Dalam rangka mengurangi beban berat di wilayah DKI Jakarta saat ini. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Gde Sumarjaya Linggih mendukung rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur (Kaltim). Dia mengatakan bahwa selain memiliki masalah ekologis, potensi kebencanaan di Jakarta cukup tinggi (antaranews.com, 19/4/2021).
Selain itu, dia menambahkan bahwa Jakarta sudah menanggung banyak beban baik sebagai Ibu Kota Negara, pusat birokrasi, pusat perputaran ekonomi, perdagangan, dan lainnya. Hal tersebut, lanjutnya, membuat Jakarta tidak lagi gesit untuk mengejar infrastruktur dalam rangka mengimbangi populasi yang berkembang pesat (antaranews.com, 19/4/2021).
Namun, jika ditinjau lebih dalam dan memang benar ingin mengurangi beban Jakarta. Memindahkan ibu kota bukanlah solusi. Hal itu dikarenakan Jakarta akan tetap menjadi pusat perekonomian, bisnis, dan keuangan bahkan di wilayah ASEAN. Bahkan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap berada di Jakarta. Hal itu disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro (asiatoday.id, 29/8/2019).
Tentunya, pusat perekonomian dan bisnis, apalagi setingkat Asia perlu infrastruktur memadai sebagai penunjang. Besar kemungkinan tidak akan ada perbedaan signifikan geliat aktivitas warga Jakarta nanti dengan yang hari ini terjadi.
Bambang menambahkan bahwa yang perlu dipahami adalah pemindahan ibu kota adalah untuk membangun pusat pemerintahan baru, bukan meninggalkan Jakarta. Lalu, mengapa tidak dibenahi saja sistem, aturan dan manajemen pemerintahannya? Bukankah pemindahan ibu kota justru malah membebani negara dan rakyat karena memerlukan biaya tidak sedikit?
Dilansir dari laman liputan6.com, 26/8/2019,
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa biaya untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan mencapai RP466 triliun. Dia menjelaskan bahwa sebesar 19 persen akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terutama dengan skema kerja sama pengelolaan aset di ibu kota. Sedangkan, sisanya akan didiperoleh dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) serta investasi langsung swasta dengan Badan Usaha Milik negara (BUMN).
Sudah menjadi pemahaman publik bahwa investasi merupakan kata utang yang diperhalus.Tentu rencana tersebut akan menambah beban utang negara. Parahnya, saat ini situasi keuangan negara sedang dalam kondisi morat marit. Belum lagi, utang luar negeri yang terus menumpuk.
Dilansir dari bi.go.id, 16/3/2021, Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Januari 2021 tercatat sebesar 420,7 miliar dolar AS, terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar 213,6 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 207,1 miliar dolar AS, miris!
Lagipula, masuknya investasi swasta maupun asing justru mengkapitalisasi fasilitas publik. Sehingga, menyebabkan harga-harga melonjak dan sulit dijangkau.
Jika dikatakan saat ini Jakarta tidak lagi bisa mengejar infrastruktur dalam rangka mengimbangi populasi yang berkembang pesat. Pertanyaannya, populasi siapa? Nyatanya, kebanyakan ASN yang bekerja di Jakarta justru berdomisili di luar Jakarta. Karena, harga rumah ataupun apartemen di wilayah Jakarta sangat mahal. Oleh karena itu, hampir setiap kementerian yang ada di Jakarta menyediakan fasilitas bus jemputan untuk pegawainya seperti ke wilayah Tangerang, Bekasi dan Bogor. Bahkan, tidak sedikit pegawai kantor Pemprov DKI Jakarta berdomisili di luar Jakarta.
Selain itu, Ketua Pelaksana Kegiatan Kajian Kolaborasi Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Cianjur (Jabodetabekjur) yang juga Sekretaris Komisi I Dewan Riset Daerah (DRD Jakarta), Eman Sulaeman Nasim mengatakan bahwa saat ini pertumbuhan ekonomi Jakarta sudah lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia Jakarta dan daerah sekitarnya relative lebih baik dan lebih maju. Selain itu, Jakarta telah ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kegiatan bisnis serta keberadaan Lembaga Pendidikan menengah dan tinggi yang berkualitas (bisnis.com, 4/12/2019).
