Simbol Toleransi di Kota Depok



Dilansir oleh berita.depok.go.id pada Selasa (20/4/2021), Mohammad Idris, Wali Kota Depok mendampingi Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan RI meninjau pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Hadir pula Komaruddin Hidayat, Rektor UIII dalam peninjauan di Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya tersebut. Dalam kesempatan tersebut Moeldoko menyampaikan harapan bahwa UIII yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dapat menjadi salah satu simbol toleransi.


Toleransi yang dimaksud Moeldoko adalah toleransi antar suku, agama, ras, budaya, dan lain-lain yang diharapkan ditunjukkan oleh bangsa Indonesia. Jadi UIII kelak akan dijadikan tempat kajian untuk masyarakat, dan tempat menimba ilmu bagi mahasiswa dari dalam negeri ataupun luar negeri. Sehingga kampus UIII yang dibangun megah dengan anggaran tak kurang dari Rp 3,9 trilyun tersebut diharapkan menjadi warisan bangsa Indonesia, sekaligus menjadi ikon, demikian papar Mohammad Idris lebih lanjut.


UIII yang diperkirakan dapat mulai beroperasi pada bulan September 2021 ini akan bisa diakses oleh Muslim dan juga Non Muslim, dan siap menampung para peneliti dari dalam negeri dan luar negeri. Dengan kekayaan khasanah Islam, tradisi, modernisasi, demokrasi, dan pergulatan Islam dengan kultur lokal yang rencananya akan ditampilkan di UIII, Komaruddin berharap UIII akan menjadi jendela bagi asing untuk mengetahui tentang Indonesia. 


Harapan Komaruddin agar UIII bisa menjadi jendela bagi pihak asing untuk mengetahui dan mempelajari Islam, sekilas terlihat sebagai hal yang menggembirakan bagi para pemuda dan umat Islam secara umum di negeri ini. Namun ternyata, sesungguhnya UIII diwacanakan akan dijadikan pusat simbol toleransi antar umat beragama. Hal ini semakin jelas terbaca dengan rencana didirikannya Rumah Moderasi di tiap Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), termasuk di UIII. Jadi pengarusutamaan moderasi Islam di UIII akan sangat kental mewarnai arah kurikulum di kampus tersebut. 


Program moderasi beragama sesungguhnya telah masuk dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Kementerian Agama (Kemenag) bahkan telah menjabarkan moderasi beragama ini dalam Rencana Strategis (renstra) pembangunan di bidang kegamaan lima tahun mendatang. Progam ToT guru dan dosen merupakan salah satu internalisasi nilai-nilai moderasi yang disusupkan ke dalam pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Selain itu, moderasi Islam juga dimasukkan ke dalam program madrasah ramah anak, dan program pembangunan karakter moderat.


Masih segar dalam ingatan kita tentang polemik penghapusan materi jihad dan khilafah dari kurikulum pendidikan agama Islam. Polemik ini kemudian berusaha diredam lewat pernyataan Komaruddin Amin, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag. Ia mengatakan bahwa, konten jihad dan khilafah tidak dihapus sepenuhnya dari buku Pendidikan Agama, melainkan hanya dipindahkan dari pelajaran fikih ke pelajaran sejarah. Hal ini disebabkan karena khilafah dianggap sudah tidak relevan lagi dengan negara Indonesia yang telah mempunyai konstitusi dasar. Sedangkan makna jihad diubah perspektifnya bukan lagi terkait berperang.


Terkait moderasi Islam, mengapa ini dinilai berbahaya bagi generasi muda dan umat secara umum? Hal ini karena, moderasi merupakan rancangan untuk menjadikan ajaran Islam bukan lagi menjadi asas dan pedoman hidup bagi seorang muslim. Syariat Islam juga tidak lebih hanya dijadikan sekadar instrumen budaya belaka. Sebaliknya umat Islam dituntut untuk mengubah asas kehidupannya menjadi tidak Islami lagi. 


