Permasalahan krisis pangan terus menjadi ancaman di berbagai negara. Seperti krisis pangan di Myanmar yang berpotensi menjadi bencana kelaparan, benar-benar menjadi ancaman warganya. Terlebih akibat perebutan kekuasaan militer yang mendorong pemimpin sipil Aung Sang Syu Kyi lengser pada Februari lalu. Ekonomi dan sistem perbankan di negeri tersebut menjadi lumpuh.
Krisis pangan terjadi di Suriah. Dikutip dari laporan Human Rights Watch (21/3/2021) Syria: Bread Crisis Exposes Government Failure. Konflik bersenjata selama satu dekade telah menyebabkan kekurangan gandum yang parah di Suriah akibat lahan-lahan pertanian makin sedikit. Selain itu, banyak pula toko roti yang ikut hancur dan tidak dapat beroprasi selama konflik. Disebutnya, krisis ekonomi yang makin dalam, ditambah dengan kerusakan infrastruktur yang signifikan selama satu dekade konflik terutama oleh pemerintah Suriah dan sekutunya telah menyebabkan kekurangan gandum yang parah. Ditambah kebijakan pemerintah Suriah yang mengizinkan distribusi roti yang diskriminatif, korupsi dan pembatasan berapa banyak roti bersubsidi yang dapat dibeli orang sehingga menyebabkan kelaparan.
Krisis pangan yang melanda di berbagai belahan dunia semakin diperparah dengan adanya konflik di negeri-negeri tersebut sebenarnya merupakan gambaran kegagalan hegemoni dari sistem kapitalisme yang eksploitatif hingga merusak alam. Karakter kebijakan dari kapitalisme yang begitu pro dengan para korporat, menyebabkan lahan stok pangan terus menerus terdegradasi. Akibatnya, pasokan pangan tidak mencukupi supplay dan demand. Kapitalisme pula membuat penguasa mejadi miskin hati kepada rakyatnya. Sehingga mereka tega mengorbankan nyawa rakyatnya demi eksistensi kekuasaan mereka. Kezaliman kebijakan distribusi pangan kapitalisme ini pun semakin dikuatkan dengan terjadinya kesenjangan pangan.
Dikutip dari wantimpres.go.id, penduduk dunia yang kekurangan makanan telah melebihi 1 miliar orang dan yang salah makan lebih banyak lagi, yaitu sekitar 2 miliar orang. Sedangkan makan berlebihan (overweight) melebihi 1,5 miliar dan yang sangat berlebihan (obese) sekitar 700 juta orang. Tantangan yang dihadapi semakin kompleks untuk memenuhi kebutuhan pangan dan konsumsi pangan yang berimbang, kebijakan konvensional dari pemerintah tidak cukup untuk merespons tantangan yang dihadapi berkaitan dengan ketahanan pangan. Di antara tantangan tersebut adalah masalah ekonomi, kekurangan air dan energi. Degradasi lahan, resiko iklim, serta berbagai permasalahan sosial politik.
Maka bukan hal aneh jika krisis pangan selamanya akan menjadi masalah akut dalam sistem kapitalisme. Sistem Islam telah hadir dengan solusi fundamental atas masalah kebutuhan pokok pangan dan ancaman krisis. Dalam hal ketahanan pangan, Islam menjadikan sektor pertanian memiliki peran yang strategis dan peran ini harus didukung oleh negara.
Setidaknya terdapat tiga peran trategis pertanian dalam sistem Islam. Yaitu, memenuhi ketersediaan pangan bagi rakyat (peran ketahanan pangan), menjadi sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (peran ekonomi) dan juga menjamin kemandirian negara (peran politik keamanan). Maka agar peran ini terwujud, terdapat mekanisme politik pertanian dalam Islam yang ditempuh oleh negara di bidang pertanian, baik itu sektor produksi (primer), sektor industri (sekunder), maupun sektor perdagangan dan jasa (tersier).
Sektor pertanian pun erat kaitannya dengan sektor-ektor yang lain. Seperti industri, perdagangan, jasa dan juga tidak terlepas dari sektor pertanahan. Strategi politik pertanian dan industri yang ditawarkan Islam, selain sangat berpihak kepada masyarakat secara umum, juga menjadikan negara bisa terlepas dari cengkeraman dan penguasaan asing.
Di dalam sistem Islam, pengaturan produksi dan distribusi mutlak di tangan khalifah (pemimpin). Sebab negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai raa’in (pelayan/pengurus) dan junnah (pelindung). Agar urusan ini terealisasi, khalifah akan menunjuk orang yang memiliki kapasitas dan keahlian dalam bidang pertanian untuk menjadi direktur Departemen Kemaslahatan Umum bidang pertanian. Direktur ini akan bertanggung jawab langsung kepada khalifah dalam pelaksanaan tugas-tugasnya dalam menjamin kebutuhan pangan setiap individu.
Adapun untuk mengatur produksi pangan, Khilafah akan melakukan upaya: Pertama, optimalisasi produksi, mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanam tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama, hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.
Kedua, adaptasi gaya hidup agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan. Ketiga, manajemen logistik. Masalah pangan beserta yang menyertainya seperti irigasi, pupuk, anti hama, sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi melimpah dan mendistribusikannya secara efektif saat ketersediaan mulai berkurang. Di sinilah teknologi pasca panen menjadi penting.
Keempat, prediksi iklim, analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ektrim. Kelima, mitigasi bencana kerawanan pangan.
Adapun mekanisme distribusi seluruh rantai pasok pangan akan dikuasai negara, meskipun swasta atau korporasi boleh memiliki usaha pertanian, namun penguasaannya tetap di tangan negara. Korporasi hanya dibolehkan sebagai penjual di pasar-pasar atau penjual di toko-toko makanan. Beginilah mekanisme dalam Islam untuk mendukung dan mewujudkan kedaulatan pangan yang membuat negara mandiri dan menyejahterakan rakyat.[]
Oleh Eva Erfiana, S.S., Mahasiswi Universitas Gunadarma
0 Komentar