Rakyat mau tidak mau menerimanya karena situasi ini memang tak bisa kita tolak. Mau tidak mau kita mengikuti aturan pemerintah. Tidak hanya perorangan, berbagai organisasi misalnya tak dapat melakukan kegiatan berkumpul untuk melakukan koordinasi. Banyak organisasi yang menunda perhelatan besar serta berbagai kegiatan seminar. Penyebaran informasi, kajian, aktivitas dakwah dan edukasi harus dilakukan lewat jaringan. Bahkan ibadah haji pun tidak dilakukan.
Kenapa itu semua kita lakukan? Meski tak suka, rakyat harus percaya bahwa ini dilakukan untuk mencegah kian meluasnya penularan. Kita harus percaya bahwa pemerintah sesuai jargonnya seolah telah bekerja keras dan penuh disiplin, untuk melindungi kita.
Namun sayang seribu sayang, tindak-tanduk yang ditunjukkan oleh pemerintah sering bertentangan dengan kepercayaan yang dibangun oleh rakyat. Kebijakan pemerintah berubah-ubah, bertentangan satu sama lain, tidak konsisten dari waktu ke waktu. Yang paling parah, kebijakan tidak diberlakukan secara setara terhadap setiap orang. Ada orang-orang yang dikecualikan, bebas melakukan pelanggaran, tidak kena sanksi apapun.
Pada akhirnya para pejabat pemerintah justru memamerkan kelemahan yang mendasar. Yang dirasakan oleh rakyat adalah, aturan hanya diberlakukan secara keras kepada rakyat kecil yang tak berdaya melawan. Rakyat diperlakukan secara tidak adil. Banyak orang yang kehilangan nafkah karena dipaksa patuh. Lalu mereka menyaksikan tak sedikit pula orang tertentu yang diperlakukan istimewa. Rakyat pun merasa dikhianati.
Pemerintah sudah mulai tak dipercaya akibat terlalu panjangnya pandemi, dan seiring jalan, banyaknya kebijakan yang tidak konsisten diberlakukan. Serta manajemen yang berantakan. Ketidak-seriusan untuk memotong rantai penularan Covid-19. Dampaknya pun pemerintah sudah kesulitan mendapat komitmen rakyat untuk mengendalikan pandemi ini.
Kini rakyat yang sebelumnya gigih berkomitmen, berakhir skeptis. Suara-suara tidak puas bergema di setiap sudut dan tempat. Suara kekecewaan rakyat kecil yang tak berdaya. Pada akhirnya kini, apapun yang dikatakan pemerintah, apapun yang mereka anjurkan, tak jarang hanya jadi tertawaan saja. Wajarlah hal ini menjadi salah satu penyumbang eksistensi pandemi di tanah air. Bahkan Covid-19 ini kian melonjak, bertambah jumlah dan variannya.
Di tengah keputusasaan rakyat menghadapi situasi ini, patutlah kini kita telaah bagaimana Islam sebagai ideologi yang memiliki konsepsi dan teknis aplikatif keseluruhan aturan atau sistem kehidupan yang kompeten. Ideologi Islam mampu menyelesaikan segala macam problematika termasuk pandemi ini.
Allah yang maha Rahman dan Rahim telah menghadirkan Islam, seperangkat sistem yang sempurna dan paripurna untuk menjadi panduan hidup dan solusi setiap problem manusia untuk kemaslahatan dan keselamatan dunia akhirat.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
''Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan padamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agamamu.'' (QS. Al-Maidah Ayat 3)
Pelaksanan sistem ini adalah ibadah kolektif umat manusia untuk menciptakan ketakwaan sosial dimana apabila hal ini dilaksanakan baik oleh pemimpin dan rakyatnya, maka Allah akan menurunkan keberkahan dan ridanya.
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'raf Ayat 96)
Ketidak-percayaan rakyat kepada penguasa saat ini terutama terkait inkonsistensi kebijakan hingga berujung pada ketidak-adilan hukum, tak lagi terjadi di dalam khilafah. Negara khilafah akan memiliki landasan kebijakan yang kokoh. Sehingga segala keputusan yang dilahirkan berpijak pada kebijakan yang kokoh tersebut. Sehingga menihilkan adanya sikap inkonsisten.
