Lidah Terpeleset, Mungkinkah Pemimpin Berkelit dan Berdusta?


Pemimpin tentu bukan hanya dinilai dari keahliannya memimpin, namun juga caranya berkomunikasi. Kemampuan mengatur anggota dan segala organnya secara teroganisir merupakan manifestasi seorang pemimpin yang lihai dalam berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal krusial dan amat menjadi tolak ukur kapabilitas kepemimpinan seseorang, hal ini bukan hanya berimbas pada citra dan wibawa seorang pemimpin, namun juga berdampak besar pada organ yang berada dalam naungannya, jika pemimpin tidak mampu berkomunikasi dengan baik, maka dengan kata lain pemimpin tidak dapat mempengaruhi anggota dan bukan tidak mungkin akan kehilangan arah dan kesulitan dalam berkoordinasi dalam rangka menjalankan perannya sebagai pemimpin. 


Tentu saja berlaku pula pada seorang Presiden, sebagai seorang pemimpin negara, tentu presiden memiliki karakteristik yang kuat yang tidak hanya bijak dalam bertindak namun lihai dalam beretorika,  retorika bukan hanya sekedar seni dalam berbicara namun retorika adalah etika profesional yang patut dimiliki seorang Presiden, bukan hanya berguna sebagai diplomasi, namun juga berdampak pada pengaruh yang diberikan pada masyarakatnya. Maka tak heran, seorang presiden harus tanggap, cermat dan menguasai berbagai bahasa, setidaknya bahasa Internasional. 


Namun bagaimana jadinya, bila masyarakat seringkali dihadapkan dengan kenyataan bahwa seorang Presiden tidak mampu berkomunikasi dengan baik,maka timbul pertanyaan, apakah ada yang salah dengan karakteristik pribadi seorang Presiden, ataukah negeri ini yang justru mengizinkan seseorang yang tidak memenuhi kriteria pemimpin menjadi seorang pemimpin? 


Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mempromosikan bipang Ambawang khas Ambawang, Kalimantan Barat, menuai perdebatan. Dalam pidatonya, ia mengajak masyarakat untuk tetap di rumah selama pandemi meski gegap gempita menghampiri masyarakat dalam menyambut lebaran Presiden Jokowi memberikan alternatif dengan menyarankan masyarakat agar menikmati oleh-oleh lebaran di rumah lewat pesanan online, ia menyebutkan beberapa makanan khas, salah satunya bipang Ambawang khas Ambawang, Kalimantan Barat.


Pasalnya, makanan yang berbahan babi ini dipromosikan sebagai oleh-oleh Lebaran yang tentu saja menuai kontroversi ditengah masyarakat majemuk tanah air. Momen lebaran adalah hari raya bagi umat muslim, babi panggang jelas diharamkan bagi umat muslim dalam mengonsumsi nya, lantas apa pasalnya Presiden Jokowi tutut mempromosikan Babi panggang sebagai salah satu oleh-oleh lebaran? 

Hal ini jelas menggegerkan, sebab sebagian pihak bisa saja tersinggung terutama ini mengandung unsur SARA yang sarat akan tendensius. 


Hendaknya presiden berhati-hati dalam menyampaikan pidatonya, sebab perkara bipang pun mendapatkan komentar beragam mulai dari dugaan netizen terhadap teks pidato yang sengaja ingin mengerjai Presiden hingga Presiden sendiri yang tidak tahu bipang dan akhirnya hanya mengikuti alur dari teks pidato, dugaan ini muncul dari berbagai fenomena kekeliruan dalam pidatonya. Yang menunjukkan adanya kegagapan seseorang presiden dalam beretorika di depan umum, akibatnya banyak kekeliruan dalam diksi, mimik dan intonasi yang tidak menunjukkan adanya harmoni ketegasan dan wawasan dalam berbicara di depan publik. Kebiasaan Presiden yang senantiasa terpaku menatap teks memunculkan praduga masyarakat bahwa ini terjadi akibat Presiden tampak tak peduli dengan esensi dalam teks yang dibawakan nya ketika berpidato atau Presiden bisa jadi tidak mendalami kata demi kata yang hendak disampaikan di tengah khalayak luas. 


Selain fenomena Bipang yang sempat viral di jagat tanah air, pidato Presiden Jokowi yang menyebutkan padang sebagai provinsi pun turut menuai polemik. Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyebut Provinsi Padang. Padahal diketahui Padang bukanlah provinsi melainkan kota di Sumatera Barat.


