Antiklimaks UU ITE, Makin Mengokohkan Ilusi Demokrasi



Tim kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bentukan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) disebut malah akan menambah pasal baru. Padaha Presiden Joko Widodo sudah meminta revisi untuk pasal-pasal karet, (law-justice.co, 05/06/2021). 

Ketua Tim Revisi UU ITE, Sugeng Purnomo, mengungkapkan pasal baru yang akan dibahas untuk dimasukkan ke dalam UU ITE adalah tindak pidana yang dirumuskan kembali, ujar Sugeng dalam rekaman video yang Republika terima, Sabtu (22/5). Pasal lain yang dia maksud tersebut merupakan pasal 27, 28, 29, dan 36 UU ITE. Sub Tim II Tim Kajian UU ITE mengusulkan pasal-pasal itu untuk direvisi tentang unsur-unsur perbuatan yang dilarang di dalamnya agar aturan lebih tegas.

Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menyatakan UU ITE tidak akan dicabut. Pemerintah hanya akan melakukan revisi terbatas dan penambahan satu pasal ke dalam UU kontroversial tersebut. Karena UU ITE masih sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan menghukumi dunia digital," ujar Mahfud dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (29/4).

Mahfud melanjutkan untuk mengatasi kecenderungan salah tafsir dan ketidaksamaan penerapan aturan tersebut, maka pedoman teknis dan kriteria implementasi akan dibentuk. Pembentukan kedua hal itu akan diputuskan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Kementerian, yakni Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri dan jadi buku satu bagi wartawan, masyarakat, Polri, dan Jaksa Agung.

Sedangkan, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memaparkan hasil risetnya tentang penerapan UU ITE. Berdasarkan sampel putusan yang diteliti, tingkat penguhukuman sangat tinggi yang mencapai 96,8 persen. Dengan hukuman yang diterapkan mayoritas adalah hukuman penjara. Jumlah 88 persen dan sebagian besar kasus UU ITE yang diadili adalah kasus penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang mencapai 37,2 persen, (Merdeka.com, 10/3/2021).

ICJR berpendapat bahwa perlu ada beberapa pasal yang perlu dihapus, bukan direvisi. Misalnya Pasal 36 yang berbunyi Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

Bahwa dalam pasal tersebut tidak dijelaskan maksud kerugiannya, apakah materil atau imateril. Kemudian, ICJR juga menilai pemberatan ancaman pidana dalam pasal tersebut akibat kerugian yang ditimbulkan tidak relevan dan tidak sejalan dengan sistem hukum yang ada.

Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar dari Universitas Trisakti ini mengkritisi penggunaan pasal yang disangkakan kepolisian terhadap sejumlah tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Abdul Fickar mengatakan, sulit menyatakan apakah polisi benar-benar menegakkan hukum atau sekadar memukul lawan politik pemerintah, (Republika.co.id, 14/10/2021).

Penggunaan pasal pasal ujaran kebencian yg termuat dlm UU ITE terhadap tokoh tokoh politik dan aktivis sulit untuk dibedakan antara penindakan hukum dan pemasungan terhadap hak asasi manusia mengeluarkan pikiran dan pendapat.

Abdul Fickar mengatakan, UU ITE merupakan UU yang bersifat administratif, di mana pengaturannya lebih mengenai transaksi yang bersifat dan beraspek komersial. Namun, dalam penggunaaannya, UU ITE justru lebih banyak digunakan sebagai aturan pidana yang bersinggungan dengan hak berdemokrasi dan politik. Sulit menggunakan UU ITE secara objektif. "Karena itu, ketentuan ini bisa terjebak menjadi alat untuk memukul lawan politik oleh penguasa siapapun juga," kata Abdul Fickar.

Berdasarkan uraikan fakta diatas, maka beberapa poin penting untuk dikritisi, mengapa UU ITE semakin represif dan rakyat yang hidup dalam sistem demokrasi, tidak lagi memiliki kebebasan dan hak untuk menyampaikan kritik dan koreksi bagi penguasa meski realitasnya kebijakan dan regulasi yang diterbitkan nyata merugikan rakyat. 

