Covid Menggila, Penanganan Tambah Ambyar?


Kasus Covid-19 di Indonesia kembali menggila. Dilansir dari portal penelitian Johns Hopkins University Center for Systems Science and Engineering (JHU CSSE) per 27 Juni 2021, telah menembus angka 2 juta dengan jumlah kasus baru sebanyak 21.342. Kawasan Jabodetabek mengalami peningkatan kasus yang signifikan. Tim Satgas Covid-19 Kabupaten Bekasi mendata adanya kenaikan kasus hingga 500% sejak lebaran 2021. 

Melansir dari portal beritasatu.com, total kenaikan mencapai 984 kasus per hari dari yang sebelumnya 171 kasus per hari. Penularan kerap terjadi dari cluster keluarga atau tetangga. Seperti di Perumahan Bumi Cikarang Makmur, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi dimana sebanyak 103 warga dinyatakan positif. Kondisinya menjadi problem multi dimensi melibatkan lingkup sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini tidak lepas dari penetapan kebijakan yang keliru dan tidak konsisten sejak awal pandemi.

Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak bertahan lama karena dinilai merugikan aktivitas korporasi dan pariwisata. Kemudian perubahan kebijakan menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro (PPKM Mikro). Ironisnya, tenaga kerja asing masih dengan mudahnya melenggang masuk dan mengeruk lapangan pekerjaan di Tanah Air. 

Hal tersebut seolah mengindikasikan bahwa Indonesia terbelenggu oleh kepentingan investor dan kerja sama antar negara. Terlepas dari motif yang melatarbelakangi longgarnya kebijakan hilir mudik tenaga kerja asing, sejak awal pemerintah kurang mempersiapkan bahkan cenderung menyepelekan isu Covid-19 ini. Seruan ‘berdamai dengan Corona’ digaungkan tepat setelah kebijakan PSBB dilonggarkan pada akhir tahun 2020. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kebijakan penanggulangan penyebaran wabah ini bermuara pada metode kekebalan populasi (herd immunity). 

Kontan.co.id pada 20/06/2021 memberitakan bahwa Presiden Joko Widodo berharap kekebalan populasi segera terbentuk setelah 10 juta dosis vaksin Sinovac baru tiba di Indonesia. Namun ahli epidemiologi Universitas Airlangga, Dr. dr. Windhu Purnomo menjelaskan bahwa Indonesia masih sangat jauh untuk mencapai kekebalan populasi. Jumlah vaksin yang masih terbatas dan munculnya varian virus baru yaitu Delta B.1.617.2 dari India menjadi tantangan dalam mewujudkan kekebalan populasi. 

Kebijakan vaksinasi Nasional juga turut memunculkan polemik lantaran keputusan menggratiskan vaksin bagi seluruh masyarakat berubah menjadi vaksinasi gotong royong. Swasta yang memiliki kemampuan membiayai vaksin diharapkan dapat melakukan vaksinasi mandiri. 

Ketentuan tersebut tertuang dalam Permenkes No. 10 Tahun 2021. 

Program vaksinasi mandiri bertujuan mendorong terciptanya kekebalan populasi lebih cepat sekaligus meringankan beban pemerintah. Padahal sebelumnya pemerintah telah menyatakan untuk merealokasi anggaran belanja bahkan rela berutang kembali demi mewujudkan vaksinasi gratis (muslimahnews.com).

Inkonsistensi menyebabkan rendahnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Rasa tidak percaya itu bermanifestasi menjadi sikap acuh. Banyak yang mulai mengabaikan protokol kesehatan. Bahkan, menganggap Covid-19 telah musnah karena terbiasa hidup “Normal” dibawah bayang-bayang pandemi. Kebijakan politik yang salah dalam menangani isu kesehatan turut menciptakan kondisi sosial dan ekonomi yang kacau.

Sistem Kepemimpinan Islam adalah Solusi

Landasan bertindak dalam sistem Islam adalah Al-Qur’an dan As-sunnah. Seorang kepala negara akan membuat keputusan berdasarkan hukum Allah Ta’ala. Sehingga akan meniadakan perkara-perkara yang tidak sesuai dengan syariat Islam. 

Hal ini akan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat karena Negara mengambil aturan dari Sang Maha Pencipta. 

Penanganan pagebluk mendunia saat ini termasuk kondisi kontemporer yang bersifat umum. Metode penanggulangannya bisa diambil dari berbagai sumber. Hanya saja, keumuman suatu metode tetap tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. 

Sebelumnya, Islam memiliki metode penanganan wabah yang sudah modern mengacu pada syariat Islam yang tidak tertandingi dengan metode dari luar Islam.

Terdapat tiga hal pokok dalam menangani pandemi sesuai tuntunan Islam: 

Pertama, negara harus menyadari sejak dini tanda-tanda wabah kemudian melakukan karantina wilayah. Karantina wilayah pernah dilakukan oleh Rasulullah sallalahu ‘alaihi wassalam ketika wabah Thaa’un melanda. Rasulullah menempatkan penyintas di daerah khusus sehingga rakyat yang sehat tetap dapat beraktifitas normal. Para penyintas turut menerima perawatan intensif di daerah khusus agar lekas pulih. Dengan begitu tidak terjadi penyebaran wabah. 

Kedua, negara mepersiapkan upaya penangan wabah. Seluruh sektor dikerahkan untuk memberikan kontribusi. Sektor pendidikan berkontirbusi menciptakan tenaga kesehatan dan ahli pandemi yang mumpuni. Sektor teknologi berkontribusi dalam menciptakan terobosan penangan wabah berbasis sains kontemporer. Sektor teknik berkontribusi dalam realisasi infrastruktur seperti rumah sakit dan akses jalan. Sektor sosial berkontribusi dalam pemetaan wilayah dan kondisi masyarakat. Sektor pangan berkontribusi dalam menciptakan ketahanan pangan selama pandemi. Hal ini dilakukan optimal oleh penguasa dengan koordinasi yang baik secara moril maupun materil.

Ketiga, negara fokus mengalokasikan anggaran untuk kemaslahatan rakyat baik sebelum, saat, ataupun setelah wabah berlangsung. Pengaturannya tentu dengan sistem ekonomi Islam yang tangguh, bukan dengan menyadur sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme mengedepankan utang dan pajak sebagai sumber pendapatan. Utang yang membelenggu menghalangi pemerintah memprioritaskan kebijakan untuk kemaslahatan rakyat, karena ada pihak lain yang harus dipertimbangkan ketika membuat kebijakan. Selain itu, pungutan pajak pada kondisi wabah hanya memperberat beban rakyat.

Dalam sistem Islam, anggaran negara bersifat khas. Negara merencanakan anggaran kebutuhan rakyat secara harian selayaknya pemenuhan kebutuhan individu. 

Dengan adanya Baitul mal dan pos-pos pemasukan dan pengeluaran yang jelas, sangat berbeda dengan rancangan anggaran dalam sistem ekonomi kapitalisme yang bersifat tahunan. Anggaran tahunan bersifat perkiraan sehingga dapat berpotensi kurang atau berlebih. Kurangnya anggaran menghasilkan utang yang berbuntut balas budi kepentingan, sementara kelebihannya berpotensi di korupsi.

Mengutip dari kitab Nizhamul Iqtishady, sang penulis yaitu Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan salah satu kaidah pengeluaran harta dari Baitul Mal adalah adanya unsur keterpaksaan. Wabah termasuk kondisi memaksa yang mewajibkan negara untuk mengeluarkan harta dari Baitul mal. Apabila pada saat tersebut tidak terdapat harta di Baitul Mal, maka negara akan mengumpulkannya dari kaum muslimin kemudian menyalurkannya dengan amanah.

Mandirinya manajemen kas pada sistem kepemimpinan Islam menutup pintu utang luar negeri dan aktifitas ribawi. Dengan begitu akan sangat mudah mewujudkan kebijakan seperti vaksinasi gratis untuk seluruh masyarakat. Tidak akan ada selentingan vaksinasi gotong royong atau keterbatasan jumlah vaksin. Negara menjamin seluruh rakyatnya dapat tervaksin, serta mendukung sektor kesehatan dan teknologi untuk menciptakan vaksin terbaik.

Sistem politik yang tepat akan menghasilkan kebijakan yang tepat, sehingga rakyat sepenuhnya percaya untuk menggantungkan nasib kepada pemerintah. Terawatnya kepercayaan rakyat menghasilkan ketaatan rakyat pada pemimpin. 

Demikianlah sistem kepemimpinan Islam dalam menyikapi wabah. Tidak ada lagi sengkarut dalam menangani pandemi jika landasan kehidupan bernegara berasal dari syariat Islam. Allahu a’lam bisshawab.


Oleh Ainani Tajriyani, S.Farm. (Aktivitas Dakwah)

Posting Komentar

0 Komentar