Kenyataan tersebut tentunya akan sangat sulit bagi ASN. Mereka membutuhkan penyesuaian jika harus pindah ke Kaltim. Pasalnya, hal itu berpengaruh terhadap banyak aspek. Salah satunya, mereka harus mengurus kepindahan tempat pendidikan anak-anak mereka. Bisa jadi, terbatasnya ketersediaan fasilitas publik yakni pendidikan dan kesehatan misalnya, di ibu kota baru membuat ASN harus bolak-balik Jakarta-Kalimantan karena tidak diikuti kepindahan keluarganya.
Selain terkait masalah Jakarta dan terdapat banyak peristiwa yang menunjukkan betapa asing terutama Cina sangat berkepentingan memfasilitasi banyak proyek pembangunan infrastruktur di ibu kota baru. Ibarat makanan, pembangunan ibu kota baru menjadi bancakan para pemodal. Pembangunan digencarkan dalam rangka menghidupkan interkoneksi untuk mempermudah arus keluar-masuk orang, barang dan jasa maupun modal (investasi).
Oleh karena itu, pemerintah harus cermat agar tidak memberikan dampak stagnasi ekonomi yang berkepanjangan bagi negeri. Mengingat, kondisi ekonomi Indonesia pada kurun waktu 5 tahun terakhir pertumbuhan ekonominya hanya pada kisaran 4.88% – 5.17%, jauh dari target yang ditetapkan dalam APBN (CNBCIndonesia.com, 24/10/2019).
Saat KTT Belt and Road Initiative (BRI) di Beijing pada bulan April 2019, setidaknya, sebanyak 23 Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding–Mou) dari 28 proyek strategis yang ditawarkan, telah ditandatangani pebisnis Indonesia dan Cina (CNNIndonesia.com, 13/5/2019).
Jadi, wajar saja jika banyak pihak yang tidak setuju bahkan su'udzon kepada pemerintah. Bahwa terdapat banyak kepentingan di balik rencana pemindahan ibukota. Maklumlah, sistem politik yang diadopsi Indonesia saat ini adalah sistem yang disokong oleh korporasi. Sehingga, politik kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari permainan para pemodal. Bahkan, para pemilik modal lah yang menjadi penopang utama kekuasaan.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang shahih. Dalam aturan Islam, negara tidak boleh membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan rakyat, apalagi sampai menggadaikan kedaulatannya. Aturan Islam, menutup celah bagi siapapun yang berhasrat menguasai aset-aset strategis negara yang bisa menjadi jalan penjajahan asing atas wilayah negara meski hanya sejengkal.
Negara dalam Islam, wajib memastikan seluruh kebijakannya dibuat untuk kemaslahatan rakyat dan menjaga kedaulatan negara. Sistem pemerintahan Islam berasaskan Al Quran dan assunnah dan berlandaskan ketakwaan.
Negara dalam Islam, akan memaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki, untuk menyejahterakan rakyatnya dengan pendekatan person to person, baik untuk hal terkait kebutuhan dasar maupun terkait kebutuhan komunal alias layanan publik. Dan ini niscaya, karena dengan penerapan sistem ekonomi Islam, negara akan memiliki modal cukup untuk membangun tanpa harus tergantung kepada permodalan dan bantuan tenaga asing.
Islam menetapkan, seluruh sumber daya alam dalah milik rakyat. Baik kekayaan alam yang berupa air, energi maupun hutan. Sehingga, tidak diperkenankan pihak manapun menguasainya, sekalipun atas izin negara. Bahkan negara tidak boleh membuka celah ketergantungan pada asing, dengan alasan apapun.
Pastinya, sistem Islam akan melahirkan pemimpin yang amanah. Dengan demikian, mereka pun sadar bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya:
“Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat" (HR. Ath-Thabrani).
“Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran" (HR. Tirmidzi).
Wallaahu a’lam bi ash-shawwab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar