Kota Jakarta telah memasuki usia yang tidak muda lagi, di tahun 2021 ini usia kota Jakarta 494 tahun. Seolah tak berhenti menjadi sorotan, baru-baru ini kota Jakarta mendapat predikat sebagai kota paling berbahaya no.1 dari 100 kota-kota besar di dunia, yang 10 besar diantaranya disandang kota-kota di India. (CNBCInfonesia.com, 19 Mei 2021). Bulan lalu Jakarta menyandang predikat kota termahal nomer 20 dari 25 kota yang sedang diteliti, laporan ini dirilis oleh Bank Julies Baer's Global Wealth and Lifestyle Report 2021. Sebelumnya, Jakarta juga sempat dinobatkan sebagai kota dengan biaya hidup termahal kelima di antara kota-kota besar di Asia Tenggara versi riset The Economist Intelligence Unit.(liputan6.com, 14 April 2021).
Rilis yang dikeluarkan oleh Perusahaan konsultan Verisk Maplecroft melaporkan mengenai kota-kota di dunia yang memiliki risiko bahaya lingkungan terbesar. Risiko yang dimaksud termasuk panas ekstrem, perubahan iklim, dan bencana alam. Di antara 100 kota yang paling berisiko, 99 di antaranya berada di Asia, 37 di China dan 43 di India. Jakarta dinobatkan menjadi kota paling berisiko secara global karena polusi udara yang parah. Selain itu juga adanya ancaman abadi dari banjir dan aktivitas seismik. Jakarta juga dilaporkan sebagai salah satu kota yang paling cepat tenggelam di dunia karena mengalami lalu lintas padat dan rawan banjir. Selain Jakarta ada juga Surabaya dan Bandung.
Berikut 10 kota teratas yang mengalami risiko paling besar di dunia menurut Verisk Maplecroft.
1.Jakarta, Indonesia
2.Delhi, India
3.Chennai, India
4.Surabaya, Indonesia
5.Chandigarh, India
6.Agra, India
7.Meerut, India
8.Bandung, Indonesia
9.Aligarh, India
10.Kanpur, India
(CNBC Indonesia.com, 14 April 2021).
Polusi udara di Jakarta sempat menduduki peringkat kedua di dunia, Menurut data AirVisual IQAir.com, kualitas udara di Jakarta pada, Senin sore, pukul 18/39 WIB tercatat mencapai angka 131 US AQI. Angka kualitas udara tersebut kemudian menjadikan Jakarta sebagai kota kedua di dunia penyumbang polusi udara terbesar, setelah kota New Delhi, India yang mencatatkan angka 142 US AQI. Bondan Andriyanu, pengkampanye iklim dan energi Greenpeace mengatakan masalah polusi udara ini harus segera ditangani dengan perubahan sistematik dan jangka panjang.(Kompas.com, 17/6/2021).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) angkat bicara soal buruknya kualitas udara di DKI Jakarta yang dikategorikan tidak sehat/unhealthy (AQI >150). Bahkan Jakarta menempati posisi teratas sebagai kota nomor 1 terpolusi di Dunia (Versi Air visual). Ketua Umum PDPI, Agus Dwi Susanto mengatakan, kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena bisa menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat Jakarta.(tirto.id, 1/8/2019).
Sementara terkait banjir dan penurunan muka tanah, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Jakarta, Selasa (30/4/2019) mengatakan, Jakarta rawan banjir. Hal ini terjadi akibat penurunan permukaan tanah di pantai utara Jakarta yang mencapai 7,5 cm per tahun. Bila dihitung dari 1989 sampai 2007 saja, penurunan tanah sudah mencapai 60 cm. Sementara itu permukaan air laut terus naik dan kualitas sungai di Jakarta juga sudah tercemar berat.(Kompas.com, 30/4/2021).
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati MSc mengungkapkan dari data historis curah hujan di Jakarta selama 120 tahun yang dikumpulkan oleh BMKG, teridentifikasi adanya tren intensitas dan frekuensi hujan ekstrem yang semakin tinggi. Intensitas dan frekuensi hujan ekstrem ini berkorelasi dengan kejadian banjir di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) sejak 30 tahun terakhir yaitu pada tahun 1990-an. Intensitasnya melonjak hingga mencapai 377 mm per hari pada tahun ini.(Kompas.com, 27/3/2020).
Sangat wajar jika banjir menjadi langganan di Jakarta karena curah hujan ekstrim. Curah hujan ekstrem ini diduga merupakan dampak dari perubahan iklim. Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mulanya memaparkan soal tren curah hujan sejak 1866. Menurutnya, ada kesesuaian tren antara makin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dan peningkatan intensitas curah hujan maksimum per tahun. Ini menunjukkan tren perubahan iklim. (detikNews, Kamis, 2/1/2020).
Terjadinya perubahan iklim tidak bisa dipisahkan dengan perilaku manusia dan kepadatan manusia di suatu wilayah, semakin padatnya manusia maka semakin padat juga mobilitasnya sementara ruangnya terbatas, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan kepadatan penduduk DKI Jakarta saat ini telah mencapai 16.704 jiwa per kilometer persegi. Atau setara dengan 118 kali lipat bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk Indonesia yang hanya 141 jiwa persegi hasil proyeksi penduduk tahun 2020 dibagi dengan luas daratan Indonesia. masih menurut Anies, di Jakarta ada kepadatan, ada kompleksitas, ada masalah informasi tata ruang yang amat kompleks.(merdeka.com, 29/9/2020).
Berbicara tentang masalah kepadatan Jakarta ternyata bukan masalah yang baru tetapi hal itu sudah terjadi sejak Indonesia merdeka, yakni sejak 1950-an. Menurut sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, pada 1952 penduduk Jakarta berjumlah 1,782 juta jiwa, melonjak dari 823 ribu jiwa pada 1948, kemudian meningkat lagi dengan cepat menjadi 3,813 juta jiwa pada 1965. Peningkatan jumlah penduduk ini bukan karena angka kelahiran yang tinggi, tetapi oleh para pendatang.
Berdasarkan kelompok etnis, Betawi sebagai suku asli Jakarta menduduki posisi ketiga setelah Sunda dan Jawa. Mayoritas orang datang ke Jakarta karena alasan ekonomi. Pada akhir masa perjuangan merebut kemerdekaan, kondisi ekonomi Indonesia sangat buruk, produksi sangat rendah dan barang yang tersedia hanya sedikit. “Sebagai tempat kedudukan pemerintah nasionalis yang baru yang telah menjanjikan bahwa kemerdekaan akan membawa kemakmuran, Jakarta tampaknya menawarkan harapan baru bagi para penduduk pedesaan,” tulis Susan.
Selain migran yang menetap di Jakarta, ada pendatang yang datang secara musiman, hanya tinggal selama beberapa bulan di Jakarta. Kepadatan penduduk Jakarta berdampak kepada segala bidang, terutama perumahan. Akibatnya, terjadi kepadatan yang tinggi pada rumah-rumah yang tersedia dan ledakan permukiman liar. Banyak pula yang mencari tempat berteduh semampu mereka, seperti di pinggir jalan atau di bawah jembatan. Permasalahan ini masih berlum terpecahkan hingga sekarang. DKI Jakarta semakin kelebihan beban, baik oleh bangunan, kendaraan, maupun penduduknya yang mencapai lebih dari 10 juta pada 2014. Jumlah itu belum termasuk para pekerja yang masuk setiap hari dari daerah sekitar Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Ibukota negera Republik Indonesia ini pun menjadi kota terpadat di Indonesia, bahkan masuk sepuluh besar kota terpadat di dunia. Hal ini karena pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya ditambah para pendatang.(Historia.id,25/8/2021).
Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan hasil sensus penduduk 2020 untuk wilayah DKI Jakarta. Jumlah penduduk Ibu Kota mencapai 10,56 juta jiwa per September 2020.(medcom.id, 14/2/2021).
Masifnya urbanisasi di Jakarta sejak negeri ini merdeka tidak lain karena perputaran ekonomi sangat besar di Jakarta, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat 70% perputaran uang di Indonesia berada di DKI Jakarta.(finance.detik.com, 27/2/2013). Geliat ekonomi ini seharusnya tidak dilihat dari sisi ini saja, akan tetapi pemerataan pembangunan juga harus menjadi exit strategi yang diambil sebagai langkah mengatasi kepadatan Jakarta, menurut Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan dalam diskusi 'Menyikapi Urbanisasi Usai Lebaran' di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (26/8/2011). Pemerataan pembangunan adalah solusi utama menangani kepadatan penduduk di Jakarta. Wacana pemindahan Ibu Kota jika direalisasikan justru hanya akan memindahkan permasalahan. "Ibaratnya ada gula ada semut. Tapi saat ini gulanya sengaja ditaruh di Jakarta oleh pemerintah pusat".pungkasnya.(detikNews.com, 26/8/2011).
Asas hidup yang hanya didorong oleh kegiatan ekonomi semata tidak bisa dilepas dari konsep hidup yang ada di tengah masyarakat kapitalisme dimana hidup mereka bermuara kepada kegiatan ekonomi saja tanpa memperhatikan layak atau tidaknya satu wilayah itu untuk ditinggali terlebih dengan kepadatan yang sangat tinggi. Akhirnya, hanya merindukan Political Will yang kuat dari seorang negarawan yang tangguh untuk bisa mengatur dan menguasai secara holistik pengaturan negara sebagai satu kehidupan yang utuh dalam keseluruhan wilayahnya tidak terpisah-pisah, bukan meninggalkan satu daerah dan memusatkan pada satu daerah saja, tanpa memperhatikan kondisi lingkungannya karena kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kelestarian lingkungan. Jika Islam diterapkan, maka kota yang akan membahayakan penduduknya tidak akan dibiarkan ditempati, akan ada pengelolaan tata ruang yang lebih rapi dan terintegrasi sehingga bahaya akan dijauhkan dari rakyat, justru akan banyak kota-kota yang mensejahterakan, karena penerapan Syariat Islam jauh dari eksploitasi manusia terhadap lingkunganya.
Oleh Hanin Syahidah
0 Komentar