Gaji Fiktif di Negeri Dongeng

 

Pengelolaan keuangan bukan lagi soal kecil, bahkan bisa dikatakan bahwa modal material merupakan suatu penunjang primer dalam tercapainya visi. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan tentu perlu dikelola secara baik yang bukan sekadar baik secara pengelolaannya, transparansi pun dibutuhkan dalam pengelolaan keuangan. Terutama keuangan yang menyangkut nasib rakyat. Maka jujur merupakan kompetensi utama yang mengiringi regulasi pengelolaan keuangan. 

Pengelolaan keuangan yang transparan sangat dibutuhkan,baik dalam sektor mikro seperti domestik mezzo seperti Komunitas maupun makro seperti negara. Namun bagaimana jadinya bila negara justru memiliki kecenderungan tertutup dalam pengelolaan keuangan. Bahkan tercium aroma kecurangan dan permainan gelap yang terjadi dalam sekelompok perangkat regulator. 

Tercatat sejumlah 97 ribu PNS (Pegawai Negeri Sipil) misterius mendapatkan Gaji, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengungkap bahwa sejumlah PNS tersebut di duga mendapatkan gaji fiktif hingga iuran pensiun terhitung sejak tahun 2014 silam. 

Data tersebut terungkap ketika BKN melakukan pemutakhiran data pada 2014 lalu. Namun tidak jelas keberadaan orang yang tercatat dalam data tersebut.

Dilansir dari cnnindonesia.com

"Ternyata hampir 100 ribu, tepatnya 97 ribu data misterius. Dibayar gajinya, dibayar iuran pensiunnya, tapi tak ada orangnya," kata Bima dalam tayangan YouTube Pengumuman BKN Kick Off Meeting Pemutakhiran Data Mandiri, Senin (24/5).

Oleh karena itu, jika mengambil nominal tersebut sebagai besaran gaji puluhan ribu PNS fiktif, potensi kerugian yang dialami negara bisa mencapai Rp151,39 miliar per bulan.

Selain itu, karena data PNS terbaru berdasarkan hasil pendataan pada 2014, maka dapat disebutkan bahwa negara telah merugi selama tujuh tahun enam bulan atau 90 bulan hingga Mei 2021.

Miris sekali, bagaimana mungkin pada segenap jajaran otoritas yang bertugas, birokrasi adminstratif masihlah sangat buruk bahkan hingga berpotensi merugikan negara hingga ratusan miliar. Negara dapat dikatakan kecolongan data, bahkan seolah kelalaian selama 7 setengah tahun ini merupakan sebuah perencanaan yang terstruktur dari sekelompok tikus-tikus yang bersembunyi dibalik gaji fiktif ini. 

Namun, perhitungan kerugian yang hingga mencapai sejumlah 152 miliar masihlah prediksi kasar. Sebab perhitungan tersebut belum termasuk tunjangan yang diterima oleh para PNS fiktif, yang jumlahnya bisa bervariasi. Tergantung pada instansi atau lembaga yang membawahinya, jabatan, kinerja, dan sebagainya.

Lantas masyarakat bertanya-tanya, Apakah mungkin tidak adanya pembaharuan data setiap tahunnya terkait jumlah PNS seperti data kematian, pensiun, sakit keras dan sebagainya. Bahkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku belum tahu dan akan segera melakukan penelusuran terhadap data PNS fiktif tersebut.

"Baru dengar ini. Kemenkeu akan segera telusuri," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Rahayu Puspasari kepada media. 

Konyol jika membayangkan bahwa Negara sebesar Indonesia yang sudah 75 tahun merdeka masih saja kecolongan data kurang lebih sebesar 100 rb PNS selama 7 tahun lamanya, apakah ini hanya kebetulan ataukah ini sebuah perencanaan dan permainan kotor dari topeng-topeng berwajah demokratis oportunis yang bersembunyi dibalik sistem operasi keuangan negeri? 

Yang pasti, masyarakat tidaklah bodoh, dengan daftar jajaran pajak yang harus dibayar setiap tahunnya namun hanya dapat menelan pahit nya kerusakan sistem operasi negara yang berantakan. Cepat atau lambat rakyat tentu akan menyadari bahwa sedikit demi sedikit rakyat hanya akan dipertontonkan ketelanjangan kegagalan rezim dalam mengurusi rakyatnya. 

Sebab kerugian ratusan miliar ini tak lagi soal siapa di balik ini, melainkan apa di balik ini, tak mungkin dalam sistem operasi bersih mengizinkan sekelompok tikus-tikus berjas elegan menerawang kesempatan dan bergeliat di brankas negara. Pasti ini dampak dari sebuah ekosistem sebagai perwujudan timbal balik lingkungan dan seperangkat populasi didalamnya.

Jika ada ekosistem yang mengizinkan sekelompok otoritas kekuasaan berjalan sewenang-wenangnya demi mementingkan kebutuhan perut semata, maka inilah yang terjadi. Bukan hanya satu dua bahkan bisa jadi seluruh komponen bekerjasama untuk saling memenuhi kepentingan pribadi dan nafsu keserakahan nya satu sama lain, tak mustahil bahwa mereka akan bekerjasama dan bersinergi untuk menipu, berlaku curang, dan mengkhianati amanah rakyat. 

Jika kita masihlah bertanya siapa di balik ini? Sungguh, terlalu banyak cara mereka menutupi lakon-lakon yang bermain di panggung kekuasaan, selama ekosistem ini mengizinkan kecurangan demi kecurangan terjadi. Maka tak ada lagi soal siapa, sebab bisa jadi semua orang yang duduk di kursi kekuasaan adalah mereka yang melakukan adaptasi hukum sistem operasi pemerintah yang memang sudah rusak dan usang. 

Yang mereka lakukan hanyalah beradaptasi dengan ekosistem yang ada. Segala regulasi, birokrasi, elektabilitas hanyalah transaksional antar populasi penguasa. Tidak lagi soal siapa melainkan apa dibalik semua kerusakan yang terjadi dalam negeri ini. 

Jika hanya terhenti pada siapa, kita hanya menunggu waktu pergantian personil dan kursi kursi kekuasaan. Tapi apakah cukup sampai di sini? Setelah berulang-kali pemilu dan pilkada, seolah negeri ini kehabisan orang jujur dan berakal sehat. Bahkan setelah sekian tahun lamanya negeri ini merdeka, negeri ini masihlah menjadikan rakyat sebagai budak-budak penguasa yang dibayar oleh nestapa dan derita. 

Sistem yang rusak hanya akan menghasilkan kemenangan bagi mereka yang jahat dan nista, selamat datang di negeri dongeng. []

Wallahu a'lam bissowab.


Oleh Dian Fitriani


Posting Komentar

0 Komentar