Demi Pengikut Utilitarianisme, Maruah KPK Pun Tergadai

 


Miris, di tengah kepedihan masyarakat karena pandemi yang tidak kunjung usai. Publik dihebohkan dengan keanehan pertanyaan  dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) pada alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).


Dilansir dari laman Tempo.Co, 9/5/2021, tidak sedikit kejanggalan ditemukan ketika sejumlah pertanyaan tes bocor ke publik. Beberapa pegawai KPK yang enggan disebutkan identitasnya bercerita dan mengamini ketidakwajaran soal-soal tersebut. Pertanyaan aneh tersebut antara lain adalah soal lepas jilbab, ucapan hari raya kepada penganut agama lain, pendapat tentang FPI dan HTI, hukuman mati pada penista agama, LGBT, kebijakan pemerintah hingga doa qunut.


Laman KOMPAS.COM, 6/5/2021, mewartakan bahwa dari rangkaian tes tersebut sebanyak 75 pegawai KPK tidak memenuhi syarat. Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers pengumuman hasil asesmen TWK di Gedung Merah Putih, Jakarta pada Rabu (5/5/2021). Ghufron menjelaskan, TWK diikuti oleh 1.351 pegawai KPK dan hasilnya, yang memenuhi syarat dan lolos TWK diketahui hanya 1.274 orang. Pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) 75 orang dan sebanyak 2 orang pegawai tidak hadir. 


Sejumlah media cetak maupun online memberitakan, di antara pegawai yang tidak lolos adalah Novel Baswedan, Ambarita Damanik yang menangani kasus suap benur di KKP, Giri Suprapdiono selaku Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK dan Yudi Purnomo Harahap yang saat ini menjabat Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK).


Publik mempertanyakan kegagalan 75 pegawai, khususnya para pegiat antikorupsi. Terlebih, sebagian besar dari para pegawai adalah pegawai yang banyak menorehkan prestasi dan merupakan penyidik yang pernah atau sedang menangani perkara korupsi besar.


Menurut Plt Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN), Paryono, level TWK yang dilakukan untuk pegawai KPK berbeda dengan TWK yang dilakukan bagi CPNS. Dia mengatakan bahwa karena pegawai KPK sudah menduduki jabatan senior. Maka, diperlukan jenis TWK untuk mengukur tingkat keyakinan dan keterlibatan mereka dalam proses berbangsa dan bernegara (KOMPAS.COM, 8/5/2021).


Namun, dari soal yang diajukan baik dalam tes tertulis maupun pada sesi wawancara dinilai tidak ada sangkut pautnya dengan tujuan tersebut. Kalau memang bermaksud untuk menilai seberapa besar integritas pegawai dalam mengemban tugas sebagai pemberantas korupsi. Panitia harusnya memberi pertanyaan terkait pendapat pegawai tentang bagaimana penindakkan yang tepat kepada para koruptor agar memberikan efek jera. Atau pertanyaan "bagaimana sikap pegawai jika terduga adalah relasi atau orang yang satu suku dengannya?"


Oleh karena itu, masyarakat menilai janganlah alih status pegawai KPK menjadi ASN mengebiri tugas utama KPK. Selain itu, jangan sampai penindakkan korupsi yang telah dilakukan pegawai yang memiliki integritas tinggi dan banyak menorehkan prestasi seakan disingkirkan secara sistematis melalui tes wawasan kebangsaan. Apalagi, sampai mengorbankan pegawai tersebut demi menyelamatkan sekelompok orang dari kalangan elit yang merasa terancam.


Kekhawatiran tersebut dikuatkan dengan pendapat ICW yang menduga siasat itu sebagai cara untuk menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas. Melalui penelitinya, Kurnia Ramadhana, ICW beranggapan ketidaklulusan sejumlah pegawai dalam tes wawasan kebangsaan telah dirancang sejak awal sebagai episode akhir untuk menghabisi dan membunuh KPK (detiknews.com, 4/5/2021).


Padahal, mereka sudah menunjukkan loyalitas tertinggi pada negara dengan berkorban jiwa raga demi mengungkap kasus korupsi. Harusnya negara mengapresiasi, bukan malah menyingkirkan. Dari fakta tersebut negara seolah berjalan mengikuti prinsip utilitarianisme. Maksudnya, negara yang saat ini banyak ditopang oleh kekuatan politik dan ekonomi oligarki yang sarat manipulasi, mengorbankan KPK sebagai lembaga independen.


Biasanya prinsip tersebut mengatasnamakan suara masyarakat walaupun banyak rakyat yang tidak sejalan. Jika benar demikian, hal ini merupakan lonceng kematian bagi KPK. Apalagi, dalam etika utilitarianisme parameter benar-salah bukan pada kebenaran dan keadilan. Tetapi, dinilai dari banyaknya manfaat yang didapatkan oleh kepentingan mayoritas di satu kelompok. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.


Terlebih, sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia yang mencapai 229 juta jiwa atau 87,2% dari total penduduk 273,5 juta jiwa. Harusnya, pemerintah mengacu pada prinsip halal-haram yang sudah jelas dijabarkan dalam Al Quran dan assunnah.


Dalam aturan Islam, rakyat boleh mengoreksi dan menasehati penguasa yang salah, lalai dan zalim. Dari Tamim al-Dari ra., Nabi Muhammad Saw. bersabda yang artinya: “Agama itu adalah nasihat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi Saw. bersabda: “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya" (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim).


Bahkan, Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya).


Mengoreksi penguasa secara terang-terangan sangat dianjurkan dalam Islam. Apalagi, terkait tindak pidana korupsi. Korupsi bukan hanya kasus pencurian. Tetapi, merupakan perilaku khianat atau khaa'in. Artinya, seseorang yang telah dipercaya umat untuk mengelola harta umat, tapi menyalahgunakan atau menggelapkan harta tersebut.


Aturan Islam punya cara tersendiri dalam memberantas korupsi, langka pencegahan atau preventif dan penindakan atau kuratif. Tetapi, pada prinsipnya, kegagalan pemerintah dalam memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya sampai saat ini adalah karena mengabaikan hukum Allah Swt. Bukankah Allah Swt. telah berfirman dalam Al Quran surat Al Kahfi ayat 26 yang artinya, "Allah tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum".


Selama sistem demokrasi kapitalisme masih diadopsi. Bisa dipastikan, korupsi seperti lingkaran setan yang sulit diberantas. Karena, demokrasi itu sendiri dijadikan sekadar basi-basi oleh para elit yang ingin melanggengkan perputaran kekuasaan transaksional dan rente yang membuka celah korupsi. Jargon-jargon demokrasi dijadikan pembungkus ketamakan mereka. Tidak heran, jika lembaga seperti KPK justru dijadikan alat untuk menutupi kebusukan mereka dengan menjadikannya seperti boneka, wallahualam bishawab.


Oleh Anggun Permatasari


Posting Komentar

0 Komentar