Disparitas Hukum IB HRS VS Pinangki, Dampak Hukum sebagai Alat Politik Kekuasaan Oligarki

 


Masih belum hilang dari ingatan bagaimana fakta kecacatan hukum dan penegak hukum terus terjadi di negeri ini. Dimana kasus ini telah membangkitkan emosi dan nalar sehat berbagai pihak. Baik masyarakat biasa ataupun para praktisi dan akademisi hukum. Yakni kasus vonis 4 tahun kurun IB HRS dan Jaksa Pinangki.


Tepatnya Kamis, 24 Juni 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dipimpin oleh Hakim Khadwanto menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada IB HRS dalam perkara hasil tes swab Rumah Sakit (RS) Ummi Bogor. Putusan ini lebih berat dibanding putusan Hakim Nyoman yang hanya menjatuhkan 8 bulan penjara pada sidang sebelumnya. Menurut hakim, HRS terbukti secara hukum melakukan kebohongan yang menimbulkan keonaran, sehingga dianggap melanggar pasal 14 ayat 1 UU No 1 Tahun 1946.


Gayung bersambut keputusan ini memancing komentar dari berbagai pihak. Umumnya mereka menyoroti kelayakan vonis 4 tahun untuk kasus pelanggaran prokes yang dianggap kasus biasa dibanding kasus mega korupsi dimana pelakunya masih berkeliaran. Mempertanyakan rasionalitas hukum dari kasus tersebut. Dimana yang masuk akalnya ialah kasus pelanggaran prokes tersebut semestinya penyelesainnya dengan mediasi, dialog dan edukasi, berubah menjadi vonis 4 tahun penjara.


Hal ini tentu mempertanyakan kembali independensi penegak hukum. Refly Harun Ahli Hukum Tata Negara menyebut putusan hakim yang menyatakan Habib Rizieq menyebarkan berita dan pemberitahuan bohong serta memunculkan keonaran sehingga dianggap melanggar pasal 14 ayat 1 UU No 1 Tahun 1946 merupakan UU Zombie yang dihidupkan kembali. 


“Yang namanya putusan hukum, ada dua perspektif yaitu formal dan substantif. Secara formal kita tidak bisa mengatakan keputusan ini salah. Semua putusan hakim itu benar sampai kemudian dikoreksi oleh pengadilan tingkat atasnya dalam hal ini banding. Putusan banding benar sampai kemudian dikoreksi oleh kasasi. Kalau sudah kasasi itu inkrah. Kalau ada novum baru boleh diajukan peninjauan kembali,” katanya.


Tapi secara substantive tentu akan bertanya-tanya dengan putusan tersebut. ”Kok bisa, kok bisa. Apakah hakim memutus secara independen dan dia berkeyakinan memang pantas HRS dihukum 4 tahun penjara atau dia menghukum berdasarkan pengaruh dari pihak lain,” katanya.


Berbeda 180 derajat dengan kasus hukum yang menimpa Jaksa Pinangki yang terjadi hampir bersamaan dengan kasus IB HRS. Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan untuk mengurangi masa hukuman terdakwa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun terkait perkara dugaan tindak pidana suap atau gratifikasi dan buronan Djoko Tjandra dan tindak pidana pemufakatan jahat.


Terpidana karena terbukti menerima suap 500 ribu dolar AS, melakukan pencucian uang, dan pemufakatan jahat terkait perkara Djoko Tjandra. Dalam perkara ini, Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana, yaitu pertama terbukti menerima suap sebesar 500 ribu dolar AS dari terpidana kasus Cessie Bank Bali Djoko Tjandra.


Uang itu diberikan dengan tujuan agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana dua tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 tertanggal 11 Juni 2009. Pinangki ikut menyusun action plan berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas putusan peninjauan kembali (PK) Djoko Tjandra.


Dia mencantumkan inisial "BR" yaitu Burhanuddin sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan "HA" yaitu Hatta Ali selaku pejabat di MA dengan biaya 10 juta dolar AS namun baru diberikan 500 ribu dolar AS sebagai uang muka. Perbuatan kedua, Pinangki dinilai terbukti melakukan pencucian uang senilai 375.279 dolar AS atau setara Rp5.253.905.036.


Uang tersebut adalah bagian dari uang suap yang diberikan Djoko Tjandra. Bentuk pencucian uang antara lain dengan membeli mobil BMW X5 warna biru, pembayaran sewa apartemen di Amerika Serikat, pembayaran dokter kecantikan di AS, pembayaran dokter home care, pembayaran sewa apartemen, dan pembayaran kartu kredit.


Perbuatan ketiga adalah Pinangki melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya, Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra untuk menjanjikan sesuatu berupa uang sejumlah 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejagung dan MA untuk menggagalkan eksekusi Djoko Tjandra yang tertuang dalam action plan.


Sebanyak 16.617 orang telah menandatangani petisi yang meminta hakim menghukum Jaksa Pinangki Sirna Malasari lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Artinya, mayoritas penandatangan secara implisit meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Hal ini seperti dikutip dari laman change.org pada Minggu (20/6/2021) pukul 11.40 WIB. "Hukuman ke penegak hukum yang tidak taat atau melanggar hukum harus lebih berat," demikian alasan salah satu penandatangan petisi tersebut. 


Sejumlah politikus pun turut meramaikan komentar disparitas hukum antara IB-HRS VS Pinangki yang dinilai tak adil dan kental nuansa politiknya. Mardani Ali Sera, Fadli Zon, hingga Fahri Hamzah memberi kritik terhadap keputusan hakim tersebut.

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, membandingkan kasus Rizieq Shihab dengan kasus korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang sama-sama divonis 4 tahun. Ia menilai penjatuhan vonis itu terlihat aneh dan beda perlakuan. Hal itu diungkapkannya lewat Twitter-nya, @MardaniAliSera, Kamis (24/6/2021).


Tanggapan juga datang dari politisi partai Gerindra, Fadli Zon. Melalui akun Twitternya, @Fadlizon mengungkapkan rasa kekecewaan pada vonis hukuman Rizieq Shihab. Dalam putusan hakim, kata Fadli Zon, banyak kebijakan dan keputusan yang tidak adil. Seperti penggunaan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dalam hukuman vonis tersebut."Banyak kebijakan dan keputusan yang tak adil pada HRS. Termasuk divonis dengan UU produk 1946, warisan Belanda. "Konteksnya pun sudah jauh berubah. Semoga HRS diberi kemudahan memperjuangkan kebenaran dan keadilan." jelas Fadli Zon.


Menurut Fahri, pasal terkait menimbulkan keonaran sudah tidak cocok di masa serba digital saat ini. Sebab, kata Fahri, era serba digital zaman sekarang memberikan ruang untuk terjadi keonaran. Namun, di sisi lain, keonaran juga dilarang oleh peraturan yang ada. "Pasal “berbuat keonaran” sudah tidak cocok dengan zaman media sosial sekarang. Sebab sosial media itu tempat “berbuat keonaran” difasilitasi. Belum pernah jempol memiliki kebebasan seperti sekarang sepanjang zaman. Di satu sisi keonaran dilarang di sisi lain difasilitasi. Aneh!" ucap Fahri, dikutip dari akun Twitternya, @FahriHamzah, Kamis (24/6/2021).


Fenomena disparitas hukum IB HRS dan Jaksa Pinangki adalah satu serial dari banyak serial sandiwara peradilan di negari ini dimana konsekuensi penganut demokrasi meniscayakan segala sesuatu bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Suap menyuap telah menjadi tradisi untuk mendapatkan kepentingan politik maupun kepentingan hukum rezim dan kroninya.


Di pengadilan, khalayak sudah lama mengenal jargon KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) dan (Kurang Uang Hukum Penjara). Pasal-pasal KUHP bisa ditarik ulur sesuai kepentingan pihak terdakwa atau korban. Untuk menarik ulur tentu ada harga yang harus dibayar. Siapa saja yang mempu membayar dia bisa terbebas dari jeratan hukum atau mendapatkan keringanan hukum dari tuntutan yang semestinya.


Namun bagi siapa yang tidak punya uang atau backing yang mumpuni tentu pertanda dia akan kalah atau ter’jepret’ pasal-pasal karet di muka hukum. Walaupun dia benar, memilki saksi-saksi dan bukti-bukti pendukung yang kuat. Itu tidak cukup. Anda harus bayar dulu untuk mendapat keadilan di muka hukum. Istilah Wani piro berjalan bersama fenomena disparitas hukum dalam demokrasi yang terus telanjang ditayangkan.


Keadilan menjadi kemewahan bagi masyarakat di muka hukum. Dimana pelaku kejahatan mendapatan hukum yang setimpal dengan perbuatanya dan kebenaran ditegakkan. Masyarakat pun merasa aman dari kejahatan. Hal ini menjadi kian langka. Yang sering terjadi sebaliknya, korban menjadi terdakwa dan terdakwa bebas dari delik hukum.


Pengadilan sering pula mempertontonkan bagaimana hukum dipolitisasi untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Terutama Penguasa. Di alam demokrasi sudah lumrah untuk mempertahankan kekuasaan rezim dan kroninya, seringkali bisa seenaknya mempermainkan hukum.

 

Mereka biasa mencari-cari delik hukum untuk menjerat, menjebak dan atau menjatuhkan pihak-pihak yang berseberangan dengan rezim. Karena dianggap bisa membahayakan kekuasaan atau kepentingan politiknya. 

Hal ini berbeda apabila pelaku kejahatan itu adalah rezim dan kroninya. Mereka bisa berkelit dari hukum bahkan menyerang balik korban dan menjadikan korban pesakitan di muka hukum.


Hakim dan jaksa sering menjadi kepanjangan tangan rezim dimana keputusan hukum sangat dipengaruhi kekuatan politik. Hal ini pasti bertentangan degan teori hukum manapun. Dimana seharusnya hukum dan penegak hukum bersikap independen, sehingga keadilan dan kesamaan hukum bisa ditegakkan.


Masyarakat menjadi semakin apatis dengan Pengadilan Hukum. Masyarakat telah hilang kepercayaan dan rasa horamat kepada institusi pengadilan. Bersama hilangnya wibawa hukum dan para penegaknya. Mereka inilah yang bertanggung jawab dengan hilangnya keadilan, kejujuran dan kesamaan di muka hukum, independensi dan integritas para penegak hukum.


Dampak lebih jauhnya rasa apatis ini akan menyuburkan sikap ketidakpercayaan masyarakat bukan hanya kepada para penegak hukum, tapi juga kepada rezim dan sistem undang undang yang berjalan di negeri yang menganut ideologi kapitalisme sekularisme ini. []


Wallahu a'lam biashshawab.


Oleh Novita Sari Gunawan


Posting Komentar

0 Komentar