Covid-19 kembali mengganas. Pasca Lebaran setidaknya ada beberapa daerah yang mengalami lonjakan kasus, diantaranya Kudus, Bangkalan dan DKI Jakarta. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, masuknya varian corona B.1.617 ke Indonesia disebabkan karena banyaknya para pekerja migran yang kembali ke tanah air melalui pelabuhan-pelabuhan laut. Berbeda dari pelabuhan udara yang penjagaannya sudah cukup ketat, pengawasan di pelabuhan laut cenderung lebih sulit karena banyaknya kapal yang mengangkut barang, termasuk yang berasal dari India. "Sehingga masuk dari sana varian-varian baru," ujarnya sebagaimana dilansir Kompas,com (14/06/21)
Selain karena adanya varian baru dan ketidakmampuan pemerintah, lonjakan kasus covid-19 ini juga didominasi adanya faktor longgarnya prokes, ketidakpercayaan masyarakat dan lemahnya edukasi dan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah.
Di Kudus, misalnya, Bupati Kudus HM Hartopo mengungkapkan, penularan kasus Covid-19 juga terjadi di kawasan wisata karena banyak kapasitas wisata melebihi 50 persen. Ia mengaku, sudah berkoordinasi dengan Satgas Covid-19 daerah terkait kerumunan di kawasan wisata tersebut, namun tidak efektif. "Adanya pariwisata yang imbauan Pemda kapasitas 50 persen ternyata pada melanggar dan Satgasnya tidak efektif pada saat itu, artinya kita tutup yang untuk sekarang," ucapnya (Kompas.com, 10/06/21)
Lu Gua End!
Melonjaknya kasus Covid-19 memang berakibat di hilir. Para nakes kembali sibuk. Mereka memang tidak diam saja dengan munculnya varian baru ini, Upaya untuk memberikan edukasi kembali digencarkan, Sambil terus mengedukasi terkait varian baru, 5M dan 3T terus dilakukan. Bekerja sama bahu membahu kembali membuka ruang ICU, menyulap sebagian ruangan menjadi tempat untuk pasien covid, kembali saling berdonasi dan bergandengan tangan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang dihadapi di daerahnya masing-masing. Termasuk berjuang melawan birokrasi yang berbelit agar bisa memberikan perlindungan optimal untuk masyarakat.
Namun sayang, upaya ini bertepuk sebelah tangan karena pemerintah memang sejak awal enggan menyelesaikan pandemi ini. Kebijakan setengah hati dari pemernintah membuat para nakes seperti bekerja sendiri, menderita kelelahan dan mulai apatis dengan harapannya sendiri terhadap pemerintah. Harapan pada vaksin juga akhirnya sedikit demi sedikit sirna. Sebab varian baru ini tidak mempan dengan vaksin, tak bisa terdeteksi oleh PCR dan lebih cepat mengantarkan pada fatalitas. Seolah penanganan pandemi ini kembali berawal dari nol.
Pemerintah bukan hanya tidak serius, lebih parahnya lagi berbagai pelanggaran prokes dipertontonkan secara jelas oleh pemerintah sendiri, melalui banyak pejabat dan oknum yang terlibat. Ultah gubernur Jatim beberapa waktu yang lalu juga menunjukkan contoh yang sangat jelas tentang tiadanya teladan dari para pejabat pada rakyat. Anjuran wisata dan tetap dibukanya pintu masuk bagi warga negara asing justru menjadi fsktor tertuduh melonjaknya kasus Covid-19. Belum lagi ternyata pemerintah tak mampu memastikan jumlah data penderita Covid-19 dengan tepat. Ini semua membuat rakyat mengalami krisis kepercayaan pada pemerintah.
Dan yang membuat rakyat kian kehilangan kepercayaan adalah fokus pemerintah dan elit partai yang beralih pada persiapan pemilu 2024. Ancang-ancang sudah dilakukan sejak sekarang, seolah itu menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Terbentuknya komunitas relawan Jokowi-Prabowo pada Sabtu kemarin (19/6/2021) yang diumumkan oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, adalah salah satu fakta yang menunjukkan hal tersebut.
Demikianlah banyaknya fakta yang mengemuka membuat rakyat semakin tak percaya terhadap berbagai narasi dan edukasi dari kalangan pemerinatah. Bahkan jatim.suara.com sempat menurunkan berita berjudul “Warga Bangkalan: Corona Enggak Bakal Hilang Selama Presidennya Jokowi” pada 11 Juni lalu. Meski berita tersebut tidak bisa digeneralisir, tetapi setidaknya ini menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Artinya ini adalah salah satu bukti, hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Boleh dikatakan masyarakat sudah tak merasa ada hubungan apapun dengan pemerintah.
