Haji sebagai rukun Islam yang kelima merupakan bagian dari ibadah mahdhah. Setiap umat muslim, tentunya mendambakan ibadah ini. Hati bergemuruh tatkala membayangkan jiwa dan raga dapat hadir memenuhi panggilan-Nya di tanah suci. Allah Swt berfirman:
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka..” (TQS. al-Hajj [22]: 27)
Ibn Abbas menjelaskan makna, liyasyhadu manafi’ lahum (supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka) adalah manfaat dunia dan akhirat. Manfaat di akhirat berupa pahala dan keridhaan Allah SWT, sementara manfaat di dunia berupa pelaksanan kurban dan keuntungan dalam perdagangan (Ibn Katsir, Tafsir Alquran al-‘Adzim, Juz V/365).
Ibadah Haji Kental dengan Nilai Politis dan Persatuan Umat
Hikmah ibadah haji tak hanya bersifat individual, tapi juga komunal. Selama ini ibadah haji di mata masyarakat merupakan sebuah capaian puncak ibadah bagi individu muslim. Hal yang terpenting tapi justru sering terlupakan, ibadah haji pun memiliki makna politis yang sangat kental.
Dari sisi politis, makna yang paling menonjol dalam pelaksanaan ibadah haji adalah persatuan umat. Pesatuan ini tampak dalam pelaksanaan wukuf di ‘Arafah, sebagai rukun paling utama dalam ibadah haji. Rasulullah saw bersabda: “Haji adalah Arafah.” (HR. an-Nasa’i).
Seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul, bertemu dan berinteraksi di tempat yang sama. Mereka diikat oleh akidah yang sama yakni Islam. Pandangan hidup dan tujuan yang sama. Kitab suci yang sama, Alquran. Kiblat yang sama. Mereka juga menjalankan nusuk yang sama, berkumpul di tempat dan waktu yang sama. Serta menyerukan seruan yang sama, yakni bacaaan talbiah, tahlil, tahmid, takbir, zikir dan doa.
Bersatunya kaum muslimin pada ibadah haji ini merupakan momen yang vital. Sungguh menyaksikan ibadah haji ini ibarat pemandangan yang begitu menakjubkan. Anda tidak akan mendapatkan pemandangan berkumpulnya jutaan manusia dari berbagai kewarganegaraan yang berbeda, seperti pemandangan haji ini. Hal tersebut pun menunjukkan keagungan Islam.
Pemandangan inilah yang disebut masyhad al-a’dham (pemandangan agung) yang dibanggakan oleh Allah dari penghuni bumi kepada para malaikat di langit. Nabi menyatakan, “Sesungguhnya Allah membanggakan Ahli Arafah (orang-orang yang berkumpul dan wukuf di Arafah) kepada penghuni langit.” (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah).
Jika saja kaum muslimin menyadari bahwa Allah saja membanggakan persatuan mereka di hadapan malaikat. Maka umat Islam yang menyadari posisi bahwa apabila mereka bersatu, akan menghapuskan sikap inferior, merasa kecil dan tak berdaya di hadapan barat, seperti Amerika dan Cina.
Ibadah haji menjadi bukti bahwa kaum muslimin sebenarnya solid dan dapat tunduk pada aturan yang sama. Mereka bisa melakukan manasik yang sama, pada waktu dan tempat yang sama, bukan digerakkan oleh kekuatan fisik pemimpin mereka, tetapi kekuatan akidah dan pemahaman agama mereka.
Selain itu, masyhad a’dham ini juga membuktikan, bahwa umat Islam ini bisa bersatu dalam satu tujuan dan nusuk, sekalipun terdiri dari negeri, bangsa, warna kulit, mazhab yang berbeda-beda. Namun, masyhad a’dham ini tidak akan tampak lagi, ketika mereka sudah kembali ke negeri asal mereka. Karena realitas masyhad a’dham itu tidak dapat mereka transformasikan dalam penjara kehidupan politik di sistem sekuler. Umat tersekat dengan nation state, yang selama ini menghalangi persatuan mereka. Mereka kembali terpisah dan tersekat oleh negeri dan bangsa masing-masing.
Ibadah haji benar-benar telah membuktikan kebenaran firman Allah SWT: “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu, dan Akulah Tuhan kalian. Maka, sembahlah Aku.” (TQS. al-Anbiya’ [20]: 92). Ketika seluruh umat Islam ini benar-benar melebur menjadi satu.
Hikmah lainnya tercermin pada mereka yang harus mengenakan pakaian ihram berwarna putih dan tidak berjahit, mulai dari tarwiyah hingga tahallul shughra, tanggal 8-10 Dzulhijjah. Saat itu, semua orang sama. Tidak ada lagi budak, majikan, kepala negara, rakyat, kaya, miskin, kulit putih, hitam dan sebagainya. Semuanya berpakaian sama, tidak peduli derajat, jabatan, status sosial dan kedudukan mereka.
Ini merupakan sya’air hajj (simbol haji) yang memanifestasikan sikap egalitarian yang sesungguhnya, hanya dapat diejawantahkan oleh Islam. Semuanya sama di hadapan Allah. Semuanya melakukan hal yang sama, dan semua diperlakukan dengan perlakukan sama, sebagai dhuyûf ar-Rahmân (tamu Allah). Bahkan Nabi pun menolak diperlakukan istimewa. Ketika ada seseorang menawarkan jasa kepada Nabi, untuk menyiapkan tempat mabit yang teduh di Mina, dengan tegas Nabi menolak, “Tidak, Mina adalah tempat bagi siapa saja yang lebih dahulu sampai.” (Hr. Ibn Khuzaimah dari ‘Aisyah).
Darah, harta dan tanah mereka, seluruh umat Islam di seluruh dunia, sama kedudukannya. Sama-sama dimuliakan. Maka, tidak boleh ditumpahkan dan dinodai oleh siapapun, sebagaimana kemuliaan dan kesucian tanah, bulan dan hari haram ini. Itulah proklamasi yang dikumandangkan oleh Nabi pada saat Haji Wada’, di padang Arafah (Hr. Bukhari-Muslim dari Ibn ‘Umar).
Tidak hanya itu, baginda saw pun menegaskan, bahwa satu nyawa orang Islam lebih mulia bagi Allah, ketimbang Ka’bah. Karena hancurnya Ka’bah lebih ringan bagi-Nya, ketimbang hilangnya satu nyawa orang Islam (as-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah, juz I/381). Padahal, siapa pun yang berdiri di hadapan Ka’bah, pasti akan merasa kecil. Tentu mereka akan lebih tidak sanggup lagi ketika menyaksikan darah dan nyawa orang Islam ditumpahkan.
Jika kesadaran itu ditransformasikan dalam kehidupan nyata, maka di hadapan sesama muslim semestinya mereka memiliki perasaan yang sama. Sebaliknya mereka akan merasa superior di hadapan orang-orang kafir. Mereka tidak rela, jika tanah dan harta mereka dirampok oleh negara-negara kafir penjajah. Mereka juga tidak akan rela, saudara mereka dibantai atau ditangkap dan dipenjarakan.
Pelaksanaan ibadah haji dan ziarah bagi jamaah haji yang memiliki realitas pengetahuan sejarah Rasulullah saw yang benar, pasti memberikan pengaruh yang luar biasa dalam diri mereka. Di sana mereka bisa menyaksikan langsung tempat dimana perjuangan Rasulullah saw dan para sahabat dalam mendakwahkan Islam serta menegakkan Daulah Islam. Pelaksanaan ibadah haji ini semestinya menanamkan kesadaran politik, kesadaran dan tekad yang kuat untuk mengembalikan kejayaan Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh baginda saw dan para sahabat. Itulah makna politik ibadah haji yang seharusnya kita petik.
Kewajiban Khalifah Memudahkan Terselenggaranya Ibadah Haji sebagai Rukun Islam Kelima
Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah Swt telah menetapkan haji sebagai fardhu ‘ain bagi kaum Muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Allah Swt menyatakan dalam Alquran, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (TQS Ali ‘Imran [03]: 97). Nabi saw pun bersabda, “Wahai manusia, Allah Swt telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Berpijak pada asas tersebut, maka khilafah sebagai negara yang berlandaskan ideologi Islam akan menjamin terlaksananya kegiatan ibadah bagi seluruh masyarakatnya. Hal ini tidak terkecuali pada ibadah haji. Khalifah sebagai pemimpin umat muslim ini akan meriayah sistem tata kelola penyelenggaraan haji secara maksimal.
Dalam khilafah, baik dari syarat, wajib dan rukun haji, dalam penyelenggaraan ibadah haji terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah akan diwujudkan dengan pengaturan yang baik oleh negara. Berpijak pada pandangan Islam yang menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial), yaitu basathah fi an-nidzam (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat) dan ditangani oleh orang yang profesional.
Karena itu, Khilafah sebagai satu negara, yang menaungi lebih dari 50 negeri kaum muslim, bisa menempuh beberapa kebijakan:
1. Membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah. Karena ini terkait dengan masalah administrasi, maka urusan tersebut bisa didesentralisasikan, sehingga memudahkan calon jamaah haji dan umrah. Dengan prinsip basathah fi an-nidzam, sur’ah fi al-injaz dan ditangani oleh orang yang profesional, maka urusan ini bisa dilayani dengan cepat dan baik.
Departemen ini mengurusi urusan haji, terkait dengan persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini juga bisa bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jamaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal.
2. Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah).
Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Di zaman Sultan ‘Abdul Hamid II, Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
3. Penghapusan visa haji dan umrah: Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari hukum syara’ tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu negara. Karena seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan.
4. Pengaturan kuota haji dan umrah: Khalifah berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan:
Pertama, terkait kewajiban haji dan umrah yang hanya berlaku sekali seumur hidup.
Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan.
Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik, jika negara Khilafah mempunyai database seluruh rakyat di wilayahnya, sehingga pengaturan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mudah.
5. Pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah: Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jamaah haji dan umrah. Hal yang sama akan terus-menerus dilakukan oleh Khilafah di masa mendatang.
Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan kembali memori jamaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam, sehingga bisa memotivasi mereka.
Secara khusus, khalifah akan menyampaikan khutbah Arafah, di Masjid Namirah, dan memimpin Wukuf para jamaah. Di Arafah, negara akan memasang fasilitas sound system yang memadai, termasuk layar raksasa di beberapa titik, sehingga seluruh jamaah haji bisa menyaksikan dan mendengarkan Khutbah Arafah Khalifah. Pesan khalifah ini merupakan pesan penting yang akan mereka bawa ke negeri mereka masing-masing. Dengan begitu, hanya ada satu khutbah saat Wukuf, yaitu Khutbah Khalifah, bukan khutbah sendiri-sendiri. Satu bahasa, bahasa Arab, yang merupakan bahasa resmi negara.
(Sumber: Penyelenggaraan Ibadah Haji di dalam Negara Khilafah, Hafidz Abdurrahman, mediaumat.com, 31/10/2012)
Inilah realitas keagungan ibadah haji yang akan diwujudkan oleh khilafah. Bersandar pada aspek hukum syara pelaksanaan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima. Negara khilafah akan menerapkan penyelenggaraannya semata-mata karena motif untuk meraih keridaan Allah Swt dengan menjamin rakyatnya dapat beribadah secara totalitas dan maksimal.
Bukanlah seperti di sistem kapitalisme sekuler, yang menyelipkan bahkan menjadikan keuntungan ekonomi sebagai motif utama dalam pelaksanaan ibadah haji. Seperti halnya yang teranyar, gaduh pembatalan keberangkatan haji di Indonesia. Keuntungan ekonomi triliunan rupiah dari penyelenggaraan haji yang menyilaukan mata mungkin saja dianggap lebih bermanfaat untuk menguatkan nilai rupiah, investasi, serta infrastruktur. Namun sejatinya mereka telah lupa, bahwa ada ancaman Allah Swt yang amat pedih kepada penguasa serta pihak-pihak yang terlibat sebagai penghalang terselenggaranya ibadah haji bagi umatnya ini. []
Wallahu a'lam biashshawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar