Tel Aviv Disokong Paman Sam, Al-Aqsa Didukung Siapa?


Pejuang Yerusalem kembali bersimbah darah. Ironisnya serangan brutal kaum zionis yang ditujukan pada para pejuang intifadah dilakukan di penghujung bulan Ramadan, tepatnya Jumat (07/05). Yang kemudian kejadian tersebut terekskalasi hingga riuhnya serangan udara yang dilancarkan oleh pihak Hamas dan Tel Aviv. Bentrok yang tak terelakkan antara kaum zionis dan islamis pun memakan korban setidaknya 248 jiwa, termasuk 66 anak-anak, di Gaza dengan lebih dari 1900 korban luka-luka dan lebih dari 500 rumah hancur (aljazeera.com, 22/05/2021). Sedangkan Tel Aviv menyebutkan 12 warganya terbunuh akibat serangan roket Hamas.


Sepanjang sejarahnya, kita mengetahui jelas bahwa Tel Aviv membombardir para penjaga Al-Aqsa dengan dukungan penuh dari negara adidaya Amerika dan para sekutunya. Dimana US secara rutin setiap tahunnya menyiapkan dana sekitar US$3.8 milyar (setara dengan Rp. 54.6 triliun) kepada entitas Yahudi, setara dengan 20% total budget anggaran pertahanannya. Sedangkan pada tahun 2019 sekutu besar US, yaitu Kanada, ikut menyumbang alutsista dan teknologi militer senilai US$13.7 juta (setara dengan Rp. 196.8 milyar). Tidak hanya itu, AS bahkan membangun sistem Iron Dome yang bernilai fantastis pada 2011 silam di Tel Aviv guna mencegat roket dan mortir jarak pendek. Dimana kemudian kita menyaksikan bagaimana sistem pertahanan Iron Dome mampu mengintersepsi sekitar 90% hujan roket yang ditembakkan Hamas (kompas.com, 18/05/2021).


Masih belum merasa cukup, pemerintahan Biden bahkan menyetujui penjualan senjata senilai US$735 juta (setara dengan Rp. 10.6 triliun) kepada kaum zionis, yang menurut negeri Paman Sam adalah kebutuhan Tel Aviv untuk “mempertahankan diri” (washingtonpost.com, 17/05/2021). Dukungan Sang Adidaya semakin terasa tatkala AS kembali memblokir diadopsinya pernyataan gabungan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menyerukan penghentian kekerasan antara entitas Yahudi dan pejuang intifadah. Ini menjadi momen ketiga dalam dua pekan terakhir saat AS menggunakan hak veto dalam isu konflik kedua negara (news.detik.com, 18/05/2021).


Dari sini bukanlah hal yang mengherankan jika kita katakan bahwa Tel Aviv hingga detik ini menjadi penerima kumulatif terbesar bantuan luar negeri AS sejak era pasca Perang Dunia II. Mantan Presiden US, Harry Truman, pun menjadi pemimpin dunia pertama dan terdepan yang mengakui kemerdekaan negara zionis sehari sebelum habisnya mandat Inggris di wilayah Syam tersebut. Lebih dari itu menurut data PBB, Amerika Serikat telah memveto lusinan resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang mengkritik Israel, termasuk setidaknya 53 resolusi sejak 1972 (aljazeera.com, 19/05/2021). 


Sekalipun kemudian pada Jumat lalu (21/05) pemerintahan Biden menyerukan gencatan senjata antara kedua belah pihak yang berseteru, hal tersebut tak kunjung menghentikan konflik. Pasalnya kurang dari 24 jam sejak gencatan senjata disetujui, pihak zionis justru menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa dan mulai melepaskan tembakan peluru karet serta gas air mata ke para jamaah yang baru selesai melaksanakan shalat Jumat (bbc.com, 21/05/2021). Hingga kemudian pihak administrasi Gedung Putih pun “turun tangan” dengan menjanjikan bantuan kepada pihak Gaza dan Tel Aviv pasca konflik (channelnewsasia.com, 22/05/2021). 


Joe Biden lebih lanjut menyebutkan bahwa “solusi dua negara” adalah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan Tel Aviv-Yerusalem. Dimana negeri Paman Sam dikatakan akan mengedepankan “perdamaian” antara dua pihak yang berseteru, dengan menjadikan keduanya hidup “berdampingan dengan damai”. Ironisnya janji manis Biden untuk membantu Gaza melalui skema kemanusiaan justru disertai dengan komitmen AS pula dalam membangun kembali sistem pertahanan Iron Dome di Tel Aviv yang sempat diluluh-lantakkan pihak Hamas (reuters.com, 21/05/2021). Yang kemudian umat muslim kembali tertohok dengan ujaran Biden, “Partai Demokrat tetap mendukung Tel Aviv”.


Dari sini kita dapat memastikan bahwa janji damai yang ditawarkan Paman Sam hanyalah perdamaian semu belaka, dimana sewaktu-waktu pihak Tel Aviv bisa secara bebas mengingkari dan kembali membombardir Yerusalem. Maka dari itu, satu-satunya jalan untuk menahan agresi militer kaum zionis adalah dengan kekuatan militer yang sebanding. Dan tentu saja kekuatan Tel Aviv yang mendapat dukungan penuh pihak Gedung Putih harus dilawan dengan kekuatan militer negara adidaya lainnya, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Dimana hanya Khilafahlah yang mampu menggerakkan kekuatan militer umat muslim sedunia dalam satu barisan tanpa ada sekat bangsa dan negara. Dan secara pasti akan mobilisasi pasukan negeri-negeri muslim untuk membebaskan tanah Yerusalem khususnya dan seluruh tanah kaum muslimin yang terjajah pada umumnya.


Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh Karina Fitriani Fatimah

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg, Germany)

Posting Komentar

0 Komentar