Menuju penghujung bulan Mei 2021, umat muslim Indonesia kembali digegerkan dengan pernyataan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi yang menekankan tentang moderasi beragama. Ia menyatakan bahwa moderasi beragama di Indonesia perlu dikuatkan sebagai strategi merawat bangsa ini. Ia juga menjelaskan bahwa penguatan moderasi beragama sangat penting dan relevan dalam merawat kerukunan masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk menghadirkan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. (nasional.kompas.com, 23/5/2021).
Benarkah moderasi beragama dapat menciptakan kerukunan dan keharmonisan masyarakat? Dan, bagaimana mungkin statement seperti itu dilontarkan oleh seorang Menteri Agama yang notabene adalah seorang muslim? Tentu imbasnya sangat berbahaya bagi masyarakat. Sebab, akan memutarbalikkan fakta yang sesungguhnya tentang moderasi beragama itu sendiri dan menjauhkan umat dari ajaran Islam kaffah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata rukun bermakna baik dan damai; bersatu hati dan bersepakat. Sedangkan kata harmonis merujuk ke kata harmoni yang bermakna keselarasan dan keserasian.
Istilah moderasi beragama sendiri merupakan mutasi dari istilah moderasi Islam yang telah gagal diinvasi untuk meracuni benak umat Islam. Pengusung moderasi beragama memiliki tiga tolak ukur sebagai berikut:
Pertama, seberapa kuat kembalinya penganut agama kembali pada inti pokok ajaran, yaitu nilai kemanusiaan. Menurut mereka, melalui kemanusiaan maka perbedaan agama di tengah masyarakat bukan menjadi persoalan mengganggu keharmonisan.
Kedua, kesepakatan bersama. Mereka berpendapat, melalui kesepakatan bersama menunjukkan kerja sama di antara sesama manusia yang beragam. Karena bagaimanapun manusia memiliki keterbatasan sehingga keragaman itu akan saling menutupi kekurangan.
Ketiga, ketertiban umum. Kesimpulan mereka bahwa manusia yang beragam latar belakang bisa tertib dan bisa memicu suasana beragama yang moderat. Tujuan agama dihadirkan agar tercipta ketertiban umum di tengah kehidupan bersama yang beragam. (purbalingga.kemenag.co.id, 3 April 2021)
Moderasi beragama itu sendiri muncul dengan dalih maraknya radikalisme yang mereka klaim berasal dari kuatnya keberagaman agama. “Keberagaman agama menjadi yang terkuat dalam membentuk radikalisme di Indonesia”. Walhasil, tagline yang mereka usung dalam moderasi beragama yakni “Keragaman adalah sebuah keniscayaan” dengan minus keragaman agama.
Lantas, bagaimana memunculkan kemanusiaan, kesepakatan bersama, juga menciptakan ketertiban umum di tengah masyarakat Indonesia? Hal ini tak pernah terjawab. Fakta justru menunjukkan semakin rendahnya rasa kemanusiaan, semakin tajam isu kesepakatan para pendiri bangsa (yang memperjelas tak ada kesepakatan bersama), serta ketertiban umum yang semakin pudar.
Contoh kasus, jumlah kejahatan tahun 2019 saja mencapai 269.324 kejahatan dengan selang waktu kejahatan mencapai 00.01’57”. Artinya, setiap sekitar 2 jam, terdapat satu kejahatan di Indonesia. Data ini merupakan data kejahatan yang tercatat di kepolisian, belum mencakup kejahatan yang tidak tercatat. Di luar itu, tentu lebih besar lagi. (bps.go.id, Statistik Kriminal 2020)
Dalam tatanan masyarakat pun, kesepakatan bersama dan ketertiban umum tampak semakin memudar. Hal ini disebabkan tidak ditegakkannya hukum serta munculnya produk hukum yang tidak pro-rakyat. Menurunnya kepercayaan publik tampak dalam berbagai aspek kehidupan dari tahun ke tahun.
