keras.


Orang tua juga mempunyai peranan penting dalam menyayangi anak-anak, mendidiknya, serta menjaganya dari ancaman kekerasan, kejahatan, sedrta terjerumus pada azab neraka (QS at-Tahrim ayat 6. Salah satu materi pendidikan yang harus diberikan orang tua adalah terkait syariat Islam menyangkut hukum yakni batasan aurat; konsep mahram; khalwat; menundukkan pandangan; batasan berinteraksi dengan orang lain; baik dalam memandang, berbicara, berpegangan atau bersentuhan; pemisahan tempat tidur; hukum meminta izin dalam 3 waktu aurat. Pemahaman yang menyeluruh terhadap hukum-hukum Islam menjadi salah satu benteng yang akan menjaga anak dari terjebak pada kondisi yang mengancam dirinya.


Sementara, masyarakat juga wajib melindungi anak-anak dari kekerasan. Masyarakat wajib melakukan amar ma’ruf nahiy munkar. Masyarakat tidak akan membiarkan kemaksiatan massif terjadi di sekitar mereka. Budaya saling menasihati tumbuh subur dalam masyarakat Islam. Jika ada kemaksiatan atau tampak ada potensi munculnya kejahatan, masyarakat tidak akan diam, mereka akan mencegahnya atau melaporkan pada pihak berwenang.


Masyarakat juga wajib mengontrol peranan negara sebagai pelindung rakyat. Jika ada indikasi negara abai terhadap kewajibannya atau tidak mengatur rakyat berdasarkan aturan Islam maka masyarakat akan mengingatkannya.

Semestinya negara bertanggung jawab menghilangkan penyebab utamanya yaitu penerapan ekonomi kapitalis, penyebaran budaya liberal, serta politik demokrasi. Masyarakat juga mesti meminta negara menerapkan Islam secara kaffah dalam institusi khilafah. Ketika khilafah tegak maka Islam akan menjadi rahmat bagi semesta alam, anak-anak pun akan tumbuh dan berkembang dalam keamanan dan kenyamanan serta jauh dari bahaya yang mengancam. Aamiin.[]


Oleh Cucun Cunia K,

Aktivis Dakwah


Posting Komentar

0 Komentar