Draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru membuka kemungkinan menjerat orang yang menyerang harkat serta martabat presiden dan wakil presiden melalui media sosial dengan pidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta. Hal itu tertuang di Pasal 219 Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara itu, penyerangan kehormatan pada harkat dan martabat presiden serta wakil presiden yang tidak melalui media sosial bisa dijerat dengan pidana penjara maksimal 3,5 tahun atau denda Rp200 juta. Hal itu tertuang di Pasal 218 ayat 1. Di Pasal 218 ayat 2 kemudian dinyatakan bahwa tindakan tidak dikategorikan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Namun, di Pasal 220 menegaskan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud di Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan yang bisa dibuat secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. (cnnindonesia.com, 04/06/2021)
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji mengatakan, “Jadi memang dengan tetap menghargai prinsip demokrasi dengan karakter kebebasan berekspresi ini, maka aturan Penghinaan pada RKUHP ini berlainan dg KUHP lama. RKUHP tentang aturan Penghinaan ini memberikan jaminan kebebasan berekspresi bercorak demokratis. Presiden dan Wapres merupakan simbol kenegaraan yang patut dihormati, dijaga harkat dan martabatnya, sehingga memang sepatutnya ketentuan Penghinaan terhadap Presiden/Wapres tetap harus dipertahankan.”
Draf RKUHP masih menimbulkan polemik. Pasalnya, sampai sekarang belum ada kejelasan terkait beberapa istilah yang dimaksud dalam pasal tindak pidana martabat presiden dan wakil presiden. Kategori menyerang kehormatan harkat dan martabat melalui atau tidak melalui media sosial tidak dijelaskan secara rinci dalam pasal tersebut. Jangan sampai di kemudian hari, setiap kritik yang membela kepentingan rakyat dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan dan penguasa yang gagal mengurusi urusan rakyat bisa bersembunyi di baliknya.
Tak bisa dipungkiri, pasal yang semisal dengan draf RKUHP (dengan kemasan yang berbeda) ini sudah sering dikeluarkan penguasa dalam rangka membungkam sikap dan suara kritis rakyat. Hal ini pun sudah menjadi rahasia umum, bukan sekali dua kali, rakyat yang mengkritik pemerintah selalu berujung pada panggilan dan penangkapan. Atmosfer ketakutan masih menyelimuti suara rakyat yang berbeda pendapat dan mengkritik penguasa.
Produk RKUHP yang terbaru ini pada akhirnya memberikan gambaran nyata, bahwa rezim hari ini tidak konsisten dengan asas demokrasi yang diemban, yaitu terkait kebebasan berpendapat. Bukankah kebebasan berpendapat itu membuka jalan yang lebar bagi rakyat untuk memberikan kritik dan saran terhadap pemimpinnya? Pun pemimpin harus rela diberi pendapat, kritik dan saran bahkan hujatan sekalipun dari rakyatnya. Sebab rakyat memiliki hak untuk mengoreksi penguasa. Harusnya pemerintah menyadari, upaya yang dilakukan rakyat untuk mengoresi penguasa, agar penguasa tidak salah jalan. Jangan sampai pemerintah berlindung di bawah undang-undang anti kritik
Sikap penguasa yang represif dan anti kritik merupakan bawaan sistem liberal demokrasi yang lahir dari ideologi kapitalis. Sementara itu, ideologi kapitalis melahirkan sistem aturan buatan manusia yang sangat rentan konflik, memenangkan satu pihak, tidak bisa mengakomodir keseluruhan aspirasi rakyat dan kebijakan yang ditelurkan tidak mampu menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya. Justru yang terjadi, setiap kebijakan syarat dengan kepentingan korporasi.
Kondisi seperti ini berbeda jauh dengan Islam. Dalam Islam penguasa adalah pengurus sekaligus pemimpin rakyat yang membutuhkan nasihat agar terhindar dari perbuatan tidak adil dan zalim. Kritik dan nasihat rakyat terhadap penguasa adalah sunnah Rasulullah SAW. Kritik dan nasihat merupakan bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar tidak tergelincir pada keharaman.
Mengkritik kebijakan penguasa atau muhasabah lil hukam merupakan bagian dari syariat. Aktivitas ini adalah kewajiban bagi setiap individu Muslim. Mengkritik bukanlah ancaman, bahkan kritik dan nasihat sangat dibutuhkan sebagai standar mengoptimalkan kepemimpinan khalifah sebagai pertanggungjawaban di hadapan rakyat dan Allah SWT. Tanggung jawab yang diembannya untuk dunia dan juga di akhirat kelak. Semua ini dilakukan dalam rangka terwujudnya kemaslahatan umat dan ketakwaan kepada Allah SWT.[]
Oleh: Retnaning Putri, S.S., Aktivis Muslimah
0 Komentar