Mengenai penyelesaian Covid-19 misalnya, kepercayaan masyarakat kian menurun. Pada Maret 2020, Indo Barometer mendapati hasil survey sebanyak 35,7% responden tidak yakin akan kemampuan pemerintah menangani Covid-19. (katadata.co.id, 24/4/2020). Lebih parah dari itu, Menurut hasil survey Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), tingginya sentimen negatif responden terhadap pemerintah Indonesia mencapai 66,28%. (news.detik.com, 30/4/2020). Lonjakan kerumunan sewaktu libur lebaran 2021 mengkonfirmasi hal itu.
Pada Oktober 2020, pemerintah juga telah meluncurkan produk hukum berupa Omnibus Law Ciptaker yang sebelumnya telah diprotes oleh kalangan buruh, mahasiswa se-Indonesia, dan masyarakat umum. Namun suara rakyat itu tak didengar. Omnibus Law Ciptaker pun tetap disahkan dan berjalan (bbc.com, 3/11/2020). Dengan demikian, kepercayaan masyarakat akan janji-janji kesejahteraan penguasa menjadi semakin luntur.
Moderasi beragama bukanlah jalan untuk menciptakan rasa kemanusiaan, memunculkan kesepakatan bersama, juga menciptakan ketertiban umum. Sebab harus ada satu leader dan aturan yang diikuti oleh seluruh rakyat karena diyakini dengan tolok ukur benar dan salah yang sama, standar baik dan buruk yang sama. Sementara, moderasi beragama tidak memunculkan aturan khusus yang khas dapat dipahami oleh pengusungnya. Walhasil, konsep oderasi beragama menyasar banyak hal dan bersifat subjektif. Beda halnya dengan konsep Islam.
Dalam Islam, negara menerapkan satu peraturan, yakni peraturan Islam. Urusan ekonomi, politik, kebudayaan, keamanan dan pertahanan, sosial dan aspek lainnya, semua diatur oleh Islam. Keberagaman muncul pada aspek-aspek yang boleh berbeda, semisal perbedaan agama, urusan makanan, pakaian, dan tata cara hidup di ruang lingkup pribadi. Allah SWT berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”
Islam juga menjunjung tinggi persamaan derajat manusia. Tidak ada beda antara orang kulit hitam dengan orang kulit putih sebagaimana dipermasalahkan oleh negara pengusung moderasi beragama. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
Rasulullah saw, juga telah meletakkan toleransi beragama sebagai salah satu prinsip dari Negara Islam yang didirikannya setelah hijrah, ke Madinah (Yatsrib). Tiga agama besar saat itu Yahudi, Nasrani dan Majusi (Zaroaster) telah mendapat pengakuan hak-haknya dari pemerintahan Islam saat itu.
Terhadap agama Nasrani tercermin dari tindakan Rasulullah saw. mengirim dan menerima utusan dari berbagai Raja dan Kabilah, dalam rangka pertukaran pendapat masalah agama. Terhadap agama Majusi, Rasulullah telah memberikan pengakuan kepada seorang Kepala Pedupaan sucinya Farrukh putera Syakhsan. Demikian pula telah diberikan perlindungan terhadap pemeluk agama Majusi. Terhadap golongan Yahudi, pengakuan hak-haknya telah tercatat dalam naskah Piagam Madinah.
Dengan demikian, kerukunan, ketertiban umum, serta munculnya rasa kemanusiaan telah sukses dilakukan oleh pemerintahan Islam. Konsep yang hakiki inilah yang seharusnya ditekankan oleh pemimpin umat untuk diterapkan dalam seluruh sendi kehidupan. Hanya dengan diterapkannya aturan Islam saja keharmonisan dalam kehidupan masyarakat dapat terwujud.
Wallahu a’lam bi as-shawaab.
Oleh Annisa Al Munawwarah
(Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi)
0 Komentar