Singapura mengirimkan kapal MV Swift Rescue yang tiba di perairan utara Bali pada 25 April 2021. Kapal MV Swift Rescue berhasil mendapatkan citra kamera dan menemukan posisi KRI Nanggala-402 yang tenggelam di kedalaman 838 meter.(Kompas.com, 26/4/2021). Tak ketinggalan MV Mega Bakti, milik Malaysia juga sampai di lokasi hari minggu (25/4/2021) pukul 10.57 WIB.(kabar24Bisnis.com, 25/1/2021). Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari pertahanan keamanan di laut, menurut Susi Pudjiastuti mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, wilayah Indonesia ini 71 persen adalah laut, hanya 29 persen daratan. Maka konsentrasi dalam pengembangan pertahanan keamanan di laut juga harus diperhatikan.
Kekuatan alutsista sebagai pendukung menjadi sesuatu yang sangat urgen. Menurut data Global War Power 2021, Indonesia menduduki negara peringkat ke 16 dari 137 negara, posisi teratas masih diduduki Amerika Serikat disusul Rusia, China, India, Perancis dan Jepang.(tribbunnews.com, 5/10/2019). Termasuk didalamnya jumlah kapal selam Indonesia hanya 5 dan setelah tenggelamnya KRI Nanggala 402, praktis tersisa hanya 4 saja. Dari empat kapal selam yang tersisa, satu di antaranya sedang diperbaiki atau overhaul di Korea Selatan. Kapal selam yang dimaksud yaitu KRI Cakra-401. Usia kapal ini tak jauh berbeda dengan KRI Nanggala-402, yakni kurang lebih 40 tahun. Sementara tiga lainnya adalah kapal selam buatan Korea Selatan. Kapal-kapal itu yakni KRI Nagapasa-403, KRI Ardadedali-404, dan KRI Alugoro-405. Ketiga kapal buatan Korea Selatan terbilang baru. Saat ini hanya tiga kapal selam itu yang siap melaksanakan kegiatan operasi.
Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Beni Sukadis mengatakan Indonesia membutuhkan minimal 10 kapal selam untuk menjaga wilayah perairannya.(CNN Indonesia.com, 29/4/2021). Sementara pendanaan alutsista dikutip dari dokumen Nota Keuangan dan APBN lima tahun terakhir, anggaran Kemenhan berkisar di angka Rp100 triliun. Anggaran Kemenhan berada di angka Rp99,5 triliun (2016), Rp108 triliun (2017), Rp107,7 triliun (2018), Rp108,4 triliun (2019) dan Rp131,2 triliun (2020). Pada 2021, Kemenhan dapat jatah Rp137,2 triliun. Namun, anggaran yang dialokasikan untuk alutsista hanya berada di angka Rp43 triliun. Anggaran paling banyak digunakan untuk Program Dukungan Manajemen sebesar Rp72,3 triliun. Beni Sukadis menilai, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk alutsista terlampau kecil.
Dia berpendapat seharusnya Indonesia menganggarkan 5-10 persen dari APBN untuk alutsista. Namun, anggaran Kemenhan secara keseluruhan tahun ini hanya sekitar 7 persen dari APBN. Maka, perlu ada pembenahan dalam penganggaran alutsista dengan mengkaji ulang peta jalan pengadaan alutsista yang termaktub dalam Minimal Essential Force (MEF).(CNN Indonesia.com, 28/4/2021). Urgensi penggantian alutsista RI ini menjawab kebutuhan pertahanan dan keamanan negeri ini, ujar Pengamat Militer ISESS Khairul Fahmi karena menurutnya dari anggaran kementerian pertahanan Rp 137,2 triliun itu tidak semua digunakan untuk membeli persenjataan, 50% anggarannya digunakan untuk kebutuhan di luar persenjataan (CNBC Indonesia.com, 27/4/2021).
Anggota Komisi I DPR Farah Puteri Nahlia meminta pemerintah memprioritaskan agenda modernisasi alutsista dan menge valuasi seluruh kegiatan dan penganggaran yang tidak berkaitan dengan tugas utama TNI sebagai alat pertahanan. Menurutnya, KRI Nanggala-402 yang merupakan kapal buatan 1979 sudah seharusnya diganti dengan yang lebih baru.(CNN Indonesia, 23/4/2021) Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berbicara soal modernisasi alutsista di tiga matra-TNI AD, TNI AL, TNI AU. Menurut Prabowo, kita memang perlu meremajakan alutsista kita. Tapi biayanya mahal. (TEMPO.CO 22/4/2021). Jadi, mahalnya pengadaan sebenarnya bukan menjadi inti masalahnya akan tetapi menempatkan prioritas kebutuhan terhadap alutsista tersebut yang harusnya menjadi perhatian, karena selama ini anggaran dananya tersedia tapi dialokasikan di tempat yang lain.
Selain kapal selam yang minim, Indonesia juga tidak mempunyai satupun kapal penyelamat, hal itu diakui oleh Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (Kadispenal) Laksamana Pertama TNI Julius Widjojono mengakui Angkatan Laut Indonesia memang tidak memiliki alat atau kapal rescue untuk mengangkut kapal selam yang tenggelam atau mengalami kendala teknis saat beroperasi di perairan.(CNN Indonesia.com, 22/4/2021) sehingga ketika Kapal selam Nanggala 402 tenggelam, tidak bisa bergerak cepat dalam penyelamatan. Padahal sejak awal seharusnya kondisi itu sudah menjadi perhitungan yang matang, bahwa akan ada kondisi tertentu yang membutuhkan penyelamatan. Walhasil, paska KRI Nanggala hilang kontak, mereka hanya menunggu bantuan penyelamatan dari negara lain misalnya MV Swift Rescue dari Singapura, MV Mega bakti dari Malaysia, tidak ketinggalan Amerika Serikat, dan India.
Bagaimana negara-negara bisa secepat itu merespon permintaan bantuan Indonesia? Sebenarnya itu tidak bisa dilepaskan bahwa negara-negara ini memang tergabung dalam Lembaga Penyelamatan kapal selam International Submarine Escape and Rescue Liaison Office (ISMERLO), lembaga ini didirikan NATO dan Kelompok Kerja Penyelamatan Kapal Selam (SMERWG) pada 2003, setelah tragedi kapal selam Rusia, Kursk, yang tenggelam di Laut Barents dan menewaskan 118 awak di dalamnya. Bermarkas di Northwood, Inggris, organisasi ini beranggotakan tim ahli pembebasan dan penyelamatan kapal selam ada 15 negara yakni Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Swedia, Inggris, Brasil, Prancis, Italia, Rusia, Spanyol, Turki, dan Amerika Serikat, mereka siap untuk mengerahkan bantuan ketika ada panggilan darurat. (CNNIndonesia.com, 23/4/2021)
Sekilas mungkin tampak sebuah solidaritas bangsa-bangsa untuk penyelamatan. Hanya ketika kita telisik lebih jauh bagaimana AS memprakarsai berdirinya Pakta Pertahanan Atlantik Utara (bahasa Inggris: North Atlantic Treaty Organization) atau NATO adalah sebuah organisasi internasional untuk keamanan bersama yang didirikan pada tahun 1949, sebagai bentuk dukungan terhadap Persetujuan Atlantik Utara untuk membendung kekuatan Pakta Warsawa yang digawangi Uni Sovyet pada saat itu.(Wikipedia.org). Paska Uni Sovyet runtuh maka NATO sekarang menjadi satu-satunya lembaga solid di dunia dibawah kendali AS. Maka dengan turunan lembaga2 yang lain dibawahnya sejatinya akan semakin menguatkan kuku-kuku kekuasaan negara-negara kuat tersebut terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam kekuasaannya. Ini merupakan wujud hegemoni dengan wajah baru, menjadikan ketergantungan besar kepada mereka sehingga dengan mudahnya mereka masuk ke wilayah Indonesia, menggariskan kebijakan bagi Indonesia, bahkan mendiktenya.
Kondisi ini sangat berbeda dengan Islam dan sistem Islam yang dihasilkan, Islam dalam politik luar negerinya Dakwah dan jihad telah digariskan dalam QS Al Anfal:60 :"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." Maka muara kekuatan pertahanan keamanan Islam adalah bagaimana menguatkan pasukan untuk berjihad dengan mengupayakan kelengkapan militer didalamnya, yakni pasukan, persenjataan dan teknologi persenjataannya. Itu menjadi sangat penting bagi Negara yang berhukum dengan Syariat Islam untuk independen, kuat dan mandiri tidak tergantung dengan negara lain.
Dalam Islam negara akan mengupayakan kekuatan sendiri terkait industri militer untuk pertahanan dan keamanan negara tanpa mampu terbaca musuh, kecanggihan teknologi dihasilkan dari kerja keras anak-anak kaum muslimin sendiri. Sementara Pembiayaan semuanya berasal dari baytul maal yang diambil bisa dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang sejatinya merupakan kepemilikan umum yang diolah negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, jadi sumber daya alam itu bukan dikelola individu atau diberikan kepada pihak swasta atas dasar investasi, bisa juga dari sumber-sumber baytul maal yang lain seperti ghanimah, fa'i, kharaj, jizyah, 'usyr, dsb. Dari sini tampak jelas bahwa negara yang dibangun asas aqidah Islam lebih siap untuk menghadapi ancaman musuh dan mengantisipasi nya bukan sekedar mengharap bantuan dari negara lain yang tidak jarang meminta balasan yang lebih besar ketika membantu. Akhirnya, hanya merindukan Islam dan kaum muslimin bernaung dalam sistem yang sesuai dengan habitatnya yakni penerapan syariat Islam Kaafah dalam bingkai Daulah Khilafah agar 'izzah Islam dan kaum muslimin kembali.
Oleh Hanin Syahidah
0 Komentar