Dilansir dari law-justice co.id "Produk-produk yang ada baik Provinsi Riau dan Provinsi Padang (Sumbar) nantinya akan memiliki daya saing yang baik," ungkap Jokowi seperti yang ditayangkan dari YouTube Sekretariat Presiden.


Salah ucap Presiden menuai berbagai dugaan dari sejumlah netizen, pidato ini pun tersebar di sosial media bahkan tagar Provinsi Padang dan Presiden Jokowi menjadi trending di Twitter.


Bahkan tak tanggung-tanggung, sejumlah netizen turut mempertanyakan wawasan kebangsaan Presiden RI ini, pasalnya pembaharuan regulasi di sejumlah pengetesan seperti pengetesan Anggota KPK hingga CPNS menjadikan wawasan kebangsaan merupakan tolak ukur dalam penilaian lulus tidaknya calon anggota. Namun apa jadinya bila justru Presiden sendiri tidak menguasai wawasan kebangsaan? 

Maka hal inilah yang menjadi pembahasan kicauan para netizen tanah air. 


Selain itu klarifikasi demi klarifikasi tak bosan bosan terus digaungkan demi menutupi kekeliruan yang dilakukan, perkara bipang, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman kemudian sempat menjelaskan soal 'bipang' yang dimaksud Jokowi.


Dilihat dari akun Instagram resminya, @fadjroelrachman, Sabtu (8/4/2021), terlihat foto bipang yang diunggah Fadjroel. Foto tersebut menampilkan Bipang Jangkar Kwee Ik Sam Pasuruan.


"Ini BIPANG atau JIPANG dari beras. Makanan kesukaan saya sejak kecil hingga sekarang. BIPANG atau JIPANG dari beras inilah yang dimaksud Presiden @jokowi Terimakasih," tulis Fadjroel 


Padahal dalam pidatonya jelas Presiden Jokowi menyebutkan bipang khas ambawang, Kalimantan Barat, yang berbahan dasar daging babi, jauh sekali dengan bipang yang dikatakan oleh Fadjroel,  seharusnya klarifikasi yang dilakukan oleh juru bicara Presiden adalah meminta maaf kepada pihak yang di singgung dan dirugikan atas pernyataan Presiden Jokowi, bukan justru menghadirkan variabel baru yang jelas saja masyarakat akan membandingkan konsistensi pernyataan Presiden dan Jubirnya, sehingga meminta maaf adalah yang etis dan logis untuk dilakukan dalam membenahi kesalahan yang telah dilakukannya, sebab dengan klarifikasi yang di lakukan oleh Jubir Fadjroel justru akan memperkeruh atmosfer komunikasi pemerintah terhadap masyarakatnya, pemerintah terkesan tak mau kalah dan salah dan terus menerus terjebak dalam lubang yang sama. 


Kemudian masalah "terpeleset lidahnya" Presiden Jokowi, yang menyebutkan Padang sebagai provisi, Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono memberikan klarifikasi atas ucapan Jokowi yang menyebut Padang sebagai provinsi.


Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Jokowi adalah Provinsi Sumatera Barat, karena jalan tol tersebut berada di Kota Pekanbaru menuju ke Kota Padang. Heru menegaskan pernyataan Jokowi tersebut hanyalah sebuah kekeliruan semata, tidak ada maksud tertentu dibaliknya.


Namun lagi-lagi kita melihat bahwa tanggapan masyarakat yang jenaka justru seharusnya dijadikan sebagai sebuah perenungan bagi pemerintah, bukan buru-buru mengklarifikasi yang semata-mata untuk membersihkan nama baik, dilihat bahwa tanggapan netizen yang berani bertaruh tentang wawasan kebangsaan Presiden Jokowi disini menunjukkan bahwa adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap wawasan seorang pemimpin. 


Maka apakah yang salah adalah cara berkomunikasi pemimpin kita? Ataukah regulasi yang ada dalam negeri memberikan izin bagi siapa saja yang tak mampu berkomunikasi untuk menjadi seorang pemimpin, sehingga berkelit dan distorsi adalah cara terbaik untuk membersihkan citra penguasa yang keliru dan jelas mempertontonkan kebodohan. []


Wallahu a'lam bishshawab.


Oleh Dian Fitriani

Posting Komentar

0 Komentar