Hukum Tebang Pilih Dalam Sistem Kapitalisme



Massa pendukung Habib Rizieq Shihab (HRS) kembali menggelar aksi unjuk rasa di Kota Bogor pada hari Jumat (11/06/2021). Massa yang berjumlah sekitar 1500 ini, menuntut agar HRS dibebaskan dari segala tuntutan hukum dalam kasus yang saat ini sedang diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Perwakilan massa yakni Mahdi Assegaf sudah memasuki gedung DPRD Kota Bogor untuk bertemu dengan Bima Arya. Massa menuduh, Walikota Bogor adalah orang yang bertanggung jawab atas kasus yang dialami HRS (Kompas.com, 11/06/2021) 

Polda Metro Jaya menahan pemimpinan Front Pembela Islam ini, sejak tanggal 31 Desember 2020 di Rutan Ditres Narkoba Polda Metro Jaya. Seperti yang disampaikan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Agus Yuwono menyebutkan HRS ditahan dengan dua alasan yakni alasan objektif dan subjektif. Kasus yang mendera HRS terkait kerumunan yang ditimbulkan oleh acara pernikahan putrinya dan acara Maulid Nabi pada tanggal 14 November 2020. Sehingga karena kasus tersebut HRS diancam dengan hukuman di atas 5 tahun penjara.

Kemarahan pendukung HRS sangatlah wajar, pasalnya hukuman  pelanggaran protokol kesehatan (prokes) yang disinyalir dilakukan oleh HRS dianggap sangat berlebihan. Padahal banyak kasus pelanggaran prokes yang dilakukan bahkan oleh pejabat tidak mendapatkan hukuman dan sanksi apapun. Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh calon walikota dan wakil walikota Solo, seperti yang dilansir merdeka.com, 7/09/2020. Kedua calon tersebut menghadirkan banyak pendukung saat perjalanan ke KPU. Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) pada saat itu juga telah memberikan teguran kedua calon tersebut karena telah melanggar prokes Covid-19.

Pelanggaran prokes Covid-19 pun terjadi pada pernikahan salah satu youtuber Indonesia, yang mengundang tamu dari sejumlah pejabat negara dan tamu dari kalangan artis dengan jumlah yang tidak sedikit. Epidemiolog dari Univesitas Griffith Australia Dicky Budiman prihatin melihat pernikahan youtuber tersebut dihadiri presiden dan pejabat lainnya dalam situasi pandemi Covid-19. Walaupun secara visual acara sudah digelar dengan prokes yang ketat untuk mengurangi potensi tertular Covid-19. Namun di sisi lain, banyak acara pernikahan orang yang dibubarkan aparat meskipun sudah menerapkan prokes (suara.com, 05/04/2021)

Fakta di atas menunjukkan bukti bahwa kasus pelanggaran prokes terkesan tebang pilih dan tidak menunjukkan keteladanan pejabat negara pada masa pandemi Covid-19. Seharusnya prokes ini berlaku tidak pandang bulu, dan berlaku untuk semua. Bukan karena perorangan dekat dengan pejabat, public figure maka bisa mendapatkan pengecualian. Namun nyatanya pelanggaran prokes yang dilakukan untuk urusan pilkada atau public figure itu dibiarkan tanpa ada sanksi yang tegas. Sebaliknya pelanggaran prokes yang dilakukan oleh rakyat, maka segera diberikan tindakan tegas berupa hukuman penjara seperti yang dialami oleh HRS. Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah adalah cerminan penerapan hukum di negeri yang berpayung pada kapitalisme. 

Pemerintah menerapkan sanksi hanya berdasarkan manfaat semata, jika itu menguntungkan maka tidak akan ditindak. Seperti halnya pernikahan youtuber yang disinyalir sebagai salah satu penyumbang pajak terbesar dari konten youtubenya. Atau sebaliknya jika dianggap mengancam kedudukan penguasa maka jangan harap bisa lepas dari jeratan hukum yang sudah tersistematis untuk menjatuhkan lawan politik yang berseberangan dengan kepentingan penguasa, inilah yang terjadi pada penangkapan HRS dengan dalih pelanggaran prokes. Hal ini sangat jelas melukai rasa keadilan masyarakat. Asas manfaat ini merupakan prinsip yang bersumber dari sistem kapitalis sekuler yang melahirkan berbagai peraturan dan hukum yang berlaku di negeri ini. Inilah sumber permasalahan hukum di negeri ini, yakni karena penerapan sistem kapitalis sekuler. 

Lembaga peradilan yang diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat mendapatkan keadilan, namun realitanya jauh dari harapan. Nyatanya justru pengadilan dianggap sebagai tempat yang berperan penting menjauhkan masyarakat dari rasa keadilan. Harapan akan memperoleh kebenaran dan keadilan pun pupus ketika ditemukan adanya permainan sistematis yang diperankan oleh sekelompok orang yang disebut mafia peradilan. Kita telah banyak melihat adegan yang melukai rasa keadilan, para koruptor kelas kakap bebas berkeliaran sementara rakyat yang mencuri karena persoalan himpitan ekonomi hampir tak pernah lolos dari hukuman penjara. 

Saat ini mencari keadilan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, rumit, berbelit-belit, penuh tikungan dan jebakan serta berujung pada kekecewaan dan hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Menumpuknya kasus perkara di Mahkamah Agung, tidak hanya menunjukkan banyaknya permasalahan hukum dan kejahatan di negeri ini, akan tetapi juga karena panjang dan berbelitnya proses peradilan.

Realita sistem hukum dan peradilan di negeri ini, tergambar pada penelitian yang dilakukan oleh The Asia Foundation & AC Nielsen yang antara lain mengatakan : 49% sistem hukum tidak melindungi mereka, 38% tidak ada persamaan dimuka hukum, 57% sistem hukum masih tetap korup. Hal ini menunjukkan betapa bobroknya sistem hukum dan peradilan sekuler kapitalis, karena seluruh produk hukumnya dibuat oleh manusia yang lemah dan dijadikan alat memuaskan kepentingan para pembuatnya.

Begitu kompleks permasalahan yang berasal dari sistem hukum dan peradilan sekuler kapitalis yang diterapkan saat ini, sudah tidak bisa dielakkan lagi. Sistem peradilan seperti ini layak untuk ditinjau ulang. Tentunya masyarakat memerlukan sistem hukum yang memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan, sekaligus memberikan rasa keadilan bagi masyarakat tanpa ada pengecualian. Dan hal ini hanya bisa diwujudkan oleh sistem Islam yakni khilafah yang memiliki seperangkat aturan yang sempurna yang bersumber dari dzat pencipta manusia (Allah swt) dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Sejarah keemasan Islam telah membuktikan bahwa sistem peradilan dalam bingkai khilafah telah terbukti mampu mewujudkan keadilan dan kenyamanan dalam masyarakat. [] 


Penulis : Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)


Posting Komentar

0 Komentar