Dalam kurikulum berbasis moderasi, fikih Islam terkait bernegara dianggap sebagai sumber masalah yang melahirkan perpecahan dan permusuhan. Sehingga, nilai-nilai moderat diperlukan untuk menjadi perspektif baru, agar fikih Islam tampil lebih _‘soft.’_ Namun sesungguhnya, memasukkan nilai-nilai moderat justru akan menjauhkan generasi muda dan umat dari ajaran Islam yang seutuhnya. Di sisi lain, persepsi-persepsi negatif yang ditudingkan kepada ajaran Islam juga berakibat mencitraburukkan ajaran Islam yang mulia. 


Parahnya, pencitraburukkan ajaran Islam akan mengakibatkan terjadinya pergeseran penilaian baik buruk terhadap sesuatu. Misalnya, dahulu Muslim yang berpegang teguh dengan prinsip Islam dianggap mulia derajatnya, tetapi sekarang, Muslim yang demikian dianggap menakutkan. Sebaliknya, cara pandang terhadap kaum feminis, pelaku seks bebas, pelaku homoseksual harus lebih lunak dan toleran. Selanjutnya, terhadap orang yang berbeda perspektif dalam tataran ideologi Islam, akan ditanamkan persepsi buruk yang mengarah pada kebencian.


Pergeseran nilai baik buruk ini, tak pelak akan mendatangkan berjuta masalah manakala terjadi pertentangan antar manusia. Hal ini akan melahirkan kekacauan dan konflik yang tak ada habisnya. Akibatnya kondisi masyarakat dan negara menjadi carut marut tak menentu. Sementara itu, tak ditemukan solusi yang jitu terhadap berbagai konflik yang terjadi. Ini karena aturan buatan manusia tak mungkin memadai untuk bisa mengatur kehidupan. Hanya Aturan yang datang dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam semesta sajalah yang bisa.


Ini sebagaimana Firman Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 54, yang artinya,“Ingatlah, mencipta dan memerintah hanyalah hak Allah, Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” Juga dalam FirmanNya di Surah Yusuf ayat 40, “Sesungguhnya pembuat hukum itu hanyalah Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.” 


Perspektif moderat yang berasaskan wasathiyah (jalan tengah), juga mengakibatkan terbelenggunya kemampuan fikih Islam untuk menjawab problematika umat manusia hari ini. Hal ini serta merta menjadi jalan yang terbuka lebar bagi semakin kuatnya cengkeraman asing dalam menguasai sumber daya alam dan mengatur kebijakan di negeri ini. Karena, dengan mandulnya fikih Islam dalam melahirkan solusi, maka cengkeraman asing yang menimbulkan problem bagi rakyat Indonesia tidak akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Solusi tidak berdasarkan Islam, tidak bisa menuntaskan masalah, malah akan menambah masalah baru. Ini yang mengakibatkan cengkeraman asing bertambah kuat.


Padahal Islam telah Allah turunkan sebagai ajaran yang bersifat ideologis, yaitu memiliki asas dan peraturan untuk di tataran individu, di tataran bermasyarakat dan bernegara. Islam ideologis telah Allah jamin kebenarannya dan kemampuanya dalam menyelesaikan semua problematika umat manusia. Dalam Surah Al-Maidah ayat ke 3, Allah berfirman, yang artinya, “Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu (Islam), dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu.”


Ketika telah jelas laksana matahari, bahwa Islam adalah agama yang benar dan memiliki peraturan-peraturan yang solutif, mengapa pemerintah harus bersusah payah mencari solusi dan mencoba-cobanya? Ibarat seseorang yang terserang penyakit, ketika ditawarkan obat yang baik dan tepat untuk menyembuhkan penyakitnya, ia malah memilih obat beracun yang memperparah penyakitnya dan membawanya kepada kematian. 


Jadi, ketika arah kurikulum pendidikan telah berbalut racun moderasi, maka ini menjadi sangat berbahaya bagi pemikiran generasi muda dan umat Islam secara umum. Moderasi Islam akan mengotori pemikiran generasi muda dan umat, sehingga tak mampu lagi membedakan mana yang sejatinya benar, dan mana yang salah. Ini seharusnya diwaspadai oleh pemerintah Kota Depok, tempat dibangunnya UIII ini, bukan malah senang dan berbangga menjadi kota yang memiliki simbol toleransi (baca: moderasi Islam)! []


Oleh Dewi Purnasari

Aktivis Dakwah Politik


Posting Komentar

0 Komentar