Jakarta Kota Termahal Dunia, Manifestasi Budaya Konsumtif


Menjadi kota termahal dunia pada peringkat 20, Jakarta memiliki pengaruh yang diakui masyarakat ekonomi dunia. Di Asia sendiri, Jakarta menempati peringkat 9 kota mahal bagi para miliuner. Adanya aktualisasi budaya konsumtif membidani Jakarta sebagai kota termahal dunia saat ini. 

Mahalnya harga barang-barang tersier ibu kota berbanding lurus dengan meningkatnya kelas menengah atas yang ada di Jakarta. Diperkirakan jumlah orang super kaya Indonesia akan naik 67% (1.125 orang) dalam lima tahun ke depan sampai 2025 (News.detik.com, 02-03-2021). Laporan Wealth Report 2021 yang diterbitkan Selasa (02/03) ini mencatat terjadi perputaran harga barang dunia berdasarkan konsumsi crazy rich. 

Parameter pengukuran kota mahal Jakarta berdasarkan laporan Bank Julies Baer's Global Wealth and Lifestyle Report 2021 adalah harga barang yang digunakan untuk gaya hidup para ultra-jutawan seperti mobil, peralatan elektronik, pakaian, hingga minuman beralkohol. (Megapolitan.kompas.com, 14/04/2021)

Barang yang dibeli para sultan ini tidak masuk dalam barang kebutuhan pokok. Hanya barang mewah yang presensinya tidak genting untuk dipunyai segera. Kontras sekali dengan kehidupan warga Jakarta yang miskin. Keberadaan hidup layak akan sandang, pangan dan papan masih jauh dari mapan. 

Mengutip pendapat Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi dari cnnindonesia.com, 14/04/2021 bahwa alterasi Jakarta menjadi salah satu kota termahal merupakan akibat dari interaksi dengan dunia. Terjadi proses konjungsi antara tren kota di negara maju dengan negara berkembang termasuk Jakarta. 

Menurutnya, mahalnya harga barang di DKI menimbulkan ketimpangan yang dapat diukur melalui gini ratio. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Jakarta merupakan salah satu dari tujuh provinsi dengan gini ratio tinggi, yaitu 0,400 per September 2020.

Dengan gini ratio yang tinggi, menampakkan besarnya disparitas pendapatan dan kekayaan di Jakarta. Dalam jangka panjang, kesenjangan ini memaksa warga ekonomi menengah ke bawah termarginalkan dari ibu kota. 

Pada laman Jakarta.bps.go.id, BPS Provinsi DKI Jakarta mencatat jumlah penduduk miskin di Ibu Kota Jakarta pada September 2020 kembali meningkat menjadi 496,84 ribu orang atau 4,69 persen dari total penduduk Jakarta. 

Sebelumnya, pengamat ekonomi Universitas Pendidikan Indonesia, Arim Nasim, menyatakan di laman PikiranRakyat.com (13/09/2016) bahwa satu dari delapan orang seluruh dunia menderita busung lapar. Kelaparan ini bukan disebabkan tidak tersedianya sumber daya alam tapi dikarenakan 80 persen kekayaan dunia dikuasai oleh 20 persen manusia. 

Indonesia termasuk menjadi negara korban kemiskinan dan busung lapar, tidak terkecuali juga warga ibu kota. Paparnya, ketimpangan terjadi karena liberalisasi ekonomi yang lahir dari sistem politik ekonomi kapitalisme yang memfokuskan kepada produksi kekayaan tapi mengabaikan distribusi atau pemerataan.

Kapitalisme membatasi kebutuhan hanya pada materi semata. Paham ini jelas tidak benar. Sebab, manusia kadang-kadang mengorbankan sejumlah hartanya untuk memenuhi kebutuhan spiritual atau emosional yang nilai pengorbanannya lebih besar daripada jumlah pengeluaran kebutuhan-kebutuhan materinya.

Kapitalisme juga mendorong keinginan menjadi kebutuhan. Paradigma materialistik dengan standar materi sebagai kepuasan hidup, status memiliki kekayaan di tengah masyarakat sebagai kebahagiaan adalah semu. Karena kuantitas kebendaan tidak pernah bisa mengukur kualitas kebahagiaan seseorang. (Al-Wa’ie, Juni 2021)

Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja? ” (HR. Muslim).

Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu” (Qs 49: 13). Inilah sejatinya kebahagiaan sejati seorang muslim. Dengan hartanya, seorang mukmin akan mengupayakan kebahagiaannya menjadi hamba yang paling bertakwa. Bukan banyaknya harta yang akan dituju melainkan optimalisasi amal untuk meraih ridho-Nya yang akan diburu.  

Islam adalah solusi untuk menjauhkan manusia dari gaya hidup konsumtif yang kebablasan. Sifat ini adalah jebakan untuk memalingkan seorang muslim dari sikap yang seharusnya dimiliki orang yang beriman. Seorang yang taat pada Allah, menjauhkan dirinya dari perbuatan sia-sia dengan menghamburkan harta demi keinginan sesaat.

Mengembalikan pemahaman yang benar tentang perolehan dan pemanfaatan harta, akan memberikan kesejahteraan yang paripurna untuk seluruh insan, tidak hanya bagi para pemilik harta tapi juga untuk yang kekurangan sekaligus membentuk kapasitas diri mulia secara personal. 

Walhasil, penetapan Jakarta sebagai salah satu kota termahal dunia membuktikan adanya pemahaman materialistik yang sekuler menutup cara pandang akan kehidupan dunia yang benar terhadap harta. Adanya kelas kaya dan miskin melebarkan kesenjangan kapital yang tidak berkesudahan. Melalaikan individu meraih kelayakan nilai diri yang harusnya diperjuangkan untuk keridhaan Allah swt.

Dengan sistem ekonomi dan politik Islam dalam naungan kekuasaan yang menerapkan syariah kafah adalah keniscayaan untuk mewujudkannya. Sistem yang mampu membentuk karakter pribadi yang bertanggungjawab akan kehidupannya, jauh dari pandangan materialisme yang merusak. Wallahu ‘alam bishshawwab.


Oleh N. Suci M.H.




Posting Komentar

0 Komentar