Jakarta diprediksi akan tenggelam pada 2045. Ramalan tersebut diungkap dalam laporan berjudul New elevation data triple estimates of global vulnerability to sea-level rise and coastal flooding yang terbit di jurnal Nature Communications pada 29 Oktober 2019.
Terkait kajian tersebut, Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan bahwa saat ini pemerintah tengah mengupayakan pembangunan Giant Sea Wall (GSW) atau Tanggul Laut Raksasa. Proyek tersebut merupakan bagian dari pembangunan terpadu pesisir Ibu Kota Negara. Menurutnya, proyek GSW menjadi salah satu solusi untuk potensi tenggelamnya daratan Ibu Kota (mediaindonesia.com, 26/5/2021).
Namun, benarkah pembangunan tembok penangkal gelombang tersebut mampu menghalau datangnya rob?
Pertama, sejak awal, proyek pembangunan Giant Sea Wall Jakarta hendak meniru tanggul laut Belanda. Tanggul laut raksasa di Belanda dibangun setelah badai laut melanda dengan ketinggian air 30 meter pada 1953. Namun, ahli oseanografi yang juga mantan Kepala Program Studi Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB), Muslim Muin mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki badai laut (Kompas.Com, 15/10/2015).
Jadi, sesungguhnya pembangunan GSW bersifat tidak urgent. Dalam policy paper berjudul “Prakiraan Dampak Giant Sea Wall Teluk Jakarta", faktor kenaikan permukaan air laut bukanlah ancaman utama yang mengharuskan dibangunnya tanggul raksasa. Kenaikan permukaan air laut dapat ditanggulangi dengan meninggikan tanggul pantai yang telah ada (tirto.id, 19/9/2021).
Kedua, hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diwakili oleh Profesor Henny Warsilah memberi jawaban atas master plan NCICD atau National Capital Integrated Coastal Development yang ditawarkan pemerintah Belanda yang di dalamnya terdapat mega proyek Giant Sea Wall. Hasilnya, pembangunan tersebut terkesan bias akan kepentingan bisnis. Profesor Henny mengatakan bahwa rancangan induk tersebut hanya menampilkan ilusi bagi penghuni baru, terkait lingkungan hunian yang modern, jauh dari keruwetan kota (lipi.go.id, 12/5/2017).
Senada dengan itu, saat menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI,
Chairul Tanjung mengatakan bahwa para pengembang yang mendapat konsesi harus membangun tanggul di wilayah yang dia dapat. Kontribusi pembangun tanggul laut raksasa itu menjadi syarat bagi pengembang sebelum melakukan reklamasi (bisnis.com, 9/10/2014).
Hal tersebut menjelaskan bahwa GSW bukan semata-mata untuk kepentingan warga Jakarta. Tapi, untuk melindungi permukiman yang akan dibangun di pulau reklamasi. Lagipula, dikutip dari laman bisnis.com, 14/10/2014, menurut Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Puput TD Putra menjelaskan bahwa GSW hanya mampu mengurangi banjir sebesar 8% saja. Pada intinya masyarakat di pesisir tidak merasakan manfaat dari proyek tersebut.
Walhi juga menilai pembangunan GSW akan merusak lingkungan dan merugikan para nelayan. Nelayan akan sulit mendapatkan tangkapan dan pembangunan GSW bisa menggusur para nelayan yang berada di 32 KM Pantai Utara Jawa (republika.co.id, (14/10/2014).
Ketiga, sesungguhnya, sudah banyak pakar dan ilmuan mengingatkan pemerintah bahwa proyek Giant Sea Wall bukan solusi banjir Jakarta. Tapi, justru proses pembangunannya mempercepat Jakarta makin tenggelam. Namun, sepertinya pemerintah hingga saat ini tidak mengindahkan peringatan tersebut.
Hal itu seperti yang diungkap LIPI dalam 12 poin temuan LIPI tentang kajian NCICD. Dibalik itu, LIPI juga membuat 11 rekomendasi untuk pemerintah, salah satu diantaranya upaya menghentikan reklamasi dan meminta kajian ulang secara fundamental dan transparan ke publik. Menurut LIPI, justru solusi reklamasi tidak menawarkan persoalan menyeluruh terkait ekonomi, khusunya warga nelayan Jakarta (lipi.go.id, 12/5/2017).
