Islam Tak Mengenal Politik Balas Budi

         


        Pengangkatan Abdee Slank menjadi komisaris Telkom bagi sebagian orang dianggap sebagai politik balas budi (politik etis) Jokowi. Pasalnya sejak Jokowi menjadi presiden sudah banyak relawan yang diangkat dan diberi posisi sebagai komisaris di beberapa BUMN yang ada. Tak hanya itu, sebagian masyarakat juga menyoroti akan kapabilitas Abdee memegang posisi tersebut. Pasalnya kemampuan dan skill yang dimilikinya tidak selaras dengan jabatan yang diberikan padanya. Sementara gaji yang ditawarkan cukup fantastik di tengah kesulitan ekonomi masyarakat akibat pandemi ini. Inilah yang memicu polemik di tengah masyarakat. Karenanya perlu ada penyikapan yang tepat terkait politik balas budi ini dari perspektif Islam.  

Balas Budi : Bagian Dari Syariat Islam

Islam menganjurkan seorang muslim melakukan balas budi saat menerima kebaikan dari  orang lain. Banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Allah swt berfirman

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisa:86)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda

لا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لا يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak berterima kasih kepada manusia” (HR. Abu Daud).

Demikianlah etika yang diajarkan Islam tentang keharusan membalas budi seseorang atau sekelompok orang. Jika kita mampu berbuat baik dan membantua orang lain hendaklah kita mengharapkan ridha Allah saja tanpa mengharapkan balasan dari manusia. Sebaliknya saat kita diberi kebaikan oleh orang lain maka jangan lupa untuk berterima kasih dan membalas kebaikannya. Jika tidak mampu membalas maka doakanlah kebaikan untuknya. Karenanya membalas budi adalah bagian dari akhlaq seorang muslim yang harus senantiasa dilakukan.

Sahabat Tak Mengenal Politik Etis

Membalas budi dan politik balas budi adalah dua hal yang berbeda. Kaum muslimin harus mampu membedakannya. Sebab balas budi adalah bagian dari syariat sedangkan politik balas budi sebagaimana yang sering terjadi saat ini, tidak pernah diajarkan dalam Islam.

Di masa Islam, para sahabat memiliki kemampuan yang sangat baik untuk membedakan balas budi yang memang dianjurkan dengan politik balas budi. Adalah Bilal bin Rabah sepeninggal Rasulullah SAW memohon kepada khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq agar diijinkan tidak menjadi muazin di Masjid Nabawi lagi. Bilal juga meminta ijin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah untuk ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, Abu Bakar merasa berat hati untuk mengabulkan permohonan Bilal berhenti mengumandangkan azan dan keluar dari kota Madinah. Kemudian Bilal berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas memilih jalan hidupku”. Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu karena Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah. Baiklah, aku mengabulkan permohonanmu”.

Ucapan Bilal kepada khalifah Abu Bakar perlu direnungkan. Saat itu posisi Abu Bakar adalah sebagai khalifah, sedangkan Bilal adalah budak yang dulu pernah dibebaskan oleh Abu Bakar. Namun hubungan baik yang telah terjalin selama ini tidak lantas membuat keduanya terikat dengan apa yang kini disebut sebagai politik etis (politik balas budi). Mereka memahami dengan jelas, bahwa Islam tidak mengajarkan tentang hal tersebut.

Contoh lain adalah kisah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra. Beliau membeli seekor kuda dari seorang arab Badui. Setelah membayar, beliau menaiki kuda tersebut dan bermaksud pulang menuju rumahnya. Namun tak seberapa jauh dari tempat itu, tiba-tiba kuda tersebut menjadi cacat dan tak mampu melanjutkan perjalanan. Maka Umar membawanya kepada si penjual untuk mengembalikan atau menggantinya dengan kuda yang lain. Penjual kuda menolak, sampai akhirnya mereka berdua sepakat untuk meminta keadilan kepada Syuraih bin Harits, seorang hakim yang diangkat oleh Umar untuk menghakimi perselisihan di antara keduanya.