Benar memang ada realita yang menunjukkan rakyat terlena dan mengalami euforia pasca vaksin, namun harus diingat, keterlenaan rakyat itu juga disebabkan muaknya mereka melihat buruknya komunikasi publik yang dilakukan pemerintah. Intinya kini mereka berada di fase yang sudah tak peduli lagi dengan Covid-19. Bahasa millenialnya, Lu Gue End!
Konsep Bernegara Ala Kapitalisme: Usang
Jika rakyat sudah tak lagi memberikan kepercayaan pada penguasa, maka ini akan mengarah pada akhir sebuah kekuasaan. Sebab kepercayaan adalah faktor paling esensial bagi keberlangsungan pembangunan pemerintahan dan kemajuan bangsa. Fukuyama mengatakan, keberhasilan dan kemakmuran membutuhkan adanya kepercayaan. Semakin rendah kepercayaan akan semakin menambah masalah-masalah yang terjadi diantara masyarakat dan kalangan elite dan juga menghambat kemajuan negara. Sebaliknya, tingginya kepercayaan akan sangat membantu negara menjadi semakin berkembang untuk menjadi negara yang maju
Karenanya pemerintah harus berupaya sekuat tenaga untuk mengembalikan kepercayaan rakyat ini. Tentunya bukan dengan cara membuat kebijakan yang hanya berupa pencitraan, tetapi memang sungguh-sungguh membuat kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Jadi bukan sekadar dengan membuat program yang mengatasnamakan rakyat tapi tujuannya adalah untuk kepentingan segelintir orang.
Tentu ini tak mudah dilakukan. Mengapa? Sebab politik oportunistik dan ekonomi kapitalistik yang saat ini diparaktekkan telah membentuk jiwa-jiwa komprador pada para pelakunya sekaligus membentuk budaya hedonis dan perilaku individualistik di tengah masyarakat. Bayangkan saja, jika teladan yang ditunjukkan pejabat adalah keberanian memanipulasi data Covid-19 di setiap jenjang, maka jangan salahkan rakyat jika menirunya dengan ketidakjujuran saat anamnesa dilakukan. Jika komukasi publik yang menyeruak terkait vaksin mengarah pada persaingan industri farmasi, maka jangan salahkan rakyat jika akhirnya mereka ogah divaksin. Ibarat pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Buruknya komunikasi publik dan tiadanya teladan yang baik ini muncul karena konsep kebebasan yang mendasarinya. Dalam konsep kapitalis yang saat ini tengah berjalan, setiap orang memiliki kebebasan dalam mengekspresikan pemikirannya dengan cara apapun. Maka wajarlah jika pemerintah pun bebas mengatur urusan rakyat dengan standar yang berbeda. Bebas pula bertingkah laku tanpa mengahruskan dirinya sebagai teladan bagi rakyatnya. Bebas pula menentukan kebijakan apa saja dengan pertimbangan apapun.
Demikian pula dengan rakyat. Mereka juga menuntut kebebasan untuk mendapatkan hak hidupnya. Merasa berhak untuk menentukan pilihan terbaik bagi kondisi kesehatannya, tanpa bermasker dan jaga jarak. Berhak pula menolak vaksin dan karantina. Berhak melakukan apa saja karena memang landasan utama sistem kapitalisme adalah kebebasan. Jika demikian wajarlah jika kita perlu mendaratkan pertanyaan, untuk apa sebenarnya penguasa dipilih?
Demikianlah, konsep kehidupan (kapitalisme) yang diadopsi negara ini sebenarnya tak lagi mampu mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tak lagi bisa memberikan banyak harapan untuk diperbaiki. Dan tak lagi bisa menjamin adanya kehidupan yang sejahtera, aman dan nyaman bagi masyarakat. Sudah usang dan layak dibuang.
Karenanya memang harus segera dipikirkan kembali adanya alternatif sistem lain yang memiliki konsep paripurna dan telah teruji penerapannya mampu menyelesaikan seluruh persoalan yang muncul di masyarakat. Dan konsep kehidupan paripurna yang telah teruji penerapannya sepanjang hampir 13 abad adalah konsep yang berasal dari Allah swt, yakni konsep Islam dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Konsep itulah yang akan mampu mengembalikan kepercayaan umat pada pemimpinnya yang pada gilirannya kelak akan mencetak keberhasilan pembangunan dalam sebuah negara.
Oleh Kamilia Mustadjab
0 Komentar