Diplomasi Haji Setengah Hati, Akibat Desakan Ekonomi?


Kegaduhan yang muncul akibat pembatalan penyelenggaraan ibadah haji secara sepihak oleh pemerintah Indonesia terus bergulir di berbagai kanal media. Narasi yang berkembang tidak hanya bicara seputar efek pandemic bagi jemaah haji. diplomasi antar negara dan manajemen pelaksanaan haji tetapi juga mempertanyakan dana haji 

Mencermati persoalan ini menjadi menarik, sebab tak hanya membahas seputar ibadah ritual haji itu sendiri. Tetapi lebih pada aspek politik ekonomi yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji itu sendiri. Tentu akan dirasakan berbeda penyelenggaraan ibadah haji di negara yang mengadopsi nilai-nilai Islam dengan negara yang menjadikan sekulerisme sebagai asasnya. 

Bagi negeri-negeri Islam, haji adalah sebuah ibadah penting bagi kaum muslimin. Dalam kacamata aqidah, melaksanakan haji adalah bagian dari rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan kaum muslimin ketika berbagai syaratnya terpenuhi. Maka bagi negeri-negeri seperti ini, memikirkan kemudahan dan memberikan fasilitas untuk menunaikan ibadah haji adalah hal utama yang akan diprioritaskan  

Diplomasi Setengah Hati?

Adapun Indonesia, meski mayoritas penduduknya muslim, dalam banyak hal secara umum telah men-declare dirinya sebagai negara yang berasaskan sekuler. Bahkan kementrian agama juga dengan sangat jelas menyatakan diri sebagai kementrian yang mengurusi semua agama. Hal ini ditegaskan oleh Gus Yaqut saat serah terima jabatan dari mentri agama sebelumnya, Fachrul Razi Desember tahun lalu. Meski harusnya porsi memikirkan umat Islam melebihi umat beragama lain karena jumlah penganutnya juga paling besar, tapi dengan pernyataan tersebut, kementrian agama seolah tidak bisa menjadi tumpuan harapan bagi kaum muslimin Indonesia. 

Pembatalan sepihak penyelenggaraan ibadah haji 2021 yang dilakukan pihak pemerintah Indonesia sungguh telah membuat ribuan calon jemaah bersedih. Pasalnya mereka sudah menabung bertahun-tahun untuk bisa menunaikan ibadah haji, sebuah ibadah yang wajib dilakukannya jika mampu. Pembatalan ini membuat mereka harus menunggu dan mengantre lagi untuk tahun depan, padahal belum tentu juga di tahun depan nyawa masih melekat dengan raga.

Anehnya, pembatalan ini dilakukan sebelum adanya kejelasan dari pihak Arab Saudi terkait kuota haji tahun ini. Bahkan, bantahan dari pihak Kedubes Arab Saudi secara langsung kepada ketua DPR-RI, Puan Maharani, terkesan menunjukkan sikap “marah” pemerintah Arab Saudi atas kelancangan Indonesia menyebarkan informasi yang tidak benar (hoax)

Peristiwa politik ini seolah menunjukkan keengganan pemerintah untuk melangkah lebih jauh dalam mempersiapkan penyelenggaraan haji di musim pandemi yang memang butuh efoort lebih besar dibanding sebelumnya. Bukan hal yang aneh jika kemudian umat Islam menganggap pemerintah setengah hati dalam berdiplomasi. Bahkan desakan untuk melakukan diplomasi ulang dengan pemerintah Arab Saudi dengan level yang lebih tinggi pun akhirnya disuarakan oleh ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Daulay. 

Sayangnya pemerintah tak bergeming. Justru pihak pemerintah menyatakan bahwa diplomasi yang dilakukan sudah pada level tertinggi. "Jadi KBRI sebagai garda depan diplomasi Indonesia yang berada di Arab Saudi sudah melakukan ikhtiar yang ekstraordinary," kata Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, yang sudah enam musim haji bertugas di Arab Saudi. Selama itu lobi-lobi terkait ibadah haji selalu dilakukan.

Pembatalan ini tentu harus dipandang tidak hanya dari sisi politik duniawi tetapi juga harud dilihat dari dimensi ukhrawi. Dalam pelaksanaan ibadah. birokrasi seharusnya tidak boleh dijadikan penghalang. Sebagaimana sholat, meski aturan di tempat kerja mengharuskan untuk tetap mengikuti meeting, toh sholat tetap wajib dilakukan. Justru orang yang menghalangi orang muslim menjalankan sholat, akan mendapat dosa besar. Dan kelak di akhirat, alasan birokrasi ini tidak bisa dijadikan hujjah atau argumentasi yang kuat. Lantas apa hujjah kita di hadapan Allah swt kelak?  

Disisi lain fakta ini seharusnya makin menguatkan kaum muslimin, bahwa sebenarnya mereka membutuhkan sebuah institusi yang sanggup meriayah mereka dengan baik, memahami Islam dan penerapannya secara kaffah serta mampu tampil dalam percaturan politik dunia sehingga seluruh urusan kaum muslimin tertangani dengan baik. Sesungguhnya umat ini membutuhkan Khilafah. 

Desakan Ekonomi?

Diplomasi setengah hati ini membuat banyak pihak kemudian mencoba mengaitkan dengan kondisi ekonomi Indonesia yang sedang di ambang krisis. Bukannya tanpa alasan, sebab isu penggunaan dana haji untuk infrastruktur sudah muncul sejak tahun lalu. Isu ini kini bergulir kembali. Ditambah lagi berbagai informasi ekonomi yang ada membuat masyarakat menyimpulkan bahwa kondisi ekonomi negeri ini tidak sedang baik-baik saja.

Di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang belum sepenuhnya pulih, industri ritel masih dalam kondisi memprihatinkan akibatnya banyaknya persoalan. Persoalan itu mulai dari penutupan sejumlah gerai, tekanan utang, gugatan PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) hingga pailit, hingga keputusan pahit pengurangan jumlah karyawan. Meskipun Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 ditargetkan bisa mencapai 6,9% sampai 7,8%, efek pandemi masih dirasakan oleh pengusaha ritel nasional. Pandemi Covid-19 menyebabkan bisnis ritel raksasa tanah air terguncang. Aktivitas ekonomi yang belum pulih karena kebijakan pembatasan sosial mengakibatkan penurunan pendapatan di tengah tingginya beban biaya operasional.

Tak hanya itu beberapa perusahaan milik negara juga mengalami kerugian yang cukup besar. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, misalnya, dilaporkan telah menanggung rugi sampai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,43 triliun (asumsi kurs Rp 14.300) per bulan karena pendapatan yang diterima tak sebanding dengan beban biaya yang dikeluarkan. 

Demikian juga dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) diketahui memiliki utang sebesar Rp 649,2 triliun berdasarkan laporan keuangan hingga akhir tahun 2020. "Utang tersebut setahu saya sebagian besar karena penugasan pemerintah kepada PLN. Jadi sebenarnya, pemerintah berkewajiban untuk membayarnya kepada PLN," ujar Martin Manurung, Wakil Ketua Komisi VI DPR dalam siaran pers, Selasa (25/5/2021). Jika pelunasan utang pemerintah kepada PLN tak kunjung dilakukan, kondisinya akan menjadi beban yang berkelanjutan bagi PLN. 

Belum lagi utang negara sendiri yang kian merangkak naik. Pemerintah dikabarkan akan mengambil ancang-ancang untuk kembali menarik utang baru pada kuartal II-2021. Besaran utang yang bakal ditarik adalah Rp 323,4 triliun. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menyebut, penarikan utang bakal bersumber dari 3 sumber. "Target pengadaan utang tunai kuartal II 2021 sebesar Rp 323,4 triliun, yang terdiri dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN), penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan pinjaman tunai," sebut DJPPR dalam Dept Portfolio Review kuartal I-2021, Selasa (18/5/2021) sebagaimana yang dilansir oleh kompas.com. 

Kondisi ekonomi seperti ini membuat masyarakat menyimpulkan bahwa negara saat ini sedang membutuhkan uang dalam jumlah besar. Bahkan kesimpulan ini juga didukung oleh pernyataan para pakar ekonomi yang masih memihak rakyat. Mereka bahkan dengan lugas dan jelas mampu menggambarkan kondisi ekonomi negeri ini dengan berbagai indikatornya, terlepas bahwa sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini memang sudah membawa cacat bawaan sejak lahir.

Artinya, jika isu penggunaan dana haji untuk infrastruktur ini mengalir bak bola panas, maka seharusnya pemerintah segera melakukan instropeksi terhadap apa yang sudah dilakukannya selama ini. Bukan malah membela diri dengan mencoba menenangkan masyarakat dan mengatakan bahwa dana haji aman. Itu tidaklah cukup untuk mengembalikan rasa percaya umat.

Apalagi sebelumnya para buzzer cukup ramai meneriakkan agar hasil donasi kaum muslimin di Indonesia untuk Palestina yang jumlahnya sangat banyak itu diaudit.  Padahal dana tersebut bukan dana milik lembaga atau negara. Itu dana pribadi milik umat yang dititipkan kepada sosok yang dipercaya untuk disalurkan. Jelas bukan korupsi atau mengambil harta negara.

Haji, Butuh Ditopang Dengan Sistem Dari Ilahi

Kondisi ekonomi yang karut marut ditambah kebijakan politik yang seringkali justru menuai polemik membuat umat kian menyusut kepercayaannya kepada rezim. Seolah rezim berjalan ke arah yang berbeda dengan arah yang dikehendaki oleh umat. Banyak sudah kebijakan yang dibuat atas nama rakyat tapi tidak untuk kepentingan rakyat. Tak hanya pada persoalan haji saja, tapi hampir pada semua aspek kehidupan.

Demikianlah realita yang terjadi, jika sebuah negara menganut sistem sekuler, sementara rakyatnya menginginkan pengaturan segala urusannya, termasuk urusan ibadanya, berjalan baik. Fakta yang ada justru menunjukkan bahwa sistem sekuler tak pernah mampu mengakomodasi semua urusan kaum muslimin. Sebab urusan kaum muslimin hanya akan bisa berjalan dengan baik dengan sebuah sistem dari Allah swt, Tuhannya sendiri.  

Allah swt Maha Mengetahui semua kebutuhan manusia beserta karakter dan potensinya. Karenanya Allah menurunkan ajaran Islam yang paripurna, yang dengannya semua aspek kehidupan bisa dijalankan sesuai syariat. Tujuannya bukan sekadar membuat manusia masuk dan memeluk agama Islam saja, tapi juga agar mereka menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan, termasuk dalam hal berpolitik dan berekonomi.  Dengan demikian polemik haji ini seharusnya membukakan mata hati kita akan kebutuhan utama kaum muslimin, yakni diterapkannya sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bish showwab.


Oleh Kamilia Mustadjab 

 

Posting Komentar

0 Komentar