Amirul mukminin Umar bin Khaththab bersama penjual kuda tersebut mendatangi Syuraih. Umar mengadukan penjual itu kepadanya. Setelah mendengarkan juga keterangan dari orang arab Badui tersebut, Syuraih menoleh kepada Umar bin Khaththab sambil berkata, “Apakah Anda mengambil kuda darinya dalam keadaan baik?” Umar: “Benar, aku mengambilnya dalam keadaan baik”. Syuraih: “Ambillah yang telah Anda beli wahai Amirul Mukminin, atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan baik seperti tatkala Anda membelinya”.

Umar memperhatikan Syuraih dengan takjub lalu berkata, “Hanya beginikah pengadilan ini? Kalimat yang singkat, dan hukum yang adil”. Demikianlah, Syuraih bin Harits dikenal dengan keputusannya yang selalu bersikap netral dan adil. Sekalipun dia diangkat oleh Umar namun keputusan yang diambilnya tidak condong padanya. Bukan karena tidak mau berterima kasih pada Umar yang telah memberinya posisi dan jabatan, namun lebih karena Islam tidak pernah mengajarkan politik balas budi dan Islam memerintahkan agar tetap berlaku adil pada setiap orang, sekalipun terhadap amirul mukminin.  

Kapabilitas Pajabat Teras

Terkait posisi dan jabatan strategis, Islam mengajarkan agar diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas dan kapabilitas. Imam Al-Zamakhsyari dalam bukunya yang berjudul Mahasin al-Ta'wil mengutip pandangan Khalifah Umar bin Khaththab yang menyatakan bahwa aspek kapabilitas (al-qawi) dan aspek integritas (al-amin) ibarat dua sisi mata uang. Karenanya sangat disayangkan jika ada orang yang memiliki integritas tetapi nir-kapabilitas, atau sebaliknya punya kapabilitas, namun tidak berintegritas.

Dan Umar sendiri nampak sangat kuat memegang prinsip dasar kepemimpinan dalam Islam. Yang menjadi pertimbangan utama bukanlah faktor hubungan famili, kolegialitas, ataupun demi memuluskan kepentingan pihak-pihak tertentu. Akan tetapi, tolok ukurnya ialah mana yang lebih berintegritas dan lebih punya kapabilitas, dan bertujuan untuk kemashlahatan kaum muslimin.

 Hal ini nampak dalam diri Khalifah Umar yang menolak pencalonan putranya sebagai kandidat khalifah pengganti dirinya. Padahal, pencalonan tersebut merupakan permintaan kaum muslimin kala itu. Sebab, Abdullah bin Umar, sebenarnya pun sebenarnya memiliki kapabilitas dan integritas yang cukup memadai untuk melanjutkan estafet kekhalifahannya. Namun, Umar menolak dan justru merekomendasikan para sahabat yang lain yang lebih potensial dan pantas dibandingkan anaknya sendiri. Mereka adalah enam sahabat Nabi SAW, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam,  Sa'ad bin Abu Waqqash, Thalhah bin 'Ubaidillah, dan 'Abdurrahman bin 'Auf.

Demikianlah teladan para sahabat yang layak dijadikan contoh. Sebab mereka adalah orang-orang yang memahami dengan jelas ajaran Islam itu sejak awal turun. Mereka adalah generasi yang membersamai Rasulullah SAW, sehingga mereka paham betul bagaimana menerapkan Islam dengan benar. Karenanya penting untuk membaca kembali dan menjadikan sikap para sahabat sebagai teladan untuk berbagai kondisi kekinian saat ini. Agar dengannya kita bisa berjalan lurus tetap di jalan Islam dan tidak terperosok ke jalan yang sesat. Wallahu a’lam

 

 

 

Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar