Tidak hanya Covid-19 yang bertambah jumlah dan varian virusnya. Sehingga berdampak kepada warga Indonesia. Pajak yang dipungut pemerintah juga mengalami peningkatan jumlah dan variasinya. Hal ini tak luput mengakibatkan masyarakat yang tentunya akan terkena imbasnya pula oleh fenomena pajak ini.
Akibat target penerimaan pajak sebelumnya tidak tercapai, yaitu hanya mencapai 90%. Pemerintah berencana menaikkan target penerimaan pajak 2022, 8,37% hingga 8,42% year on year (yoy), sebesar Rp 1.499,3 triliun hingga Rp 1.528,7 triliun, atau lebih tinggi dari proyeksi tahun ini senilai Rp 1.444,5 triliun. Alasannya, pemerintah menganggap penerimaan pajak masih jauh dari target tersebut.
Dalam paparanya pada Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2021, Sri Mulyani menyebutkan ada empat strategi pemerintah untuk mengejar target penerimaan perpajakan. Pertama inovasi penggalian potensi dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha. Kedua, perluasan basis perpajakan. Ketiga, penguatan sistem perpajakan. Keempat, pemberian insentif fiskal secara terukur.
Sri Mulyani mengungkapan inovasi perluasan basis perpajakan antara lain pemungutan pajak e-commerce, penerapan cukai plastik, menaikkan tarif PPN, dan sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian.
Hal yang menjadi sorotan publik teranyar ini adalah rencana pemungutan PPN 12 % untuk komoditi sembako, jasa sekolah dan jasa Kesehatan. Kebijakan ini banyak mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan. Wajar, Karena hal ini terkait dengan kebutuhan asasi rakyat banyak demi melanjutkan kehidupan dengan layak.
Rocky Gerung berpendapat kebijakan ini tidak tepat diambil oleh pemerintah mengingat kondisi ekonomi saat ini masih belum pulih akibat terdampak Covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya. Kebijakan ini dinilai akan semakin menambah beban rakyat di masa pandemi.
Dari kalangan pengusaha (HIPMI) mengeluhkan rencana kenaikan PPN (pajak pertambahan nilai) akan berdampak produk dalam negeri tidak kompetitif di pasar internasional. Mempengaruhi pendatapan perusahaan terutama UKM yang berdampak pada keberlangsungan usaha dan angka pengangguran.
Pastinya PPN ini akan membebani rakyat sebagai pihak terakhir yang membeli atau menjadi konsumen sembako, jasa pendidikan dan jasa kesehatan. Naiknya PPN akan mendorong kenaikan angka inflasi. Harga kebutuhan pokok makin tinggi, rakyat semakin terbebani dan berakibat rakyat sulit memenuhi hajat hidupnya. Konsekuensinya angka kemiskinan akan kian meningkat.
Ekonom Senior Dr. Rizal Ramli menilai tambahan pajak PPN dari sembako, jasa pendidikan dan Kesehatan dinilai zalim, dimana kebijakan pemerintah yang ada sebelumnya menjaga benar untuk tidak menarik pajak dari sembako dan jasa pendidikan seberat apapun kondisi keuangan negara. Sembako, jasa pendidikan dan jasa kesehatan adalah kebutuhan pokok. Rakyat berhak untuk mendapatkannya dengan harga murah, bahkan kalau perlu disubsidi. Hal ini menunjukkan penguasa terlihat panik dan hilang akal menghadapi kondisi keuangan saat ini, ujar mantan menteri keuangan era Gus Dur tersebut.
Beliau menambahkan dengan kebijakan pemerintah terus menaikkan beban pajak kepada rakyat kecil dan UKM. Sementara itu membebaskan PPN perusahaan kapitalis besar, diantaranya me-nolkan royalti batu bara dan pembelian mobil. Hal ini menunjukan dengan kasat mata ketidak-adilan atau menunjukan posisi penguasa lebih pro kepada kapitalis besar yang sudah kaya dan menindas serta menggencet rakyat kecil yang miskin.
Setali tiga uang dengan kegagalan kebijakan tax amnesty yang seolah menunjukan keadilan penguasa kepada rakyat kecil, faktanya justru tidak tepat sasaran dan semakin membebani rakyat dengan berbagai jenis pajak baru. Sementara kapitalis besar banyak yang lolos dari kewajiban pajak ini dan menggelapkan atau memarkir dana pajaknya di luar negeri dengan bantuan oknum untuk memanipulasi pajak yang harus disetorkan ke negara.
