Proyek alun-alun Kota Bogor, menarik perhatian puluhan kontraktor pasca tayang pada laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Bogor. Pasca pembukaan dokumen penawaran pada proyek dengan pagu anggaran Rp 14,2 miliar lebih dari 75 persen peserta tender akan bersaing memperebutkan proyek yang kini tengah dalam tahap pembukaan penawaran tersebut. Kepala Bidang Pertamanan Penerangan Jalan Umum (PJU) dan Dinas Perumahan dan Pemukiman (Disperukim) Kota Bogor, Irfan Zacky mengatakan sesuai jadwal tahap lelang ditargetkan rampung pada akhir Mei dan pelaksanaan proyek harus selesai pada November mendatang. (RadarBogor, 5/05/2021)
Proyek alun-alun Kota Bogor yang menggunakan lahan eks Taman Topi dan Taman Ade Irma Suryani telah dibuka dokumen lelang penawarannya. Proyek alun-alun ini dibiayai dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang ditandai dengan adanya Detail Engineering Design (DED) pada 2019. Fasilitas publik tersebut diharapkan nantinya akan menjadi ruang publik atau ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh warga.
Proyek ini menggelontorkan dana yang tentunya tidak sedikit, oleh karena itu mengundang antusiasme dari puluhan peserta tender/kontraktor yang bersaing untuk mendapatkannya. Pasalnya proyek seperti ini sangatlah menguntungkan bagi para kontraktor. Aktivitas ini (berburu keuntungan) memang menjadi tradisi dan sudah menjadi ciri khas negara kapitalis sekuler sebagaimana yang diterapkan di negeri ini.
Negara yang menerapkan kapitalis sekuler sebagai asasnya, biasanya pembangunan proyek infrastruktur diserahkan kepada swasta melalui mekanisme tender. Dari proyek tersebut, swasta dengan leluasa meraup keuntungan dari uang negara yang berasal dari keringat rakyat (pajak). Maka sangatlah wajar jika para kontraktor berbondong-bondong untuk memperebutkan proyek tersebut.
Aktivitas ini memperlihatkan negara hanya berperan sebagai regulator, sehingga peluang munculnya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin nyata di depan mata. Karena pihak swasta yang mampu memberikan mahar terbesarlah yang akan menjadi pemenang dan berhak untuk mendapatkan proyek tersebut. Sudah berapa banyak kasus KKN yang menguak dari proyek infrastruktur di negeri ini. Kasus KKN telah banyak merampok uang negara dan menyengsarakan rakyat yang menjadi 'sapi perahan' terus menerus dipaksa untuk membayar pajak dengan dalih untuk pembangunan infrastruktur yang acap kali tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat biasa.
Pembangunan infrasturktur tidak serta merta menjadikan pembangunan di negeri ini merata dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Bahkan dampak dari massifnya pembangunan infrakstruktur, hutang negara semakin hari semakin menggunung, beriringan pula dengan praktek KKN yang kian tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Rakyat pun untuk kesekian kalinya harus menelan pil pahit akibat dampak pembangunan infrastruktur berasaskan kapitalis. Inilah potret buram sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, yang hanya berpihak pada korporasi dan tidak berpihak kepada rakyat.
Fakta di atas tidak akan terjadi di negara yang menerapkan Islam secara kaffah sebagai asasnya, yakni daulah khilafah. Karena dalam sistem khilafah, pembangunan infrastruktur oleh negara bukan bertujuan untuk mencari keuntungan, namun semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan meraih keridaan Allah Swt. Disinilah letak perbedaan antara sistem khilafah dan sistem kapitalisme.
Dalam Islam infrastruktur termasuk dalam kategori fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang, yang juga termasuk marafiq al jam'ah seperti air bersih, listrik dan sejenisnya. Begitu pula halnya dengan fasilitas umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu, seperti jalan raya, lapangan, taman kota dan sejenisnya.
Untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur ada beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh khilafah, diantaranya dengan memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak bumi, gas dan barang tambang lainnya. Khalifah sebagai kepala negara bisa menetapkan (misalnya) kilang minyak, gas dan sumber tambang tertentu seperti fosfat, emas, tembaga dan sebagainya, dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastuktur tertentu. Strategi lain yang bisa dilakukan untuk membiayai infrastruktur yaitu dengan mengambil pajak (dharibah), yang diambil hanya dari kaum muslim yang mampu saja. Hal ini bersifat insidental dan hanya boleh dilakukan apabila dana di baitul mal sedang kosong atau dana yang ada tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan infrastruktur tersebut.
Khilafah tidak akan mengambil hutang sebagai strategi untuk membangun infrastruktur, karena hutang kepada negara asing disertai dengan bunga dan membuka celah untuk mendikte dan mengontrol khilafah. Ini merupakan ancaman yang serius bagi khilafah. Sebab, negara kafir akan mencengkeram negeri muslim dan menempatkan boneka menjadi penguasa di negeri mereka. Maka hal ini tidak boleh dilakukan dan secara tegas diharamkan, sebagaiman Allah Swt. menegaskan dalam QS An-Nisaa (4) : 141 yang artinya, ”Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman”.
Begitu pula halnya dengan pejabat-pejabat yang diberi amanah untuk menjalankan pemerintahan. Terdapat larangan keras untuk menerima harta ghulul yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat kota) dan para pegawai negara dengan cara yang tidak sesuai dengan hukum syara', baik diperoleh dari harta milik negara maupun harta milik rakyat. Para pejabat akan mendapatkan tunjangan dalam jumlah yang cukup. Korupsi termasuk ghulul karena harta yang diperoleh di bawah kekuasaan para wali atau amil untuk membiayai berbagai sarana dan proyek kepentingan negara dan kepentingan umum lainnya.
Selain diberikan gaji yang cukup kepada para pejabat dan pegawainya, ketakwaan individu dan ketundukan pada aturan negara menjadi syarat dalam pengangkatan para pejabat dan pegawai khilafah. Bukan hanya itu setiap pejabat dan pegawai wajib memenuhi syarat amanah dalam melaksanankan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Bahkan khalifah Umar bin Khattab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung sebelum dan sesudah menjabat. Jika bertambah sangat banyak dan tidak sesuai dengan tunjangan selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk menyitanya dan memberikan sanksi tegas bagi pelakunya.
Inilah mekanisme dalam sistem khilafah dalam mencegah dan menuntaskan KKN dengan memberi efek jera bagi para pelakunya. Sehingga pembangunan infrastruktur bisa teralisasi secara optimal dan merata di seluruh negeri Islam. Rakyat pun bisa merasakan hasil dari pembangunan infrastruktur dengan mudah tanpa melanggar syariat Islam sedikitpun (yakni tanpa menanggung hutang ribawi), juga tanpa merendahkan martabat Islam dan kaum muslim di hadapan pihak asing dan aseng. Sudah saatnya rakyat Indonesia hidup dalam naungan khilafah, dan terbebas dalam cengkeraman sistem kapitalisme yang jelas-jelas hanya menyengsarakan rakyat. []
Oleh Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar