Politik Etis Pada Posisi Komisaris



Pro kontra pengangkatan Abdi Negara Nurdin alias Abdee Slank menyeruak di tengah publik. Masing-masing pihak memiliki alasannya sendiri. Dan tulisan ini tidak hendak membahas tentang kepantasan Abdee Slank menjadi komisaris Telkom. Tapi ini justru diharapkan mampu menyadarkan akan buruknya sistem demokrasi yang melegalisasi politik etis ini. Apalagi realita menunjukkan pengangkatan relawan untuk mengisi posisi-posisi komisaris di BUMN tak hanya terjadi saat ini saja.

Adalah Fadjroel Rachman, relawan yang termasuk paling awal mendapat kursi komisaris di PT Adhi Karya (Persero) Tbk pada September 2015 dan kini menjadi juru bicara presiden. Ada beberapa nama relawan lainnya setelah itu. Hingga bulan Nopember 2020 kemarin, Zuhairi Misrawi, diangkat sebagai komisaris independen PT Yodya Karya (Persero). Sebelumnya, Zuhairi bergabung dalam  Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin, saat Pemilihan Presiden 2019.

Dan pada hari Jumat, 28 Mei 2021, melalui rapat umum pemegang saham tahunan 2020 berlangsung di Telkom, Abdee Slank pun ditunjuk menjadi komisaris independen. Kiprahnya dalam mendukung Jokowi tercatat saat Pilpres 2014. Abdee menjadi menjadi inisiator Konser Salam 2 Jari untuk mendukung Jokowi. Saat Pilpres 2019, Abdee juga terlibat Konser Putih Bersatu Menuju Kemenangan Indonesia Maju di GBK, Jakarta pada 13 April 2019.

Fenomena ini memang wajar terjadi ketika sistem demokrasi tegak berdiri. Mengapa? Setidaknya karena tiga alasan. Yang pertama, adanya realitas dalam sistem demokrasi itu sendiri yang menggambarkan mahalnya biaya pemilu. Untuk mendapatkan sebuah jabatan tertentu dibutuhkan dana yang sangat banyak sehingga membutuhkan dukungan para pemilik modal. Dukungan saat pemilu inilah yang pada akhirnya membentuk semacam adanya politik balas budi. Posisi dan jabatan yang didapat digunakan untuk kepentingan balas budi kepada para pendukungnya.

Alasan kedua, sebab dalam demokrasi semua aturan dibuat oleh manusia. Karenanya, sangat mudah bagi penguasa dalam sistem demokrasi itu membuat aturan yang menyelamatkan semua kepentingannya. Ketika kekuasaan sudah berada dalam genggaman, maka intervensi bisa dilakukan kapan saja. Dan ini berlaku sepanjang sejarah penerapan demokrasi itu sendiri. Yang membedakan hanyalah situasi politik dan cara-cara yang ditempuh. Ada yang bermain kasar serampangan, ada pula yang melakukannya dengan bermain cantik. Namun intinya tetaplah sama.

Ketiga, sistem demokrasi tak mengenal dimensi ukhrawi dalam kehidupannya. Sehingga segala sesuatu diukur berdasarkan materi dan manfaat yang diperoleh. Akibatnya, jika materi dan manfaat yang didapat dirasa sangat kurang menguntungkan, maka upaya untuk menuntut balas budi sangat mungkin dilakukan melalui deal-deal politik yang ada. Dengan demikian, penguasa yang terpilih akan berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan politik etis ini meski harus mengorbankan orang-orang tertentu yang sudah nyata kapabilitas dan tanggung jawabnya.

Demikianlah, gambaran sistem demokrasi melakukan penataan terhadap posisi-posisi penting dalam pengaturan sebuah negara. Semuanya dilandaskan pada kepentingan politik penguasa. Bahkan termasuk dalam urusan balas budi sekalipun.

Kondisi ini berbeda secara diametral dengan Islam. Islam telah mengatur dengan sangat jelas tentang syarat-syarat seorang pemimpin negara atau khalifah dan juga tata cara pengangkatannya. Semuanya dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat yang jauh dari kata dusta, bohong serta tipu menipu. Pun tak ada money politic. Pengangkatan khalifah dilakukan dengan jalan baiat, dimana khalifah diminta untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah.  Dengan begitu, khalifah tak bisa menggunakan kekuasaan yang ada dengan seenak hatinya. Ada rambu-rambu syariat yang membatasinya.

Di sisi lain, saat khalifah membutuhkan orang yang akan membantunya menjalankan tugas-tugas di posisi-posisi strategis, maka pemilihan dan pengangkatannya juga harus memperhatikan aspek kapabilitas. Dalam sebuah hadits diceritakan Abu Dzar berkata, "Wahai Rasulullah tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat). Abu Dzar berkata, "Kemudian beliau (Rasulullah) menepuk bahuku dengan tangan." Kemudian Rasulullah bersabda, "Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar." (HR Muslim).

Dari hadits ini jelaslah bahwa selain aspek kapabilitas, ketakwaan dan keterikatan terhadap syariat adalah syarat mutlak yang harus dimilikinya. Ketakwaan dan keterikatan pada syariat Islam ini menjadi penting. Sebab hanya dengan dorongan ketakwaanlah, seseorang akan takut untuk melakukan kemaksiyatan sebab dia akan mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat. Karenanya Islam tak pernah mengenal politik etis dalam soal amanah dan tanggung jawab dalam mengatur urusan rakyat dan negara. Wallahu a’lam.

 



Kamilia Mustadjab.

  

Posting Komentar

0 Komentar