Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Dari akad tersebut akan muncul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Ketika hak dan kewajiban itu mampu dijalankan dengan baik, maka pernikahan akan menjadi penyempurna separuh agama. Hal ini seperti disabdakan oleh Rasulullah saw :
“ Siapa yang diberi karunia oleh Allah seorang istri yang Shalihah, berarti Allah telah menolongnya untuk menyempurnakan separuh agama. Karena itu, bertakwalah kepada Allah separuh sisanya,”(HR. Baihaqi).
Makna tentang hadits di atas salah satunya dijelaskan oleh Imam Al- Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin. Dua hal yang paling potensial merusak manusia yaitu syahwat kemaluan dan syahwat perut, maka dengan menikah menyelamatkan manusia dari syahwat kemaluan. Ini merupakan isyarat tentang keutamaan menikah, melindungi diri dari penyimpangan agar terhindar dari kerusakan.
Pernikahan yang ideal, harmonis dan penuh dengan kebahagiaan dan kasih sayang pada kenyataannya tidak mudah diwujudkan, banyak pasangan suami istri yang tidak kuat menghadapi badai rumah tangga. Istri yang merasa suami abai dalam memenuhi haknya dan tidak perhatian, pun suami merasa tidak dihargai sebagai kepala keluarga. Akhirnya menyerah dan memilih bercerai.
Fakta perceraian di Sukabumi
Pada masa-masa sulit di tengah gelombang pandemi yang belum mereda, angka perceraian di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Sukabumi mengalami peningkatan. Dilansir dari jurnalsukabumi.com(03/06/21), selama bulan April-Mei di kabupaten Sukabumi, Pengadilan Agama (PA) Cibadak mencatat sedikitnya ada 341 janda dan duda baru di Sukabumi berdasar hasil putusan majelis hakim.
Total untuk bulan April ada 163 perkara, yakni cerai gugat 140 perkara dan cerai talak 23 perkara. Sementara di bulan Mei ada 204 perkara, yakni cerai gugat 173 perkara dan cerai talak 29 perkara. Ini di ungkap panitera muda Hukum PA Cibadak, Ade Rinayanti. Ade juga mengungkapkan, bahwa faktor terjadinya perceraian variatif. Karena masalah ekonomi, perselisihan, pertengkaran yang terjadi terus menerus, ditinggalkan pasangan dan lain-lain.
Dilihat dari fakta di atas, dominan perceraian diajukan pihak istri (cerai gugat). Hal ini layak menjadi perhatian kita, karena lazimnya seorang perempuan tidak mau diceraikan. Ketakutan perempuan akan beban psikologis saat menyandang status janda, ketidakpastian ekonomi, dan jika sudah punya anak beban berat menjadi orangtua tunggal karena umumnya anak-anak lebih dekat dengan ibunya. Maka apabila perempuan lebih banyak mengajukan perceraian, pasti ada hal yang mendasar menjadi penyebabnya.
Penyebab meningkatnya perceraian
Perceraian memang bukan hal yang dilarang dalam Islam, namun merupakan aktivitas yang dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah saw bersabda: “ Allah tidak menjadikan sesuatu yang halal, yang lebih dibenci oleh-Nya dari talak.” Dan lagi:” perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.” (HR. Abu Dawud).
Dari hadits di atas jelas perceraian memang bukan hal yang dilarang, namun lebih baik dihindari. Adakalanya permasalahan rumah tangga datang dengan berbagi sebab, namun jangan sampai perceraian dijadikan sebagai solusinya bahkan nikah-cerai hari ini sudah menjadi tren. Pernikahan seolah tidak lagi dianggap sesuatu yang bernilai ibadah.
Banyak pihak yang menilai bahwa meningkatnya kasus perceraian ini karena pandemi, sehingga menyebabkan munculnya tekanan kepada para ibu. Di samping harus memenuhi kewajiban domestik di dalam rumah, ibu pun harus menjadi pendamping anak karena anak-anak sekolah di rumah, bahkan banyak para ibu yang akhirnya harus ikut menjadi pencari nafkah dan berpikir keras mengelola keuangan karena suami yang kena PHK.
Masa pandemi memang menimbulkan tekanan ekonomi pada sebagian besar keluarga. Pemasukan yang berkurang sedangkan kebutuhan hidup terus meningkat, menyebabkan ketegangan hubungan antara keluarga hingga menimbulkan KDRT. Dalam kondisi seperti ini racun feminisme (yang lahir dari kapitalisme) juga telah berhasil mendorong perempuan produktif mendapat kesetaraan dalam berbagai hak dengan laki-laki. Sehingga hal ini justru membuat sangat sensitif dalam berbagai peran di rumah tangga, dan rentan memicu konflik berujung gugat cerai.
Di saat yang bersamaan laki-laki dibuat terseok-seok menjalani perannya sebagai pencari nafkah, karena kapitalisme memberi peluang kerja yang lebih besar pada perempuan. Yang secara tidak disadari melemahkan peran laki-laki. Ketimpangan ini memicu perselisihan panjang di rumah tangga, hingga tidak mampu diperbaiki dan berujung pada perceraian.
Buruknya penanganan wabah juga menyebabkan efek domino yang berkepanjangan. Kasus perceraian yang terus meningkat juga tidak pernah dijadikan sebagai masalah negara. Padahal dari rusaknya rumah tangga, banyak generasi broken home yang tidak menutup kemungkinan merusak juga. Akhirnya terbukti bahwa penerapan sistem Kapitalis membuat negara tidak mampu menjadi pengurus dan penjaga umat.
Islam menjaga keutuhan pernikahan dan keluarga
Dalam Islam, keluarga adalah benteng pertahanan terakhir. Dari sanalah dimulai terbentuknya generasi, masyarakat dan kepribadian mulia. Oleh karenanya Islam memiliki seperangkat aturan yang berkaitan dengan pernikahan serta keluarga.
Islam menempatkan suami dalam keluarga sebagai pemimpin sedangkan peran istri adalah sebagai pendidik dan pengurus rumah bagi suaminya. Islam mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah, sementara bekerja bagi perempuan bukanlah kewajiban. Walaupun hal itu dibolehkan selama kewajiban utamanya di rumah dijalankan dengan baik.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 233 yang artinya: "…dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut (ma'ruf)…"
Jika peran ini berjalan dengan baik maka harmonisasi keluarga akan tercipta. Para istri tidak akan mudah teracuni oleh pemikiran-pemikiran batil. Hadirnya pandemi seharusnya meningkatkan iman dan kesabaran setiap keluarga. Jika pendapatan kecil maka tetap bersyukur dan berikhtiar dengan cara yang halal, bila suami sampai kehilangan pekerjaan maka istri harus memotivasi dan memberi dukungan.
Bukan hanya keluarga, peran negara dalam mengurangi beban ekonomi rakyatnya juga sangat penting. Negara akan menangani masalah wabah dengan efektif dan cepat sehingga tidak akan menimbulkan efek domino. Dengan penanganan wabah yang cepat, kegiatan ekonomi akan berjalan normal kembali.
Tidak seperti negara kapitalis yang malah memberikan pengelolaan sumber daya alam kepada asing, dan mendatangkan TKA di tengah wabah, himpitan ekonomi hingga gelombang PHK. Negara Islam justru menjamin seluruh kepala keluarga mampu menafkahi keluarga, dengan menyediakan lapangan kerja yang luas dengan gaji yang pantas. Menyediakan sarana pendidikan, kesehatan, transportasi, dan sarana publik lainnya. Sehingga meringankan beban keluarga.
Kesigapan pemimpin kaum muslimin, ketika mendapati pemerintah pusat sudah tidak mampu lagi menutupi semua kebutuhan dalam rangka menyelesaikan krisis. Khalifah Umar bin Khattab melakukan pemerataan ekonomi dengan cara meminta bantuan ke wilayah atau daerah bagian kekhilafahan yang kaya dan dapat memberi bantuan.
Hingga pada saat itu, gubernur Mesir Amru bin al-Ash mengirim seribu unta yang membawa Tepung melalui jalan darat dan mengirimkan dua puluh perahu yang membawa tepung dan minyak melalui jalur laut serta mengirimkan lima ribu pakaian kepada Khalifah Umar. Dalam kisah ini Islam memberikan teladan, agar wabah yang terjadi tidak menjadi penyebab timbulnya masalah lain harus ada kesigapan pemimpin dalam menyelesaikan krisis.
Namun karakter pemimpin seperti ini, tidak akan kita dapati di sistem Kapitalis, akibatnya pandemi yang melanda menjadi penyebab timbul permasalahan-permasalahan lain salah satunya meningkatnya kasus perceraian. Demikianlah, sejatinya dalam Islam negara berperan besar dalam menjaga dan meriayah umat, otomatis negara pun bertanggung jawab dalam menjaga keutuhan sebuah pernikahan dan keluarga. Wallahu ‘alam bishawab
Ani Ummu Khalisha
Aktivis Dakwah Peduli Negeri
0 Komentar