Awal Juni 2021 jumlah kasus baru pasien positif Covid-19 meningkat di Indonesia. Peningkatannya mencapai 12.906 kasus pada Sabtu (19/6/2021). Sehingga total jumlah kasus positif mencapai 1.976.172. Hal ini merupakan angka tertinggi sejak pandemi dimulai (Detik.com 19/6/2021).
Dari banyaknya kasus tersebut telah ditemukan beberapa varian Covid-19, mulai dari varian Alpha yang pertama kali ditemukan di Inggris hingga varian Delta yang pertama kali muncul di India. Melansir data Kementerian Kesehatan per tanggal 13 Juni 2021 terdapat 107 infeksi varian Delta di Indonesia.
Disinyalir, varian Delta Covid-19 menginfeksi jauh lebih besar dibanding varian Alfa dengan 36 infeksi dan varian Beta dengan 5 kasus. Hal ini membuat varian Delta menjadi terbesar di Indonesia yang tingkat penularannya tiga kali lebih cepat, resiko rawat inap juga tinggi sedang saat ini kondisi rumah sakit banyak yang penuh hingga 100 persen (CNBC Indonesia, 19/6/2021).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung di Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengakui bahwa lonjakan kasus yang sedang terjadi di Indonesia disebabkan adanya mobilitas penduduk, kerumunan, dan kendornya protokol kesehatan serta tidak masifnya pengetesan dan pelacakan, yang diperparah dengan adanya varian baru.
Melihat hal tersebut pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengkritik sikap pemerintah Indonesia. Pandu menyebut pemerintah tenang-tenang saja dalam merespons varian delta yang dikategorikan berbahaya dan cepat menular oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) (BBC.com 18/6/2021).
Pandu membandingkan dengan pensikapan dari pemimpin dunia lain seperti PM Inggris, Boris Johnson misalnya. Bahwa Boris menunda pelonggaran hingga sebulan kemudian agar varian ini tidak banyak menyebar ke penduduk
"Kalau menyebar ke penduduk begitu dilonggarkan, nanti tidak terkendali lagi karena sudah diketahui bahwa ini sangat menular dan menyerang usia muda. Jadi itulah respons antisipasi yang dilakukan banyak negara," ujarnya kemudian.
Oleh karena itu, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengusulkan agar pemerintah segera menerapkan lockdown untuk menghentikan penyebaran virus Covid-19. Menurutnya lockdown idealnya dilakukan selama 30 hari, kemudian tidak tertutup kemungkinan diperpanjang atau dipercepat sesuai dengan kondisi. Selain lockdown, kata Miko, pemerintah juga diminta untuk segera mempercepat program vaksinasi (Kompas.com 18/6/2021).
Sehingga pemerintah, menurut Miko, perlu segera menerapkan strategi baru untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Bila tidak, lonjakan kasus terus terjadi di seluruh daerah di Indonesia. "Jangan terlalu yakin dengan kasus baru ini. Jangan punya strategi yang lama. Strateginya harus baru," kata dia.
Sepakat dengan Miko, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof Budi Haryanto juga mengatakan pemerintah tak memiliki pilihan selain menarik rem darurat, di tengah situasi yang disebutnya genting. "Kalau kita tetap seperti sekarang, tanpa ada upaya komprehensif, tegas, dan tanpa tindakan-tindakan yang revolusioner, kita tinggal melihat angka-angkanya setiap hari naik terus," ujarnya (BBC.com 15/6/2021).
Menunggu Kebijakan Pemerintah
Banyak pakar kesehatan sudah bersuara tentang varian Covid-19 Delta yang saat ini tengah melanda negeri tercinta. Mereka juga bersuara tentang sangat diperlukannya pembatasan aktivitas masyarakat yang selama ini tak membuahkan hasil.
Dalam kondisi seperti sekarang, sangat dibutuhkan ketegasan dari pemimpin dalam hal penyelesaian pandemi. Tidak lagi bermain dengan spekulasi kemenangan 2024 yang sudah di depan mata ataupun menomor satukan sektor ekonomi. Karena sudah ratusan korban meninggal yang menjadi tumbalnya.
Fokus mengayomi masyarakat adalah tugas pemimpin. Mereka dipilih karena dipercaya dapat menjalankan amanah untuk memberikan perhatian pada masyarakat yang dipimpinnya. Hal inilah yang tidak didapat karena kapitalisme menggerogoti relung pikiran dan hembusan nafas tiap manusia, tak terkecuali para pemimpin negara.
Mereka menjadi serakah terhadap dunia, hanya berpihak pada pendukungnya saja. Masyarakat sebagai pihak yang lemah hanya sebagai ‘keset’ penguasa yang tak diperhatikan apalagi dilayani. Kebutuhan padanya hanya lima tahunan saat pengadaan pemilihan suara.
Sehingga bila masyarakat seakan tidak patuh terhadap penguasa saat diarahkan untuk karantina, jangan salahkan mereka. Karena sedari awal, anggapan ‘virus itu ada’ juga dijadikan permainan oleh penguasa. Sampai kebijakan pun, kesehatan menjadi nomor dua dan sektor ekonomi adalah hal yang utama.
Oleh karena itu langkah bijak yang semestinya diakukan oleh penguasa saat ini adalah berpikir ulang bahwa mengayomi rakyat adalah keharusan. Menjamin kesejahteraan rakyat hingga kemakmuran dirasakan oleh semua.
Namun hal ini bisa terwujud secara tuntas bila pemahaman kapitalis yang sudah mengakar harus dicabut. Hal ini dikarenakan akar masalah dari kezaliman yang dirasakan oleh rakyat dari semua sektor bersumber dari ideologi korup ini.
Hanyalah Islam yang dapat menyelesaikan semua persoalan termasuk bagaimana memimpin yang dipercaya rakyat dan bagaimana mengatur negara. Lihatlah Umar bin Khaththab, ia sangat tegas dalam bertindak namun sekaligus tidak membiarkan kezaliman merajalela. Ia pula yang mencontohkan bagaimana seharusnya memperlakukan rakyat saat pandemi berlangsung di negerinya.
Kebijakan yang dibuat, semua berlandaskan syariat. Berpatokan pada bagaimana amanah utama seorang pemimpin yang mengayomi rakyatnya. Karena dalam sebuah hadis dikatakan bahwa “Seorang pemimpin laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung padanya” (HR Muslim).
Sehingga bila penguasa saat ini peduli dengan rakyat maka buatlah kebijakan yang cepat, tepat dan harus sesuai syariat dengan begitu Insya Allah negeri ini selalu berkah.
Wallahu’alam.
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar