BTS Meal: Produk Kapitalis Suburkan Gaya Hidup Hedonis



Mulai 9 Juni 2021, gerai makanan McDonnald menjual paket makanan baru yang disebut BTS Meal. Pada dasarnya, BTS Meal adalah menu yang biasa dijual di gerai makanan ini, berisi nugget, kentang goreng, dua jenis saus dan minuman Cola. Yang membedakan dengan menu yang biasa adalah kemasannya yang berwarna ungu dan diberi label grup BTS. Harganya sekitar Rp. 51.000 setelah PPN dan hanya bisa dipesan lewat drive thru atau take away.

Lantas apa yang menjadi persoalan? Ternyata, pesanan BTS Meal begitu membludak dan memicu kerumunan hingga kepolisian turun tangan dan Satgas Covid-19 angkat bicara. Jelas, kerumunan yang ada memang berbahaya di tengah kondisi pandemi yang memburuk. Fenomena lain yang hadir dari BTS Meal ini adalah munculnya orang-orang yang menjual kembali BTS Meal dan kemasan BTS Meal dengan harga beberapa kali lipat lebih tinggi dari harga semula. 

BTS Meal  dapat menjadi gambaran awal bagi kita tentang biaya yang rela dikeluarkan oleh seorang penggemar K-Pop. Berdasarkan artikel dari kapanlagi.com (26/02/18) yang berjudul “Jadi Penggemar K-Pop, Sebenarnya Berapa Sih Biaya Yang Diperlukan?” Seorang penggemar K-Pop menjelaskan dalam setahun biaya rata-rata yang dikeluarkan Rp. 7.050.000. Ini adalah jumlah ‘standar’ yang berarti kemungkinan biaya yang dikeluarkan dapat lebih besar. Biaya ini digunakan untuk membeli mulai dari tiket konser, album, merchandise resmi, merchandise fansite, produk yang diiklankan idola, donasi, majalah dan kuota internet. Di sini terlihat jelas keloyalan dan dedikasi penggemar K-Pop terhadap idola mereka. 

Penyebab Generasi Muda Terbuai Budaya Idola

Kita jadi bertanya-tanya mengapa ada orang yang begitu mencintai selebriti hingga rela mengeluarkan banyak uang? Ternyata, akar penyebab generasi muda terbuai budaya idola adalah kapitalisme. Kita sadari sudah biasa seorang anak muda menjadikan selebriti favorit mereka sebagai role model. Sebelum K-Pop diganderungi seperti sekarang, generasi muda menjadikan selebriti Barat sebagai panutan mereka. 

Jadi, budaya idola adalah satu hal yang sudah dikondisikan dalam sistem kapitalisme. Hal ini dapat kita lihat dari empat aspek, yakni: Pertama, iklim kehidupan yang sekuler kapitalis. Iklim kehidupan sekuler-kapitalis yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan membuat generasi muda Muslim kehilangan gambaran tentang tujuan hidup yang hakiki. Akhirnya, kehidupan diarahkan sepenuhnya untuk meraih kebahagiaan. 

Mirisnya, kapitalisme tidak memberikan standar yang jelas untuk meraih kebahagiaan. Padahal kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. Ada yang bahagia ketika bisa memiliki rumah dan mobil mewah, mendapat ribuan likes di media sosial atau membeli barang-barang idola. Maka  sebenarnya, kebahagiaan dalam kaca mata kapitalisme adalah terpenuhinya kebutuhan.

Masalahnya, kapitalisme tidak memberi pemisahan yang jelas antara kebutuhan dan keinginan. Padahal kebutuhan itu terbatas sedangkan keinginan tidak terbatas. Ketika menjadikan keinginan sebagai kebutuhan, wajar kita merasa perlu memuaskan setiap keinginan yang dimiliki. Sehingga fenomena penggemar K-Pop yang menghabiskan banyak uang demi idolanya adalah hal yang niscaya dan diperbolehkan dalam sistem kapitalisme, karena itu adalah cara individu tersebut meraih kebahagiaannya.


Selain itu, figur seperti Rasulullah atau para sahabat tidak dihadirkan di sekitar generasi muda untuk dijadikan sebagai contoh dan teladan. Sehingga mereka mencari figur yang terlihat dan role model yang ditawarkan sistem sekarang adalah para selebriti yang moral, keimanan dan keberpihakannya kepada Islam patut dipertanyakan. Tidak adanya pegangan dalam memilih role model juga menjadi sebab para pemuda Muslim mengidolakan selebriti. 

Kedua, kapitalisme menyuburkan gaya hidup hedonis, salah satunya produknya adalah BTS meal. Generasi muda biasa menghambur-hamburkan uang untuk memuaskan obsesi mereka kepada para idola. Namun, mereka tidak peduli dengan kondisi umat yang bahkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama pada kondisi pandemi saat ini. Generasi muda merasa wajib dan urgent untuk membeli barang-barang yang terkait idola, tapi merasa tidak urgent untuk membantu saudara di Palestina, juga tidak merasa wajib untuk membangkitkan umat dari keterpurukan. Mindset individualis dan apatis memang sangat dipelihara pada sistem ini.

Ketiga, target pasar kapitalis. Dalam sistem kapitalisme, umat juga dijadikan pasar tempat jualan para kapitalis. Semua produk Hallyu Wave baik itu film, drama, musik/K-Pop dan lainnya memang telah di desain untuk memiliki kualitas yang sangat baik guna menarik minat konsumen. Orang yang tidak tahu apapun tentang hallyu wave mungkin akan heran mengapa segala hal terkait Korea Selatan begitu diganderungi. Namun, jika mencoba mengonsumsi salah satu produknya, kita akan tahu bahwa produk yang ditawarkan memang sangat menarik. Artinya, ketika generasi muda mencari tahu atau tidak sengaja mengonsumsi salah satu produk hallyu wave, tanpa sadar mereka bisa tenggelam dalam gelombang Korea ini. 

Setelah mendapatkan minat konsumen, antusiasme ini segera dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menjual berbagai produk yang dikaitkan dengan idola atau selebriti favorit. Jadi, kita sebenarnya tanpa sadar menjadi sapi perah bagi para kapitalis dengan mengeksploitasi rasa cinta kita kepada sang idola.

Keempat, melestarikan hegemoni Barat lewat budaya. Sistem kapitalisme menjadikan K-Pop untuk melestarikan hegemoni Barat lewat budaya. Salah satu misi hegemoni Barat, tepatnya Amerika Serikat adalah mengekspor modernitas dan mempropagandakan konsumerisme untuk melanggengkan dominasi peradaban mereka. AS berhasil menerapkan ideologi dan kebudayaannya dalam kehidupan masyarakat Korea Selatan. Budaya liberal ini kemudian diekspor melalui gelombang Korea di Asia. Dengan demikian, fenomena Hallyu Wave sebenarnya menandakan keberhasilan Barat menancapkan hegemoninya di Asia yang membuat kita menormalisasi budaya-budaya liberal.

ISLAM: Cara Mengelola Rasa Suka dan Cinta dengan Benar

Maka jelas, budaya idola adalah hal yang sudah dikondisikan dalam sistem kapitalisme. Oleh karen itu, Islam itu punya cara untuk mengelola rasa suka dan cinta dengan benar. Yang harus kita lakukan adalah menyadari apa tujuan hidup kita. Pertanyaan “Untuk apa saya hidup?” sudah dijawab oleh Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku" (Q.S. Az-Zariyat [51]: 56).

Jika memahami bahwa hidup hanya untuk beribadah kepada Allah, maka kita hanya akan berusaha melakukan aktivitas yang membuat Allah ridha kepada kita. Sedangkan aktivitas mengidolakan selebriti yang menghabiskan uang, waktu dan tenaga yang tidak mendatangkan ridha Allah dan berpotensi mendatangkan murka-Nya, jelas tidak akan dilakukan.

Islam juga mengajarkan rasa cinta dapat menentukan keadaan di akhirat kelak. Hal ini dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW: “Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum melainkan dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat nanti” (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 11/164, Asy Syamilah). 

Karena akan dikumpulkan bersama orang yang kita cintai, maka kita harus berpikir, apakah saya mau bersama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah di akhirat? 

Selain itu, Allah SWT juga berfirman: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (QS Al-Mujadilah: 22).

Jelaslah, kita harus memilih dengan cermat orang yang kita cintai. Bisa jadi kita akan dipisahkan dengan Rasulullah dan orang-orang beriman di akhirat karena mencintai orang yang salah. Sebaliknya, rasa cinta juga dapat membantu kita. Jika mencintai Rasulullah dan orang-orang salih, kita mendapat syafaat dan pertolongan dari mereka.

Sistem ekonomi Islam juga mengajarkan manusia untuk membedakan kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan adalah sesuatu yang harus dipenuhi dan jika tidak dipenuhi akan memberikan mudharat bagi manusia. Bila tidak mendatangkan bahaya, maka itu adalah keinginan atau nafsu yang tidak wajib untuk dipenuhi. Dengan demikian, obsesi dan kerja keras umat bisa diarahkan pada hal yang lebih bernilai dan akan memberi manfaat bagi masyarakat luas.

Selain itu, sistem pendidikan Islam juga akan mendidik generasi yang memahami tujuan hidupnya sebagai hamba Allah. Mereka menyadari di pundaknya ada amanah untuk melanjutkan kemuliaan peradaban Islam sebagai khairu ummah yang akan memimpin dunia. Sehingga terwujudlah generasi emas yang melahirkan sosok Muhammad Al-Fatih dan Fatimah Al-fihri, anak muda yang mampu menaklukkan dunia dan memajukkan umat berkat sistem pendidikan Islam.

Dengan demikian, budaya idola ini tidak dapat hilang hanya dengan penyadaran individu ke individu. Selama masih diterapkannya sistem kapitalisme, budaya idola akan selalu ada. Maka kita harus menggantinya dengan sistem Islam.[]


Oleh Ria Anggraini, Aktivis Dakwah


Posting Komentar

0 Komentar