Indonesia sebagai negara yang jumlah penduduk Muslimnya paling banyak dibandingkan penduduk beragama selain Islam, sejak tahun 1948 pemerintahnya telah menjadi penyelenggara ibadah haji. Namun di tahun 2021 ini, sebagaimana tahun lalu, pemerintah Indonesia kembali tidak memberangkatkan jemaah haji dari tanah air. Keputusan pembatalan pemberangkatan haji tersebut dituangkan dalam Keputusan Menag No 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 Hijriah/2021 Masehi.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers (3/6/2021) menyatakan alasan utama dari pembatalan pemberangkatan haji dari Indonesia ini adalah karena faktor keamanan, kesehatan, dan keselamatan Jemaah Haji. Hal ini tentu terkait dengan kondisi merajalelanya Pandemi Covid-19 sejak awal tahun lalu. Kemudian, sesuai mekanisme yang ditetapkan pemerintah, maka Jamaah Haji yang telah membayar lunas untuk pemberangkatan tahun ini, akan menjadi jemaah prioritas berangkat di tahun 2022 mendatang.
Usai pernyataan terkait pembatalan keberangkatan haji ini, di tengah masyarakat muncul polemik yang menghangat. Masyarakat menyayangkan batalnya pemberangkatan haji. Banyak pula pihak yang sempat mempertanyakan ke mana dana haji yang terkumpul, jika jemaah tak jadi berangkat. Ketua Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu segera menepis berbagai isu miring yang berkembang. Senada dengan Anggito, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy juga menyatakan bahwa, BPKH merupakan badan yang independen dan profesional, dan tidak bisa dicampuri oleh siapapun, sehingga pengelolaan dana haji dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif.
Selain itu, menepis isu miring yang lain, Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan bahwa keputusan pembatalan haji 2021 sama sekali tidak terkait dengan kuat lemahnya lobi pemerintah Indonesia kepada pemerintah Arab Saudi. Namun sayangnya yang terjadi justru sebaliknya, Menag telah terlebih dahulu menyatakan pembatalan keberangkatan haji Indonesia di tengah belum jelasnya kuota Jemaah haji yang ditetapkan dari otoritas Arab Saudi. Duta Besar Arab Saudi, Essam bin Abed al-Thaqafi kemudian melayangkan surat kepada Ketua DPR RI Puan Maharani (3/6/2021) untuk menjelaskan bahwa adanya 11 negara yang telah mendapatkan kuota haji untuk tahun ini, dan Indonesia tidak termasuk di dalamnya adalah tidak benar.
Baik Kemenag maupun BPKH dengan tegas menyatakan bahwa alasan pembatalan keberangkatan haji jemaah Indonesia semata karena pertimbangan keamanan terhadap ancaman Covid-19. Kedua institusi tersebut menampik bahwa pembatalan disebabkan karena masalah dana haji. Sebagaimana yang termaktub dalam rilis dari BPKH dalam paparan Menjawab 9 Pertanyaan (Hoax) Dana Haji dengan Fakta dan Data, BPKH menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki utang pembayaran pelayanan (akomodasi) kepada Arab Saudi.
Kesalahan Pemerintah dalam Menangani Kepengurusan Haji
Banyak pihak menyayangkan batalnya pemberangkatan haji ini, dengan menuding pemerintah kurang berupaya untuk tetap memberangkatkan. Seperti pendapat politisi senior, Rizal Ramli dalam acara Scangkir Opini, bahwa pemerintah sesungguhnya masih bisa mengupayakan vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan yang ketat pada para jemaah haji yang berangkat. Apalagi menurutnya, para jemaah haji sudah siap dengan manasik haji dan semua perlengkapan haji yang akan dibawa sejak tahun lalu. Masalah akomodasi juga menurutnya bisa diurus dalam waktu singkat, mengingat Kemenag dan BPKH sudah terbiasa mengurus pemberangkatan haji setiap tahun.
Perdebatan lain di banyak kalangan kemudian muncul seiring dengan kecurigaan terkait dana haji yang dihimpun di BPKH. Hal ini karena, seperti diketahui bahwa BPKH menginvestasikan dana haji dari jemaah untuk investasi dengan profil risiko _low-moderate_. Jadi 90 persen dana haji diinvestasikan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan sukuk korporasi. Dana haji tidak digunakan untuk pembiayaan infrastruktur, tetapi diinvestasikan ke ranah bisnis dalam bentuk SBSN dan sukuk. Investasi ini telah dilegalkan oleh Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV Tahun 2012.
Sedangkan terkait apakah BPKH menginvestasikan dana haji dengan seizin pemilik dana, BPKH membenarkan. Hal ini tercantum dalam surat kuasa dengan akad wakalah dari jemaah haji kepada BPKH sebagai wakil yang sah dari jemaah untuk menerima setoran, mengembangkan, dan memanfaatkannya untuk keperluan jemaah haji melakukan perjalanan ibadah haji. Sayangnya terkait izin dan akad wakalah ini masih banyak kontroversi. Hal ini karena kebanyakan dari jemaah haji tidak mengerti bahwa mereka telah melakukan akad wakalah melalui surat kuasa. Bahkan jemaah tidak mengetahui bahwa mereka telah memberi izin dana hajinya diinvestasikan.
Akad-akad yang demikian sesungguhnya merupakan akad yang tidak sah, menurut pandangan Islam. Hal ini karena sebuah akad sejatinya harus dipahami dan disetujui oleh dua pihak yang berakad. Jika salah satu pihak tidak mengerti maksud akad, maka akad dinilai batal dan tidak sah. Sosialisasi dan transparansi terkait dana haji ini kiranya harus menjadi perhatian Kemenag dan BPKH untuk menjelaskannya kepada calon jemaah haji dan umat Islam seluruhnya. Di sisi lain, akad wakalah sesungguhnya menjadi tidak sah manakala dilakukan aktifitas meribakan uang di dalamnya. Karena akad wakalah akan sah hanya pada hal dan aktifitas yang dihalalkan.
Terkait dana haji yang diinvestasikan melalui mekanisme SBSN dan sukuk, dalam pandangan Islam, sangat rentan untuk bisa diribakan ketika dilempar ke ranah bisnis. Seperti diketahui, tidak banyak bisnis di negeri ini yang berjalan dengan pengelolaan terbebas dari riba. Padahal dana milik umat Islam seharusnya terbebas dari tercampur riba, terlebih dana haji. Namun pengelolaan dana haji di negeri ini memang sejak lama menggunakan Sistem Dana Talangan Haji untuk memenuhi kekurangan biaya akomodasi haji yang mencapai Rp. 70-an juta. Dana talangan tersebut diperoleh dari keuntungan investasi (yang tidak terbebas riba) dari setoran dana haji yang dikumpulkan dari calon jemaah haji.
Cara Islam Menangani Kepengurusan Haji
Ibadah haji yang dilaksanakan setahun sekali di bulan Zulhijjah menjadi perhatian penting di masa pemerintahan Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya. Paradigma kepengurusan haji menurut Islam adalah kepengurusan (periayahan) semata, tidak dicampurkan dengan orientasi bisnis atau investasi. Pandangan Islam terhadap dana haji adalah semata untuk biaya pemberangkatan, keperluan jemaah haji selama melaksanakan haji, dan biaya kepulangan dari tanah suci. Telah tercatat dalam sejarah bahwa khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj (pelayan urusan haji).
Contohnya dalam Arsip Kekhilafahan Turki Utsmani pada 8 November 1849 bahwa, calon jemaah haji dari Jawa yang datang ke Jeddah untuk berhaji, mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Jeddah supaya mengembalikan uang yang mereka bayarkan. Hal ini karena mereka dipaksa membayar tinggi untuk biaya kapal laut, kendaraan pengangkut, dan juga tumpangan unta selama keberangkatan haji. Khalifah Turki Utsmanipun kemudian setuju untuk mengembalikan pembayaran yang berlebihan tersebut. Dokumen terkaitpun dikirim oleh khalifah kepada Kementerian Keuangan, dan Wali Jeddah untuk dilaksanakan sesuai dengan instruksi khalifah.
Pelaksanaan ibadah haji baik rukun-rukunnya, pemberangkatan, dan kepulangan jemaah di masa Kekhilafahan Islam telah menjadi tugas mulia yang ditangani oleh Rasulullah ketika memimpin negara Islam Madinah. Tugas tersebut dilanjutkan pelaksanaannya oleh para khalifah sesudah Rasulullah dengan menjamin keamanan, pembiayaan yang rendah, dan pelayanan bagi para jemaah haji.
Kota-kota besar di dekat Mekahpun, seperti Basrah, Damaskus, dan Kairo menjadi hidup selama musim haji berlangsung. Puluhan ribu jemaah haji akan singgah, berkumpul, dan tinggal sementara kota-kota tersebut. Tidak dipersulit oleh pembatasan kuota haji, seperti saat ini. Tidak pula terjadi kesulitan yang mengakibatkan daftar tunggu yang sangat lama untuk bisa berangkat haji. Yaitu akibat dari penerapan Sistem Dana Talangan Haji, seperti yang diberlakukan di Indonesia. Kekhilafahan Islam telah tergores dalam sejarah peradaban sebagai institusi yang menjalankan periayahan haji dengan penuh amanah, dan berlandaskan ketakwaan kepada Allah SWT semata. []
Oleh Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik
0 Komentar