Melonjaknya kasus Covid-19 di Kudus, Bangkalan dan DKI Jakarta kembali menjadi sorotan. Di Bangkalan, lonjakan kasus ini disertai dengan nuansa ketidakpercayaan publik terhadap pandemi, padahal pandemi sudah berlangsung setahun lebih. Bahkan jatim.suara.com sempat menurunkan berita berjudul “Warga Bangkalan: Corona Enggak Bakal Hilang Selama Presidennya Jokowi” pada 11 Juni lalu untuk menggambarkan sulitnya melakukan komunikasi dan edukasi kepada warga setempat.
Narasi tentang Covid-19 ini sejak awal pandemi memang beragam, bahkan satu dengan yang lain bisa dikatakan saling bertentangan, seperti ada yang percaya dan ada yang tidak, ada yang menganut teori konspirasi dan ada juga yang tidak terpengaruh sedikitpun, munculnya isu di-covid-kan, hingga bahaya vaksin. Narasi yang berkembang liar ini pada akhirnya membuat informasi tentang Covid-19 ini menjadi kabur. Tidak jelas mana yang benar dan harus diikuti.
Realitanya, pemerintah juga tak segera melakukan upaya untuk meluruskan informasi dan narasi yang bergerak dengan sangat cepat. Entah enggan atau menganggap tak penting atau memang juga sama-sama kaburnya dalam membaca pandemi ini. Pastinya, yang tertangkap masyarakat adalah kegagapan dan ketidaksiapan pemerintah dalam menangani pandemi.
Apalagi munculnya varian baru dengan karakteristik yang berbeda ini harusnya mendorong pemerintah untuk memperbaiki pola komunikasi dan edukasinya di tengah masyarakat. Munculnya varian baru di tanah air dengan berbagai karakteristiknya membuat seolah penanganan pandemi kembali berawal dari nol. Bayangkan saja, varian baru ini tidak terdeteksi dengan PCR dan ini akan menuntut dibuatnya alat deteksi baru. Berbagai gejala yang tidak sama dengan gejala varian lama juga membuat arah anamnesa dan pembuatan diagnosa berbeda dengan sebelumnya. Dan solusi vaksin yang sedang digencarkan seolah dimentahkan kembali oleh virus varian baru ini, seolah tak beguna.
Rentannya usia muda dan kecepatannya mengantarkan pada fatalitas menuntut adanya keputusan yang cepat dan tepat dalam melakukan tindakan agar mampu melindungi generasi muda dari serangan virus ini.
Karenanya lonjakan kasus ini musti segera disikapi dengan tepat, sesuai dengan pola serangannya. Agar grafik yang kini menanjak vertikal bisa segera melandai kembali. Dan tentu hal ini butuh komunikasi efektif antara pemerintah dengan masyarakat. Negara tak boleh menganggap lonjakan kasus ini sebagai perkara biasa. Pemerintah harus segera bergerak untuk memberikan edukasi yang benar dalam rangka melindungi masyarakat pada umumnya dan generasi muda khususnya.
Selama ini, kebijakan pemerintah dan caranya berkomunikasi dengan masyarakat justru menggambarkan ketidakseriusannya dalam melindungi masyarakat dari pandemi. Dan faktanya hal ini telah menggoreskan luka dan menimbulkan noda tersendiri. Tidak adanya keteladanan dalam menggunakan masker dan membuat kerumunan, misalnya, adalah salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan pemerintah dan justru membuat rakyat hilang kepercayaannya pada pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah melakukan edukasi dan komunikasi dengan tepat pada akhirnya membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah kian menurun bahkan bisa dikatakan terjun bebas.
Krisis kepercayaan yang dialami masyarakat saat ini lebih karena keengganan pemerintah untuk melakukan tindakan yang benar dalam penanganan pandemi padahal perangkat yang dimiliki sudah lengkap. Pemerintah memiliki tenaga ahli, pakar, dokter, perusahaan farmasi, laboratorium dan juga lembaga riset. Dengan perangkat ini mestinya pemerintah mampu untuk membaca secara cepat varian baru dan merekomendasikan langkah-langkah penanggulangannya. Tetapi langkah ini seolah tak terlihat secara nyata dan riil. Yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah menggunakan berbagai pertimbangan lain yang tidak berkorelasi dengan terselesaikannya wabah. Akibatnya masyarakat kian merasa pemerintah memang tak pernah hadir saat dibutuhkan.
Bagi kaum muslimin, musibah pandemi ini justru bisa digunakan sebagai alat bantu untuk membaca lebih cermat tentang riayah negara pada rakyatnya. Ibarat kaca pembesar, Covid-19 mampu memperlihatkan dengan jelas ketidakseriusan pemerintah dalam menangangi pandemi yang pada akhirnya mengantarkan pada runtuhnya kepercayaan publik. Dan ketika kepercayaan pada pemerintah sudah hilang, masyarakat butuh adanya pihak yang mampu dipercaya untuk menangani semua persoalan yang ada. Nah, pada saat itulah konsep Islam yang paripurna menemukan momentumnya untuk segera diterapkan secara sempurna dalam bingkai negara Khilafah Islamiyah.
Kamilia Mustadjab
0 Komentar