Bahkan kita sempat dikejutkan dengan kabar berita seorang taipan properti yang tidak memiliki NPWP. Artinya terbebas dari kewajiban pajak. Hanya karena tinggal di Indonesia kurang dari 1 bulan. Terlepas pro dan kontra kebijakan kenaikan dan perluasan varian pajak. Pemerintah akan tetap menjalankan kebijakannya. Hal ini sebagai konsekuensi kebijakan ekonomi neolib yang dianutnya. Dimana Pajak dan utang menjadi sumber keberlangsungan ekonomi Negara.
Sudah menjadi rahasia umum, semakin kapitalis sebuah negara maka semakin tinggi pajak yang dipungut kepada rakyatnya dan semakin hilang subsidi yang diberikan kepada rakyat. Pajak yang semakin tinggi sebagai konsekuensi tingginya beban utang riba yang harus dibayar. Menurut Rizal Ramli, pemerintah harus membayar kewajiban bunga pinjaman 273 T tiap tahun, dimana Indonesia telah kebanyakan utang dengan menanggung beban bunga yang tinggi. Debt Overhang akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat dan berkurangnya anggaran untuk berbagai kebutuhan pokok rakyat.
Meningkatkan Target pendapatan pajak terus-menerus atau membebankan cicilan utang kepada rakyat dengan menaikan tax ratio, menjadi salah satu cara termudah. Pemerintah terkesan ‘malas’ apabila harus berfikir keras mencari cara lain untuk meningkatkan pendapatan demi menambal utang untuk memperkecil defisit APBN. Konsesukensinya rakyat akan terus menjadi sapi perahan dengan berbagai pungutan pajak yang terus bertambah, untuk membayar utang demi utang atas nama pembangunan.
Hinga akhir desember 2020 tercatat utang Indonesia telah mencapai Rp. 6000 Triliyun. Dimana utang-utang untuk berbagai proyek itu belum berdampak kepada kesejahteraan mereka. Belum lagi apabila pajak ini dikorupsi dan diselewengkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Inilah realita dampak buruk adanya mekanisme pajak sebagai sumber utama APBN, ditambah pula hal ini menunjukkan bahwa motif pajak dalam sistem kapitalisme-sekularisme yang digadang-gadang sebagai mekanisme keadilan bagi si kaya dan si miskin, tidak akan pernah terealisasi. Sistem kapitalisme-sekularisme selamanya akan meniscayakan adanya gap sosial. Kapitalisme-sekularisme telah gagal dalam menciptakan keadilan ini karena sistem ekonominya tidak memiliki mekanisme pendistribusian kekayaan yang adil dan merata di tengah-tengah rakyatnya.
Ketimpangan dan masalah distribusi kekayaan tersebut merupakan penyakit kronis ekonomi kapitalis. Menurut Human Development Report 2007, 20% penduduk paling kaya menghasilkan 3/4 pendapatan dunia, sedangkan 40% penduduk paling miskin hanya menghasilkan 5% pendapatan dunia. Lebih dari 20% penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan dengan standar US$ 1,25 perhari (Globalissues.org, “Poverty Facts and Stats.”).
Dalam laporan FAO, pada 2009 diprediksi dari 6,5 miliar penduduk dunia 963 juta di antaranya kelaparan (Kompas, 10/12/2008). Tahun lalu 31,5 juta rakyat Amerika hidup dengan bantuan kupon makan dari pemerintah (allheadlinenews.com, 18/12/2008).
Problem utama kesalahan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi dampak ketimpangan ini akibat aturan kepemilikan umum dalam perekonomian kapitalis menyebabkan negara menjadi mandul. Sumberdaya ekonomi dan pelayanan publik yang secara karakteristiknya tidak bisa dimiliki individu dan seharusnya menjadi milik bersama, oleh negara diserahkan kepada swasta dan investor asing. Akibatnya, rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan layanan publik dan barang-barang yang dihasilkan dari sumberdaya alam.
Pada saat pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk membiayai APBN secara layak dan terjebak utang di sisi lain swasta dan investor asing justru memperoleh pendapatan tinggi dari sektor-sektor ekonomi yang seharusnya dimiliki bersama oleh masyarakat. Inilah realitas sistem ekonomi kapitalisme yang akan senantiasa membuahkan ketimpangan dan ketidak-adilan ekonomi dan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Apabila menurut para ahli yang memperkirakan Indonesia belum bisa melunasi utangnya bahkan hingga tahun 2050. Maka bisakah negeri ini terbangun dari "nightmare", lepas dari jebakan pajak dan utang ketika membangun negeri ini sehingga kesejahteraan rakyat bukan lagi wacana atau mimpi? []
Wallahu a'lam biashshawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar