Limbah Berbahaya untuk Pengurugan. Apa Kabar Kesehatan?

 


Dugaan digunakannya limbah bahan beracun berbahaya (B3) jenis kotoran minyak (spent bleaching earth) sebagai tanah urugan kembali mencuat di pemukiman padat penduduk di wilayah Kampung Karang Tengah,Desa Pusaka Rakyat (sumber : https://bekasitoday.com/2021/04/pemanfaatan-limbah-b3-kembali-ditemukan-untuk-pengurugan/). 


Masyarakat sekitar yang menggunakan lahan sebagai ruang terbuka merasakan beberapa efek dari timbunan tanah tersebut seperti panas ketika terkena kaki dan bau yang sangat menyengat saat timbunan tanah itu datang. Sampai saat ini belum ada tindak lanjut atas dugaan yang dirasakan warga tersebut dari Pemerintah setempat.


Masyarakat sendiri meskipun ada gejala yang dirasakan saat kaki mereka menyentuh lahan tersebut memilih tidak terlalu mempermasalahkan. Hal ini karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya jika limbah ini dibiarkan dalam waktu yang lama di lingkungan mereka. Padahal  pemanfaatan limbah beracun berbahaya yang digunakan untuk pengurugan lahan sempat meresahkan di tahun 2019 di Kampung Blencong Desa Segara Timur. Bahkan dari peristiwa itu 3 bocah mengalami luka bakar serius akibat bermain di lahan limbah berbahaya itu.


Pada saat itu, untuk melakukan penyelidikan bahan yang terkandung dalam timbunan limbah itu Tim Gegana dari Mabes Polri bekerja sama dengan kementerian lingkungan hidup diterjunkan. Namun tindak lanjut berupa edukasi kepada masyarakat maupun tindakan pemindahan tanah timbunan limbah berbahaya itu tidak pernah terjadi. Dikhawatirkan kejadian penggunaan lambah B3 sebagai material urugan akan kembali terjadi apabila tidak ada sosialisasi yang memadai kepada masyarakat, baik industri pembuang limbah maupun masyarakat luas.


Begitu pula pada aspek pemberian sanksi terhadap pelaku pembuang limbah B3 sembarangan bahkan menggunakannya sebagai material urugan nampak lemah. Beberapa kasus bahkan selesai dengan kompensasi uang bau maupun sanksi administratif. Padahal sanksi-sanksi tersebut tidak menjerakan pelaku kerusakan lingkungan. 


Aktivis lingkungan, Prigi Arisandi, sejak beberapa tahun lalu mengungkap bahwa kegiatan membawa atau mengirim limbah, selama ini dijalankan oleh perusahaan atau pihak ketiga selaku transporter. “Ongkos transporter cukup tinggi, per satu meter kubik mencapai Rp4-5 juta. Yang sering dipermainkan, limbah itu oleh transporter tidak dibawa ke Bogor untuk diolah, tapi dibuang atau open dumping,” ungkapnya (sumber : https://www.mongabay.co.id/2016/01/08/ancaman-lingkungan-itu-limbah-b3/).


Bila dilihat ketersediaan jasa pengelolaan limbah, Provinsi Jawa Barat terbilang cukup memadai. Dari 14 perusahaan pengelola limbah B3 di Indonesia, 7 di antaranya ada di Jawa Barat (sumber: https://voi.id/berita/12703/hipmi-ada-potensi-bisnis-dari-pengolahan-limbah-b3-di-masa-pandemi). Namun ulah individualis yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, oknum pelaku pembuang limbah B3 tega merugikan lingkungan dan warga. Bagi pengguna limbah B3 sebagai tanah urugan jelas karena harganya lebih murah daripada tanah urugan yang aman.


Menurut Undang – Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bahan Berbahaya dan Beracun atau disingkat dengan B3 didefinisikan sebagai zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Dari definisi tersebut telah jelas bahwa keberadaan limbah B3 sebagai tanah urug akan membahayakan lingkungan serta masyarakat sekitar yang turut terpapar.


Penggunaan limbah B3 sebagai tanah urugan merupakan perbuatan yang akan melanggar hak-hak masyarakat sekaligus kelestarian lingkungan. Islam menggolongkan perbuatan ini ke dalam kemaksiatan yang harus mendapatkan hukuman. Adanya hak masyarakat atas udara yang bersih tak berbau, lingkungan yang aman dan sehat telah terlanggar dengan pemakan limbah B3 sebagai tanah urugan. Pelanggaran hak semacam ini akan ditangani oleh Hakim Hisbah.


Hakim hisbah adalah hakim yang ditunjuk Khalifah untuk menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan hak masyarakat. Hakim ini tak perlu menunggu adanya aduan maupun keluhan dari masyarakat. Secara proaktif Hakim ini berwenang melakukan patroli memantau keadaan masyarakat, bahkan dibersamai oleh kepolisian.


Khalifah dapat menunjuk hakim hisbah dalam beberapa sector sesuai keahliannya. Misalnya hakim hisbah perdagangan yang mengawasi muamalah di tengah manusia di pasar-pasar, mengawasi komoditas-komoditas yang beredar. Boleh juga mengangkat hakim hisbah khusus menangani kerusakan lingkungan sebagai pelanggaran hak masyarakat untuk tinggal di lingkungan yang aman, sehat dan jauh dari bencana. Hakim ini diperbolehkan mengawasi kelestarian lingkungan, termasuk proses pembuangan limbah industri.


Oleh Raihana Radhwa (ibu rumah tangga)

Posting Komentar

0 Komentar