Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) awal tahun 2020 memprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan berpotensi meningkat. Salah seorang penelitinya, Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan bahwa pemerintah perlu tetap waspada dan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di 2020.
Hal itu dikarenakan kondisi yang dialami Indonesia pada 2019 sejalan dengan dinamika perekonomian global yang penuh dengan ketidakpastian. Namun Indonesia masih terbilang aman walaupun terjadi penurunan pada pertumbuhan ekonomi nasional secara year-on-year (yoy) (Kompas.com 7/2/2020).
Tak lama setelah prediksi ini, datanglah wabah yang tak disangka-sangka. Harapan besar akan adanya peningkatan ekonomi, sirnalah sudah. Tak hanya di Indonesia, pun di seluruh dunia merasakan dampaknya. Seluruh sektor lumpuh, karena masyarakat harus dirumahkan dan perekonomian tidak berjalan.
Tahun 2020 memang merupakan tahun yang berdarah-darah bagi semua industri dan hal itu berefek hingga saat ini, sebagai contoh adalah industri waralaba. Walaupun diprediksi tahun ini akan mulai bergeliat kembali, namun seperti dilansir dari CNBC Indonesia.com bahwa bisnis waralaba (franchise) banyak yang mengalami tekanan keuangan yang berat. Sama halnya pada bisnis ritel, restoran, hingga hotel.
Ketua Komite Tetap Bidang Waralaba Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Levita Ginting Supit mengatakan ada 15% atau sekitar 953 gerai waralaba tutup sementara ataupun permanen selama pandemi Covid-19 (20/4/2021).
“Berdasarkan survei, sekitar 15 persen atau 953 gerai itu tutup sementara atau tutup permanen dari total 5.621 gerai dari 30 brand (merek). Sekitar 14 persen atau 762 gerai itu dimiliki franchisor (pihak pemberi waralaba) dan 86 persen atau 4.859 gerai itu dimiliki oleh franchisee", lanjutnya.
Termasuk dari ratusan gerai tersebut, muncul nama restoran cepat saji asal negeri paman Sam yang puluhan tahun merambah nusantara dan gerainya terdapat di mana-mana. Terjangan pandemi Covid-19 memang merata, tak hanya menerjang bisnis rumahan saja, namun juga waralaba kelas kakap tersapu olehnya.
Hal ini jelas menandakan bahwa ekonomi Indonesia masih terguncang. Seperti dilansir dari Detik.com bahwa setelah satu tahun wabah Covid-19 melanda, ada beberapa yang ditinggalkan olehnya.
Yaitu pertama, negeri ini masih dalam keadaan resesi. Bhima Yudistira mengatakan bahwa, dengan masih rendahnya aktivitas ekonomi, tekanan pada daya beli masyarakat, penurunan kembali PMI manufaktur dari 52,2 pada Januari 2021 menjadi 50,9 di bulan Februari 2021. Maka Indonesia sepertinya masih akan mengalami resesi ekonomi yang berkepanjangan.
Kedua, ekonomi kita jatuh ke level terendah. Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa tak hanya terjebak di jurang resesi, pandemi juga membuat ekonomi RI jatuh ke level pertumbuhan terendah sejak 20 tahun terakhir.
Ketiga, merupakan konsekuensi dari kedua poin di atas yaitu tingkat kemiskinan melonjak. "Jumlah penduduk miskin pada September 2020 sebesar 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang pada Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang di September 2019," sambungnya (3/3/2021).
Dengan begitu tidak bisa dikatakan bahwa ekonomi Indonesia sedang baik-baik saja. Perekonomian Indonesia pada kuartal I tahun ini diprediksi masih jauh dari zona positif. Pertumbuhan ekonomi nasional di proyeksi masih negatif hingga 2%. Seperti yang dikatakan ekonom Bank Permata Josua Pardede bahwa perekonomian masih minus karena pemulihan yang belum cukup signifikan di awal tahun (CNBC Indonesia.com 25/3/2021).
Hal tersebut juga diamini oleh ekonom senior Rizal Ramli, ia katakan sulit diharapkan ekonomi akan cepat membaik di tahun 2021. Apalagi sebelum ada pandemi saja rata-rata pertumbuhan ekonomi domestik hanya 5,1persen.
Sementara, di bidang fiskal, keseimbangan primer negatifnya semakin besar. Artinya hanya untuk bisa membayar bunga utang, harus meminjam lebih besar lagi dengan bunga lebih tinggi dari negara-negara yang ratingnya lebih rendah dari RI. Atau sama dengan menggali lubang, menutup lubang.
Analisis dari banyak ekonom ini bisa membuka mata kita bahwa prediksi pemerinta di 2021 perekonomian akan membawa angin segar di angka 5,5 % itu sebenarnya tidak membumi. Mencapai angka 2% saja harus berjuang sekuat tenaga. Itulah yang mengakibatkan segala sektor termasuk waralaba jalan di tempat atau malah bubar.
Begitulah ekonomi yang didasari oleh riba dan spekulasi, pasti akan menghancurkan sistem ekonomi itu sendiri. Kegoncangan ekonomi selalu terjadi berulang kali, hal itu akibat penggelembungan uang yang sangat besar dari sector non real. Puluh kali lipat dari uang yang terkumpul di sektor real.
Itulah kenyataan dari sistem ekonomi kapitalis yang digunakan oleh masyarakat dunia saat ini yang sangat rentan ambruk. Gelembung uang non real dapat kapan saja ditusuk oleh opini sesaat termasuk wabah covid-19 ini. Bila sistem ekonomi ala kapitalis terus berjalan, maka bisa dipastikan ekonomi dunia akan berantakan.
Karena Allah sudah berfirman dalam Al Baqarah, 275, “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Peringatan keras dari Allah ini adalah agar manusia melepaskan segala perkara riba termasuk dalam ekonomi. Bila manusia keras kepala untuk tetap menggunakannya, maka perekonomian tidak bisa lagi stabil, berdiri tegak. Yang timbul adalah perekonomian yang selalu guncang layaknya orang yang berdiri seperti kerasukan setan.
Yang diharapkan hari ini adalah adanya sistem ekonomi anti goncang walau wabah melanda. Sehingga masyarakat dapat menjalankan usahanya tanpa khawatir. Oleh karena itu sudah selayaknya manusia mengambil sistem ekonomi yang selain mensejahterakan juga sesuai dengan tuntunan Allah swt, yaitu sistem ekonomi Islam yang berdiri di bawah pemerintahan Islam tentunya. []
Wallau’alam.
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar