Dilansir dari Radar Bogor tanggal 1 Mei 2021, pemerintah secara resmi memberlakukan pelarangan mudik lebaran 1442 Hijriah yang dimulai pada tanggal 6 sampai 17 Mei 2021. Pelarangan ini diumumkan melalui surat edaran Nomor 12 Tahun 2021 dari Satgas Penanganan Covid-19 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan upaya pengendalian penyebaran Covid-19 selama bulan suci Ramadhan 1442 Hijriah. Implementasi dari pelarangan mudik ini, Polresta Bogor telah mendata transportasi yang dilarang melakukan perjalanan saat larangan mudik adalah kendaraan bermotor umum dengan jenis mobil bus dan mobil penumpang.
Pelarangan mudik lebaran yang ditetapkan oleh pemerintah selama dua tahun berturut-turut, menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, mudik sudah menjadi tradisi masyarakat menjelang hari raya idul fitri. Sayangnya tradisi ini terkendala sejak Covid-19 menjadi pandemi sama seperti tahun lalu mudik masih dilarang untuk kedua kalinya. Masyarakat dilarang untuk mudik dan berlebaran di kampung halaman serta bertemu dengan orang tua dan sanak saudara. Padahal momen mudik lebaran adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu, karena mereka hanya punya kesempatan pulang untuk bertemu orang tua dan keluarga pada saat mudik lebaran. Namun, lagi-lagi harapan mereka pupus akibat pelarangan mudik ini.
Pemerintah melarang mudik dengan alasan untuk mencegah lonjakan kasus Covid-19 pada saat mudik lebaran. Karena sebelumnya kasus Covid-19 di Kota Bogor sempat mengalami penurunan secara drastis, hal ini dibuktikan dengan penutupan rumah sakit lapangan (RSL) yang dilakukan oleh Pemkot Bogor. Sehingga kebijakan mudik ini dilakukan untuk mengantisipasi dan menekan angka kasus Covid-19 dengan berbagai sanksi pidana yang tertuang dalam peraturan walikota (perwali).
Kebijakan larangan mudik yang dikeluarkan oleh pemerintah ini terlihat bersifat tebang pilih, sehingga rentan untuk terjadinya pelanggaran. Dan apakah benar mudik akan menjadi satu-satunya penyebab terjadinya lonjakan kasus Covid-19. Di sisi lain, pemerintah justru membebaskan pusat-pusat perbelanjaan, restoran dan tempat pariwisata untuk tetap beroperasi, yang jelas-jelas akan menimbulkan banyak kasus baru. Lihatlah pusat perbelanjaan di Tanah Abang yang penuh sesak dengan lautan manusia, berdesak-desakan dan melanggar protokol kesehatan. Belum lagi tempat wisata dan restoran yang menimbulkan kerumunan orang malah justru tidak dilarang oleh pemerintah.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah menimbulkan kesan tidak seriusnya pemerintah dalam mencegah serta menanggulangi wabah Covid-19. Kebijakan ini juga semakin menguatkan fakta bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah hanya berorientasi pada manfaat ekonomi yang selalu menjadi prioritas utama dibandingkan keselamatan nyawa rakyat. Jadi alasan untuk menekan dan mencegah penyebaran kasus Covid-19, dengan melarang mudik hanya dalih yang dikemukan agar dapat diterima oleh masyarakat. Tapi di sisi lain pemerintah justru memberi kebebasan dibukanya tempat wisata, restoran dan pusat perbelanjaan karena ada manfaat materi yang bisa diperolehnya.
Inilah potret sistem kapitalis sekuler yang menaungi kehidupan rakyat saat ini, sudah telihat jelas ketidakmampuan dan kegagalannya dalam mengatasi berbagai permasalahan kehidupan. Hal ini wajar terjadi, karena sistem ini menihilkan peran agama dari kehidupan. Sistem kapitalis sekuler sudah cacat sejak lahirnya, sehingga tidak akan bisa mengubah dan memperbaiki kondisi negeri selama sistem ini masih menjadi rujukan. Kegagalannya dalam mengatasi pandemi Covid-19 pun tak terelakkan. Oleh karena itu, dibutuhkan ketegasan dan aturan yang lahir dari kebijakan yang benar untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Inilah gambaran pengurusan rakyat oleh penguasa sistem kapitalis sekuler. Sistem ini telah mencetak penguasa yang mengabaikan kepentingan rakyat dan cenderung berpihak kepada kapitalis. Lebih dari itu, penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah sejak awal tidak menyentuh akar persoalan sama sekali. Misalnya kebijakan lockdown di wilayah pertama kali munculnya wabah tidak dilakukan, kurangnya upaya untuk memisahkan masyarakat yang sehat dan yang sakit dan lain-lain.
Penanganan pandemi Covid-19 berkaitan langsung dengan kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, karenanya harus dilakukan secara efektif yakni berlangsung diatas prinsip secepatnya dengan zero kesakitan dan kematian. Ini berarti penanganan pandemi bukan hanya persoalan teknis medis semata, tetapi merupakan perkara yang berkaitan erat dengan cara pandang terhadap manusia, kesehatan dan keselamatan jiwanya. Pada tataran inilah kehadiran Islam, sebagai sebuah sistem kehidupan yang sempurna, sangat dibutuhkan. Sebab hanya Islam yang memberikan perhatian dan penghargaan tertinggi pada kesehatan dan keselamatan jiwa manusia. Ditegaskan oleh Rasulullah Saw. ”Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada hilangnya nyawa manusia tanpa hak” (HR An-Nasai).
Jauh sebelum wabah Covid-19 melanda dunia saat ini, sudah pernah terjadi wabah yang lebih dulu melanda dunia bahkan hampir lebih dari 10 tahun. Namun adanya wabah ini tidak membuat perekonomian negara porak-poranda dan rakyat pun bisa melewati pandemi ini tanpa ada rakyat yang mengalami kelaparan, nyawa rakyat yang menjadi korban wabah bisa diminimalisir, dan pengaruh lainnya bisa ditanggulangi oleh negara. Ini semua bisa diatasi karena menjadikan aturan Islam sebagai landasan untuk mengatasi wabah tersebut.
Ada tiga prinsip Islam dalam penanggulangan wabah, yaitu pertama lockdown lokal sedari awal, berdasarkan sabda Rasulullah Saw. ”Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu” (HR.Bukhari). Kedua, memisahkan yang sakit dengan yang sehat dengan melakukan test dan tracing, sehingga memudahkan negara untuk melakukan pengisolasian terhadap yang sakit dan fokus untuk mengobatinya. Sedangkan yang sehat bisa beraktivitas seperti biasa tanpa khawatir akan terpapar oleh wabah. Dan ketiga, pasien yang terinfeksi segera mendapatkan pengobatan dengan kualitas yang terbaik hingga ia dinyatakan sembuh.
Dalam sistem Islam, kesehatan menjadi kebutuhan pokok publik yang menjadi tanggung jawab negara secara mutlak, didukung oleh sistem ekonomi yang sahih sehingga pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh dengan harga yang terjangkau bahkan gratis untuk seluruh rakyat. Kehadiran Islam bukan hanya sebagai pembebas dari adanya pandemi, namun juga sebagai pembebas dari semua kerusakan akut akibat komplikasi rezim kapitalis dan cacat permanen dari sistem kapitalis. Oleh karena itu, sudah saatnya sistem rusak nan batil ini dicampakkan dari kehidupan rakyat, dan beralih mewujudkan sistem yang sahih yang benar-benar mempedulikan kesehatan dan jiwa manusia. Sistem ini tidak lain adalah sistem khilafah yang selama rentang 1300 tahun mampu menyelesaikan permasalahankehidupan. Karena sistem ini berasal dari Sang Maha Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan, dan yang paling tahu apa yang terbaik untuk semua mahluk ciptaannya, serta menjanjikan keberkahan kepada setiap hamba yang berjuang untuk menerapkan aturan Islam Kaffah di muka bumi ini. Wallahu a’lam. []
Oleh Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar