Belum genap 24 jam sejak dirilisnya pernyataan gencatan senjata oleh otoritas Israel, Masjid Al-Aqsa kembali diserang. Sesaat seusai salat Jumat pada 21 Mei 2021, militer Zionis Israel melempari jamaah dengan granat, menembakkan senjata, dan gas air mata. Sontak jamaah yang berkumpul menjadi panik dan berlarian. Jeritan dan takbir seketika pecah. Militer Israel merangsek masuk dengan sikap arogan ke dalam Komplek Al-Aqsa dan kemudian menangkap sejumlah warga Palestina yang merupakan jamaah Salat Jumat.
Banyak kalangan awalnya berharap, gencatan senjata akan mengakhiri serangan Israel atas rakyat Palestina. Paling tidak, upaya ini dapat sedikit mengurangi penderitaan rakyat Palestina. Karena setidaknya, 232 orang, termasuk 65 anak-anak telah terbunuh pada serangan yang dilancarkan Israel dalam sebelas hari. Namun karena otoritas Israel kemudian melanggar komitmen gencatan senjata tersebut, maka seketika, negara-negara di dunia yang awalnya berencana akan melakukan tekanan untuk melakukan negosiasi pengakhiran pendudukan Israel atas Palestina, menjadi kalang kabut.
Gencatan senjata yang awalnya ditawarkan oleh Mesir, kemudian disetujui oleh oleh Otoritas Israel dan Militan Hamas, kemudian mulai diberlakukan pukul 02.00 waktu setempat. Namun harus diketahui, bahwa sesungguhnya gencatan senjata itu hanya diberlakukan di Jalur Gaza (Gaza Strip), bukan di wilayah Tepi Barat (West Bank). Sehingga wajar jika di Tepi Barat militer Israel tetap bebas berkeliaran dan bersikap brutal terhadap penduduk di wilayah tersebut.
Di wilayah Jalur Gaza terdapat Komplek Masjid Al-Aqsa, yang luasnya sekitar 144.000 meter persegi . Di area ini terdapat Masjil Al-Aqsa atau Masjil Qibli, Kubah Ash-Shakhrah (Dome of Rock), dan wilayah pemukiman warga Muslim. Di area tersebut juga berdiri Tembok Ratapan, yang merupakan situs peribadatan orang-orang Yahudi, wilayah warga Kristen Katolik , dan wilayah warga Kristen Armenia. Komplek ini juga memiliki 11 pintu gerbang, di mana 7 diantaranya bisa diakses oleh para peziarah.
Wilayah penduduk Palestina secara keseluruhan saat ini sesungguhnya hanya tersisa dua titik wilayah, yaitu Jalur Gaza dan Tepi Barat. Jalur Gaza dikuasai oleh Hamas, di bawah pimpinan Ismail Haniyeh. Sedangkan di Tepi Barat dikuasai oleh Fatah, di bawah pimpinan Mahmud Abbas. Wilayah Jalur Gaza yang awalnya dikuasai oleh Mesir, kemudian sejak tahun 1967 dikuasai oleh Israel atas dukungan Inggris dan Amerika . Sedangkan wilayah Tepi Barat yang dahulunya berada di bawah kekuasaan Yordania, kemudian setelah tahun 1967, juga dikontrol oleh Israel.
Sepanjang masa pendudukan dan terjadinya pergolakan di Palestina, mata dunia senantiasa tertuju ke sana. Bagi Umat Islam, hal ini karena Al-Aqsa atau Baitul Maqdis adalah tanah yang diberkahi dan ditetapkan oleh Allah SWT sebagai kiblat pertama untuk arah salat. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Al-Isra ayat 1 dan Surah Al-Baqarah ayat 142.
Sedangkan bagi kaum kafir, banyak kepentingan geopolitik yang dimainkan terkait Palestina ini. Namun satu kalimat yang sekiranya dapat disebutkan adalah penguasaan atas tanah Palestina. Awalnya, melalui perjanjian Sykes and Picott di tahun 1916, Inggris dan Perancis membagi wilayah Palestina yang awalnya adalah bagian dari Kekhilafahan Islam. Kemudian deklarasi berdirinya negara Israel pada tahun 1948, semakin mengukuhkan pijakan kaki Israel di tanah Palestina. Kemudian penguasaan Israel atas tanah Palestina semakin bertambah luas seiring waktu, hingga wilayah yang tersisa bagi penduduk Palestina hanya sekitar 20 persennya saja.
Sejak lama, dunia mengupayakan penyelesaian konflik penguasaan Israel atas Palestina ini hanya melalui dua solusi. Pertama adalah melalui perundingan, dan yang kedua adalah melalui Solusi Dua Negara (Two Nation State). Kedua solusi ini jika dianalisa ternyata sama sekali tidak solutif. Perundingan yang berlarut-larut tidak efektif karena Israel sebagai pihak terkait selama ini hanya menggunakan bahasa kekerasan, tidak pernah mau tunduk pada perundingan. Sementara Solusi Dua Negara, justru akan semakin mengokohkan pendudukan Israel atas Palestina.
Sesungguhnya, solusi yang tepat sesuai dengan tuntunan Islam harus dengan dua solusi lain, yaitu dengan jihad fi sabilillah dan penegakan khilafah Islamiah. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab saat melindungi wilayah Palestina melalui Jaminan Umariah, ketika menjadikan Palestina sebagai wilayah Kekhilafahan Islam. Penduduk di wilayah Palestina, saat itu sangat gembira menyambut penetapan jaminan terjaganya harta, jiwa, dan keamanan dari Kekhilafahan Islam. Hal itu karena, jaminan ini diberlakukan tidak hanya bagi kaum Muslimin, tetapi juga bagi kaum Yahudi dan Nasrani.
Namun saat ini, ketika Kekhilafahan Islam belum tegak, maka solusi melakukan perlawanan dengan jihad menjadi penting untuk dilakukan. Berjihad melalui perlawanan ini telah dilakukan dengan upaya luar biasa dari militer Hamas dan penduduk Muslim Palestina. Hamas, dengan Pasukan Al-Qassamnya hingga saat ini masih selalu menjadi mimpi buruk bagi Israel. Al-Qassam yang memiliki 30.000 prajurit, juga memiliki ribuan amunisi dan roket yang selalu siap digunakan untuk bertempur. Al-Qassam juga memiliki jet-jet tempur, rudal-rudal, dan jaringan intelejen yang sangat hebat.
Persenjataan dan kemampuan tempur Al-Qassam ini, seharusnya membuat malu para pemimpin negara-negara Muslim di dunia. Bagaimana tidak, dengan kemampuan setara sebuah organisasi, Al-Qassam bisa membuat Israel keteteran. Sedangkan negara-negara Muslim yang pasti memiliki tentara dan persenjataan yang lebih mumpuni, ternyata gentar melawan Israel. Para pemimpin negara-negara Muslim ini lebih suka mencari aman dengan menyerahkan solusi Konflik Palestina ini ke meja perundingan. Alhasil Al-Qassam bersama rakyat Palestina berjuang sendiri di tengah kelaparan dan kesulitan kehidupan yang melanda.
Saat serangan terus dilancarkan oleh Israel, pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh pernah menyurati Presiden RI, pada Selasa (18/5/2021). Dalam suratnya, Haniyeh meminta Presiden Joko Widodo untuk mengumpulkan dukungan dari pihak internasional supaya serangan Israel ke Palestina segera berakhir. Bahkan itu bukan kali pertama pimpinan Hamas menyurati Presiden Joko Widodo. Pada 10 Mei 2021, Haniyeh melalui suratnya kepada Presiden Joko Widodo telah meminta dukungan dan menyeru umat Islam semua untuk berdiri bersama melawan serangan Israel terhadap jamaah di komplek Masjid Al-Aqsa pada akhir bulan Ramadhan.
Namun ternyata seruan pimpinan Hamas tersebut kemudian direspon oleh pemerintah Indonesia melalui penolakan resolusi R2P (Responsibility to Protect), pada Sidang Umum PBB (18/5/2021). R2P adalah sebuah prinsip dan kesepakatan internasional yang bertujuan mencegah genosida, kejahatan perang, pemusnahan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang lain.
Menurut Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, penolakan ini adalah untuk semakin mendorong negara-negara di dunia agar segera membuat kesepakatan yang konkrit bagi penyelesaian konflik Palestina. Namun sayangnya, penolakan ini tidak diiringi dengan langkah-langkah subtantif dari pemerintah Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesepakatan yang ingin dicapai. Kemudian seiring waktu berjalan, hingga hari ini, belum juga ada hasil yang memuaskan terhadap penyelesaian masalah Palestina ini.
Upaya Presiden Joko Widodo mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan atas pelanggaran berulang yang dilakukan oleh Israel ternyata belum membuahkan hasil. Pernyataan sikap Indonesia yang sejak dahulu mengecam ekskalasi kekerasan yang dilakukan oleh militer Israel kepada warga Palestina, juga bagai macan tak bergigi. Kenyataanya, arogansi Israel masih tak terbendung.
Maka, tak dapat ditunda-tunda lagi, munculnya kekuatan super power yang bisa menandingi kesombongan Israel menjadi mendesak untuk segera terwujud. Kekuatan ini adalah penyatuan kaum Muslim di seluruh dunia dalam wadah sebuah negara yang adi daya, yaitu Kekhilafahan Islam. Negara ini posisinya harus dapat menjatuhkan arogansi Israel. Karena sesungguhnya Israel itu hanya dimonsterisasi sehingga terkesan kuat. Sesungguhnya Israel Itu kecil dan pengecut. Ia hanya arogan karena merasa didukung oleh negara-negara kuat, seperti Amerika.
Kemudian, mencabut hingga ke akar-akarnya para penguasa yang menjadi antek kafir Yahudi dan Nasrani juga harus dilakukan. Mangapa? Karena kenyataannya, kaum Muslim di tataran rakyat mendukung penuh pengusiran Israel atas tanah Palestina, tetapi para pemimpin negeri-negerinya justru masih nyaman terikat dengan Israel. Mereka menyatakan mengecam tindakan keji Israel, tetapi bersamaan dengan itu, mereka tidak pernah bersedia mengirim tentaranya untuk berperang mengusir Israel dari Palestina. Para pemimpin semacam ini yang menurut Islam, harus dicerabut hingga terlepas akarnya dari tanah. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayubi dalam membebaskan Al-Quds dari cengkeraman tentara Salib pada tahun 1187.
Ketika militer dan penduduk Palestina telah berupaya sekuat tenaga untuk mengusir Israel, maka kini umat Islam di seluruh dunia seharusnya segera bercermin. Tidakkah malu dengan keberanian dan kegigihan Muslim di Palestina dalam membela tanah Palestina yang wilayah Al-Aqsanya merupakan tempat suci bagi umat Islam seluruh dunia? Tidakkah malu umat Islam seluruh dunia dengan berdiam diri, bahkan hingga tega menyatakan sebagai “bukan urusan kami.” Kini telunjuk mengarah kepadamu wahai Muslim sedunia. Mana upayamu untuk segera mewujudkan tegaknya kekuatan yang akan memberangus Israel? Kekuatan itu adalah yang tegak dalam bentuk negara, yaitu Khilafah Islam. []
Oleh Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik
0 Komentar