Korban pinjaman online (pinjol) terus berjatuhan. Pada masa pandemi ini, beban hidup yang kian berat serta kemudahan dalam mengakses pinjol membuat banyak orang tidak memikirkan risiko bunga pinjaman yang mencekik. Saat terbelit utang, pengguna pinjol ini kerap terjebak dalam kejahatan siber yang dilakukan individu atau entitas penyedia fintech peer to peer (P2P) lending illegal.
Korban pinjol yang sedang viral saat ini adalah seorang guru taman kanak-kanak (TK) di Kota Malang, Jawa Timur, berinisial S (40). S terjerat pinjaman online (pinjol) dengan total pinjaman beserta bunga sebesar Rp36 sampai 40 juta dari 24 aplikasi berbeda. S terpaksa meminjam uang di aplikasi pinjol tersebut untuk kebutuhan membayar kuliahnya sebesar Rp. 2,5 juta. S kuliah sebagai syarat untuk bisa tetap mengajar di TK tempatnya mengajar.( Kompas.com. 19/05/2021)
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. S mengalami gagal bayar. Maka dimulailah drama itu. Sebanyak 84 nomor HP melakukan teror dengan mengirimkan chat bernada celaan, hinaan, perkataan kasar, pelecehan bahkan ancaman pembunuhan. (detiknews,21/05/2021) S juga dipermalukan oleh tingkah perusahaan pinjol yang membeberkan urusan utang piutangnya kepada seluruh kontak yang dimilikinya.
Sebelumnya tak terhitung kisah serupa. Bahkan berujung pada hilangnya sebuah nyawa. Pada akhir bulan Oktober 2020, seorang pria berinisial KS (25) nekad melakukan percobaan bunuh diri di kamar mandi sebuah minimarket di Jalan Buaran Raya, Duren Sawit, Jakarta Timur dengan cara menyayat tangannya dengan pisau cutter karena terlilit utang pinjol sebesar Rp20 juta.
Pada 11 Januari 2019, seorang sopir taksi bernama Zulfadhli ditemukan tewas dengan kondisi leher terjerat seutas tali di Jalan Mampang Prapatan, Tegal Parang, Jakarta Selatan. Penyidik mendapati selembar kertas bertulisan tangan Zulfadhli. Dalam suratnya, pria kelahiran Padang tahun 1984 itu menuliskan bahwa ia sedang terlilit utang dan dikejar-kejar oleh rentenir atau pinjol.(okezone.com,18/05/2021)
Kepala Departemen Penyidik Sektor Jasa Keuangan (OJK), Tongam Lumban Tobing menyatakan, banyaknya korban menunjukkan adanya bahaya pinjol ilegal yang marak di masyarakat. "Kami sangat prihatin dengan peristiwa ini. Ini bukti bahwa kegiatan pinjol ilegal sangat membahayakan masyarakat," ujarnya. (kompas.com, 19/5/2021).
Tongam menambahkan bahwa kegiatan penagihan yang tidak beretika dari pinjol ilegal dengan teror, intimidasi, atau pelecehan merupakan tindakan yang tidak bisa ditolerir dan harus diproses hukum. Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta menyatakan OJK terus melakukan berbagai upaya pengawasan dan pembinaan guna melindungi masyarakat sebagai konsumen dari pinjol ilegal. Di antaranya OJK berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah menyerahkan data pelaku-pelaku fintech ilegal atau pinjol ilegal ke Kemkominfo untuk diblokir aksesnya. Berikutnya, OJK akan menggandeng dan berkoordinasi dengan operator atau provider telekomunikasi seluler. (sindonews.com,13/10/2020)
Tongam Lumban Tobing yang juga menjabat sebagai Ketua Satgas Waspada Investasi meminta masyarakat untuk tidak memanfaatkan fintech lending yang tidak terdaftar atau berizin OJK. Sejak 2018 sampai April 2021 ini Satgas sudah menutup sebanyak 3.193 fintech lending ilegal. (okezone.com, 20/05/2021)
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan masih banyak beroperasinya pinjol ilegal merupakan akibat gap/kesenjangan permintaan dan penyediaan kredit atau pembiayaan di masyarakat masih mencapai Rp 1.650 triliun per tahun. Sementara itu, penyelenggara fintech P2P baru bisa membantu merealisasikan penyaluran pembiayaan sebesar Rp 74,41 triliun sepanjang 2020, naik 26,47 persen (year-on-year) dari Rp 58 triliun sepanjang 2019. (tempo.co,24/05/2021)
Dengan gap/kesenjangan sebesar ini, produk lending apapun pasti akan dicoba, termasuk yang ilegal. Dari sisi pemberi pinjamanpun, gap/kesejangan ini merupakan peluang bisnis yang menjanjikan keuntungan.
Sistem ekonomi yang berlaku saat ini (sistem ekonomi kapitalistik ) mengajarkan bahwa setiap barang mengandung nilai ekonomi yang dapat diperjualbelikan sehingga menghasilkan keuntungan, termasuk uang. Uang bukan hanya berfungsi sebagai alat tukar tetapi bisa juga berfungsi sebagai komoditi. Hingga sangat lumrah jika uang yang diutangkan juga harus menghasilkan keuntungan. Maka mendapatkan kelebihan dalam transaksi utang piutang uang (riba) adalah sesuatu yang wajar. Inilah pendapat yang dijalankan pada sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan saat.
Sementara Islam mengajarkan dalam Q.S Al Baqoroh ayat 275. “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. “ Status riba di dalam syari’ah Islam adalah haram. Dalam Islam terdapat perbedaan yang jelas antara transaksi jual beli dan utang piutang. Fikih Islam mengajarkan untuk transaksi utang piutang dibutuhkan 3 syarat yaitu pertama, pihak yang berutang berniat untuk mengembalikan utang. Kedua, yang berutang mempunyai dugaan kuat bahwa dia mampu untuk melunasi utang. Ketiga, utang yang ada adalah dalam perkara yang disyariatkan ( fii amrin masyruu’in). (Sami Suwailim, Mauqif As-Syariah Al Islamiyyah min ad Dain. Hal. 22 )
Jika transaksi utang piutang tidak memenuhi 3 syarat diatas maka transaksi yang terjadi adalah rusak dan haram.
Jika masyarakat berutang untuk memenuhi keperluan makan sehari-hari, keperluan pendidikan juga kesehatan maka dugaan kuatnya adalah pembayaran akan tersendat bahkan tidak mampu membayar. Maka menjadi kewajiban pemerintah untuk mempermudah warga negaranya memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka.
Sementara di sisi lain Islam menuntun kita agar berhati-hati dalam berutang. Utang yang tidak terbayar akan menghalangi pelaku masuk ke dalam surga-Nya. Rasulullah SAW bersabda “ Kalau saja seseorang terbunuh di jalan Allah, lalu ia dihidupkan lagi ( di hari kiamat) sedang dia masih mempunyai utang, maka dia tidak akan masuk surga sebelum utangnya dilunasi,” (HR. Al Hakim)
Wa Allahu A'lam.
Oleh D. Shalindri
0 Komentar