Pertama, bahwa janji pemerintah untuk merevisi UU ITE agar berkeadilan bagi semua pihak, nyatanya terdapat gagasan untuk menambah pasal yang semakin represif bagi warga dunia maya. Ide tersebut, diakui oleh Tim Revisi UU ITE sebagai bentuk penegasan agar tidak menimbulkan multi tafsir, justru memberi ruang secara regulatif untuk menghukumi pengguna digital dengan pidana yang lebih memberatkan.

Kedua, dalam konteks UU ITE, pembatasan ini sudah dilakukan lewat undang-undang terhadap ruang kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi lewat sarana elektronik. Namun yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah, pembatasan kebebasan yang diatur dalam UU ITE justru membuktikan kegagalan demokrasi.

Salah satu permasalahan yang muncul adalah, terdapat kekaburan antara materi muatan yang dianggap penghinaan dengan yang dianggap sebagai kritik. Seringkali celah tersebut, membuka ruang kriminalisasi terhadap orang-orang atau badan yang sebenarnya ditujukan untuk mengekpresikan kritik. 

Data yang dilansir SAFEnet, praktik pengenaan UU ITE juga semakin meningkat. Tercatat pada tahun 2008 hingga awal 2021 terdapat 375 kasus yang menjerat warga terkait UU ITE dan lonjakan peningkatan penggunaan pasal-pasal larangan dalam UU ITE yang paling banyak digunakan berhubungan dengan materi muatan informasi yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik (45%), lalu yang mengandung materi muatan ujaran kebencian (22%), lalu yang melanggar kesusilaan (14%).

Berdasarkan data tersebut, menunjukan bahwa ketentuan dalam UU ITE secara praktik justru dijadikan alat untuk membatasi kebebasan berekspresi. Selain itu, sebagai catatan penting, bahwa adanya kekaburan pengaturan larangan dalam UU ITE ternyata diikuti dengan pola peningkatan penggunaan pasal-pasal larangan dalam UU ITE. Kondisi ini tentu menjadi boomerang bagi demokrasi yang menghendaki adanya ruang cukup kepada masyarakat untuk berekspresi. 

Ketiga, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas penerapannya dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Adanya anomali praktik pelaksanaan UU ITE yang justru jadi alat penghantam kritik, menimbulkan fenomena saling lapor, dan melemahkan perlindungan terhadap hak orang lain dapat dijadikan pertimbangan mendasar mengapa UU ITE harus dihapus bukan direvisi. 

Keempat, bahwa dengan revisi UU ITE, semakin memperjelas jika rezim panik dengan kritik, padahal kritik adalah check and balance yang berfungsi untuk mengontrol laju pemerintahan agar tetap dalam koridor yang seharusnya. Kondisi ini diperparah oleh kuatnya kolaborasi antara tiga organ pokok pemerintah.  

Dengan gagasan penambahan pidana, rakyat bertaruh nyawa. Ini situasi yang sangat memprihatinkan, sistem demokrasi yang seharusnya menggaransi dan memberi ruang seluas-luasnya untuk menyampaikan aspirasi dan kritik, malah rakyat diperhadapkan dengan pemberatan pidana. Rezim seharusnya berfokus menangani pandemi dan mengurusi rakyatnya, malah semakin getol membuat dan memperkuat regulasi agar bisa menghukumi kritik. 

Berbeda dengan sistem politik Islam, kontrol dan koreksi (muhasabah) dari rakyat amat dibutuhkan. Bahkan Rasulullah Saw secara spesifik menyatakan kewajiban dan keutamaan muhasabah, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran terhadap penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). 

Aktivitas muhasabah dilakukan bukan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah karena ambisi kekuasaaan, namun muhasabah dilakukan semata-mata untuk menjamin urusan umat dan menegakkan sanksi tanpa membedakan strata dan kedudukan seseorang. Dengan demikian kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh warga negara. 


Oleh Rabihah Pananrangi


Posting Komentar

0 Komentar