Keempat, selain sebagai solusi banjir, Ariza mengatakan bahwa proyek Giant Sea Wall ke depannya berkontribusi pada pengurangan penurunan muka tanah di DKI Jakarta. Karenanya, sistem penyediaan air minum atau PAM berbasis pipanisasi untuk penyediaan air minum yang baik, bersih, sehat, memadai tentu yang murah bagi masyarakat terus diupayakan Pemprov DKI Jakarta (mediaindonesia.com, 26/5/2021).
Jika demikian, sebagaimana kita ketahui, program Pemprov DKI Jakarta tersebut melirik tanggul laut raksasa Samangeum, Korea Selatan. Namun faktanya, tanggul laut terpanjang di dunia itu bukan tanpa masalah. Berdasarkan riset Hye Kyung Lee dari Seoul National University (2013), kualitas air yang digelontorkan dari dua sungai ke dalam tanggul ternyata tercemar industri pertanian dan peternakan di hulu. Akibatnya, ide sebagai sumber air bersih tak terwujud (Kompas.Com, 15/10/2015).
Bagaimana dengan Teluk Jakarta yang muara 13 sungainya tercemar? Riset Badan Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP BPPT) menyebut bahwa pembangunan tanggul laut akan menaikkan muka air di dalam tanggul hingga 0,5-1 meter setelah 14 hari simulasi. Arus air di dalam tanggul juga mengecil sehingga kualitas air dalam tanggul justru memburuk secara progresif. Dari data di atas, harusnya pemerintah meninjau ulang rencana tersebut.
Kelima, berdasarkan Disertasi Muslim Muin Ph.D., Giant Sea Wall (GSW) Jakarta dirancang dalam sistem tertutup dengan satu pintu keluar di alur Tanjung Priok. Tetapi, satu pintu air untuk alur Tanjung Priok tidak cukup untuk pencucian (flushing). Air yang terperangkap akan memiliki kualitas yang buruk karena berkurangnya dinamika aliran yang berperan dalam pencucian alami atau Natural Flushing. Oleh karena itu, dikhawatirkan dengan adanya GSW justru akan memperburuk kualitas air bersih di Jakarta.
Miris, jika dilihat dari data di atas, pembangunan GSW bukan untuk kepentingan masyarakat semata. Pemerintah dengan mudahnya mengeluarkan kebijakan reklamasi dan membangun GWS sebagai sarana yang katanya mencegah banjir di Jakarta. Namun nyatanya, hanya untuk bisnis dan memenuhi hasrat para kapital.
Tetapi sejatinya, hal itu tidak asing dalam negeri yang dipimpin oleh sistem demokrasi kapitalisme. Kebijakan pembangunan yang diadopsi saat ini memang disetir gurita kapitalisme global. Jadi, memang sama sekali tidak memiliki paradigma perlindungan terhadap lingkungan. Negara tidak menata wilayah dengan memperhitungkan keseimbangan ekosistem. Pembangunan yang dilakukan mengabaikan dampak lingkungan yang akan ditimbulkan.
Jadi, wajar jika bencana banjir kerap menyapa Jakarta. Tentu hal itu semata karena eksploitasi tidak terbatas di alam Jakarta. Padahal, selain memperhatikan kondisi alam negeri ini. Harusnya, pemerintah sebagai pihak yang diberi amanah oleh rakyat mengelola dan memimpin negeri ini takut pada peringatan yang telah Allah Swt. sampaikan dalam Al Quran.
Allah Swt. berfirman dalam Al Qur'an surat Ar-rum ayat 41 yang artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Oleh karena itu, diperlukan sistem komprehensif dan teruji terkait masalah banjir Jakarta. Selain itu, demi terjaganya kelestarian lingkungan dan kelangsungan hidup warga ibu kota. Jakarta butuh sistem pembangunan ramah lingkungan tanpa konflik kepentingan segelintir oknum yang ingin meraup keuntungan. Pertanyaannya, bisakah hal itu terwujud jika korporatokrasi masih mendominasi negeri ini? Wallahu 'alam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar