Suasana lebaran identik dengan suka cita dan ceria bagi anak-anak. Memakai pakaian terbaik, wajah riang senantiasa menghiasi aktivitas silaturahmi keluarga. Namun suasana ceria berganti duka manakala didapati anak-anak tak luput dari paparan Covid-19.
Usai lebaran, klaster anak bertebaran di Bekasi. Munculnya klaster anak ikut menyumbang kenaikan kasus Covid-19. Dikutip dari Liputan6.com (30/5/2021), Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Dezy Sukrawati menyebutkan dari total 263 kasus positif COVID-19 di Bekasi, 19,97 persen diantaranya disumbang dari klaster anak.
Munculnya klaster anak ini sangat mengejutkan, karena sebelumnya belum pernah terjadi dalam kasus penyebaran Covid-19 di Bekasi. Sejauh ini kasus penyebaran Covid-19 di Kota Bekasi didominasi usia produktif yang mencapai 68,72 persen sementara untuk katagori usia lanjut berada di angka 11,31 persen.
Tren kenaikan kasus Covid-19 ditengarai terjadi usai liburan Idul Fitri lalu. Data terbaru dari laman resmi Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Bekasi, pikokabsi.bekasikab.go.id, Minggu (30/5/2021), angka kasus aktif kembali mengalami kenaikan dari 353 menjadi 412 orang atau bertambah 59 orang dari sehari sebelumnya (SuaraBekaci.id, 31/5/2021).
Apa Kabar Sekolah Tatap Muka?
Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim menyatakan sudah saatnya sekolah-sekolah menerapkan belajar tatap muka terbatas. Meskipun tetap tidak ada paksaan bagi orang tua yang belum mengizinkan anaknya berangkat ke sekolah dengan alasan tertentu. Banyaknya keluhan siswa dengan sistem belajar daring dan harapan bisa berangkat ke sekolah lagi menjadi alasan kuat mulai dibukanya kembali sekolah-sekolah.
Namun, tingginya klaster anak akhirnya turut berpengaruh dalam proses Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang sudah berlangsung di 220 sekolah di Bekasi. Dengan kondisi ini maka harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh karena terkait keamanan dan keselamatan anak jika sekolah tetap melakukan tatap muka.
Munculnya klaster anak dalam kasus Covid di Bekasi seyogianya menjadi perhatian serius oleh semua pihak, terutama Pemkot Bekasi. Terpaparnya anak dengan virus Covid terindikasi tertular dari internal keluarga. Kondisi inipun menjadi pekerjaan rumah Pemkot untuk melakukan penanganan wabah secara serius.
Ada dua kemungkinan penyebab tingginya klaster anak di Bekasi, pertama, menurunnya kedisiplinan masyarakat terhadap prokes. Kondisi ini terbawa hingga lingkungan keluarga. Kedua, faktor kebijakan pemerintah yang terkesan setengah hati dalam penanganan pandemi. Kedua faktor ini memunculkan sikap distrust atau hilangnya kepercayaan masyarakat baik dengan keberadaan Covid itu sendiri juga terhadap kebijakan pemerintah.
Dua faktor ini bermuara pada satu penyebab utama, yaitu tidak diterapkannya Islam dalam penanganan wabah sejak awal. Sistem kapitalisme yang dianut negeri ini menjadikan untung rugi materi sebagai pijakan setiap kebijakan yang dikeluarkan. Dengan alasan ekonomi, pusat perbelanjaan, pabrik, kantor, kafe, bioskop bahkan tempat wisata kembali dihidupkan, padahal pandemi masih mengancam keselamatan. Ini pula yang akhirmya mendorong masyarakat tetap nekat mudik lebaran meskipun telah ada larangan, dengan anggapan, kalau mall boleh dibuka mengapa mudik dilarang?
Penanganan wabah dalam Islam sangat jelas dan terbukti efektif. Adanya penerapan karantina pada wilayah yang terdampak pandemi adalah upaya untuk memisahkan masyarakat yang sakit dari yang sehat. Negaralah yang menyuplai kebutuhan pokok, tenaga medis dan obat-obatan yang mencukupi. Sementara wilayah yang sehat tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Adanya karantina wilayah membuat roda perekonomian tetap berputar dan proses belajar wilayah tidak terdampak berjalan normal.
Inilah perbedaan mendasar penanganan wabah ala sistem yang bersumber dari penguasa alam jika dibandingkan dengan sistem buatan insan. Prinsip pemimpin adalah raa'in sangat dipegang teguh oleh pemimpin Islam. Setiap kebijakan yang dikeluarkan berpengaruh pada taruhan nasibnya di yaumil akhir. Maka, jika saja penanganan wabah yang shahih sudah dilakukan sejak awal, niscaya tak kan ada klaster anak ataupun klaster-klaster Covid lainnya. Lalu, mengapa masih saja menolak solusi yang ditawarkan oleh Islam?
Oleh: Irma Sari Rahayu, S.Pi
0 Komentar