Demokrasi Biang Perusak Tananan Sosial



 Isu Radikalisme kian hari semakin merebak dan tidak ada habisnya diperbincangkan. Seolah tidak ada bahasan lain yang lebih urgen. Terlebih fokus mereka terhadap kaum intelektual yang diduga sebagai target rekrut calon terorisme yang memiliki paham radikal.


Tak tanggung-tanggung Badan Intelegen Nasional (BIN) melakukan penelitian, untuk membuktikan keseriusan mereka dalam memberantas Radikalisme di kalangan intelektual. Dikutip Matanewsnet menurut Budi, kalau mahasiswa yang dalam sejarah sebagai motor penggerak perubahan hingga tercipta masyarakat madani, malah tergoda untuk menjadi perusak tatanan sosial dan politik gara-gara paham radikalisme. (matanewsnet, 26/04/2021)


Pernyataan di atas membuat kita berpikir ulang apakah benar orang-orang yang dianggap radikal menurut versi mereka dianggap perusak tatanan sosial dan politik.Terlebih yang mereka maksud adalah sekelompok orang yang setuju akan jihad demi tegaknya negara Islam, dilihat dari hasil penelitian BIN diperoleh data  24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA. Selain dituduh perusak tatanan sosial dan politik mereka pun dituduh "mengancam" keberlangsungan NKRI dan target calon teroris. (matanewsnet, 26/04/2021)


Tentu saja hal demikian sangat menyakiti hati kaum muslimin. Pasalnya jihad merupakan salah satu ajaran Islam. Jihad disini dapat berarti bersungguh-sungguh dalam mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada baik dengan perkataan maupun perbuatan. Sebagaimana hadis Rasulullah saw,


افضل الجهاد کلمة حق عند سلطا ن خاءر


"Jihad yang paling utama adalah ucapan yang haq dihadapan penguasa yang lalim." (HR.at-Tirmidzi)


Adapun apabila kita cermati  perusak tatanan sosial dan politik adalah mereka Sumber daya manusia (SDM) yang lahir dari sistem demokrasi itu sendiri. Dimana, ketika demokrasi masih diemban dan digembar-gemborkan oleh mereka sebagai sistem yang kompatibel dengan masyarakat majemuk. Nyatanya menjunjung tinggi ide kebebasan bertingkah laku.


Hal demikian menjadikan harkat martabat manusia semakin merosot sampai pada derajat binatang yang sangat rendah. Ide kebebasan yang diemban oleh mereka didikan  sistem demokrasi telah menyeret mereka untuk hidup serba boleh (permissiveness) yang menjijikan sebagai mana firman Allah Swt,


أرأيت من اتخذا إلهه هوا ه أفأنت تکون عليه وکسلأم تحسب أن أکسرھم يسمعون أو يعقلون إنھم إلا لأنعم بل هم أضل سبيل


"Terangkanlah kepada-Ku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu dapat mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memahami? mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya ( dari binatang ternak itu." (QS: Al-Furqan: 43-44)


Dengan demikian, merekalah yang sesungguhnya biang perusak tatanan sosial. Kehidupan yang serba bebas tanpa batas demi memuaskan hawa nafsu. Selain itu,  merekapun telah menyeret umat pada politik kotor. Dimana, aturan manusia dianggap sebagai tuhan yang berkuasa.


Seyogyanya, tatkala para intelektual mulai sadar terhadap ajarannya yakni jihad menuju penegakan Negara Islam tidak sepantasnya memberikan label-label radikal. Karena radikalisme adalah hegemoni yang dipropagandakan oleh Barat untuk memonsternisasi ajaran Islam sendiri. Kesadaran inilah sepatutnya didukung agar tercipta kembali tatanan sosial maupun politik dalam kehidupan ini jauh lebih baik dari pada fakta hari ini. Bukan malah menuduh calon teroris yang memiliki pemikiran radikal kepada pergerakan yang memperjuangkan Islam di kampus.


Sepanjang sejarah ketika Islam diterapkan dalam institusi negara maka akan melahirkan keharmonisan dalam tatanan masyarakat. []


Wallahu a´lam bishawab.


Oleh Sri Mulyati

Mahasiswi


Posting Komentar

0 Komentar