Ditambah dengan asas ketakwaan, kebijakan yang disusun akan bertujuan untuk kemaslahatan umum bagi masyarakat. Mereka pun menaati pemimpin dgn landasan ketakwaan tersebut. Secara alamiah kebijakan yg dilahirkan tidak akan melahirkan reverse di tengah-tengah masyarakat. Karena kemaslahatan itu betul-betul dirasakan oleh mereka secara keseluruhan.
Urgensi kepemimpinan (leadership) pun menjadi harga mati untuk terus menjamin berlangsungnya sistem Islam selain ketakwaan individu dan penerapan syariah Islam secara kafah. Islam dengan jelas dan tegas meletakan dasar-dasar kepemimpinan untuk menjamin keberlangsungan sistem Islam, seorang ulama/pakar hukum Islam, politisi ulung, pemimpin berintegritas, adil, amanah dan sebagainya.
Seperti halnya keberadaan Rasulullah saw, para sahabat dan para khalifah yang telah memberikan teladan atas sosok pemimpin yang baik bagi umatnya. Pemimpin yang mencintai Allah dan Rasulnya, pemimpin yang mencintai rakyatnya dan juga rakyat yang mencintai pemimpinnya.
Pelaksanaan sistem Islam kafah sebagai bentuk ibadah kolektif dijalankan dengan senang hati dan penuh ketaatan. Sehingga tercipta lingkungan yang bertakwa dan lahir keberkahan hidup dalam rida Allah Swt.
Kemudian dari sisi aplikasi, adanya kewenangan dan otoritas khalifah untuk melakukan ijtihad terkait kebijakan/fikih terkait berbagai kebijakan dan aturan sehingga sentralisasi kebijakan akan menafikan terjadinya karut-marut, inkonsistensi dan tumpang-tindih kebijakan. Terlebih lagi hal ini disupport dengan ketakwaan rakyatnya terhadap khalifah.
Hal ini tertoreh dalam puncak peradaban emas khilafah yang menerapkan syariah Islam. Keberhasilan yang gemilang di bidang ini membentang sejak sampainya Rasulullah saw. di Madinah tahun 622 M hingga tahun 1918 (1336 H) ketika Khilafah Utsmaniyah jatuh ke tangan kafir penjajah (Inggris). (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam, hlm. 44).
Kunci utama keberhasilan tersebut karena hukum yang diterapkan memang hukum terbaik di segala zaman dan masa, yaitu syariah Islam, bukan hukum buatan manusia seperti dalam sistem demokrasi-sekular sekarang. Allah Swt berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Dalam kitab At–Tafsir al-Munir Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa ayat ini berarti tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah dan tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Wahbah Az-Zuhaili, At–Tafsir al-Munir, VI/224).
Dalam hukum Islam itulah akan didapati suatu cita-cita tertinggi manusia dalam bidang hukum di segala peradaban, yaitu keadilan. Keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu sendiri dan tak terpisahkan dari Islam. Allah SWT berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
Telah sempurnalah Kalimat Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil (QS al-An’am [6]: 115).
Islam sendiri juga memerintahkan manusia untuk bersikap adil dalam menerapkan hukum-hukum Allah, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil (QS an-Nisa’ [4]: 58). []
Kembali pada penanganan pandemi dalam institusi khilafah. Pada level pemerintahan Islam, khilafah memiliki kewajiban untuk menjaga seluruh urusan masyarakat termasuk memberikan perawatan kesehatan. Dalam situasi pandemi, peran khalifah sebagai pemimpin yang semata memiliki motif untuk melayani umat dan mengurus segala urusan rakyat dengan pengurusan yang terbaik dari landasan syariat Islam.
Khalifah akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berkorelasi untuk memutuskan rantai penyebaran virus. Inilah hal mendasar yang membedakannya dengan penanganan pandemi yang tengah dilakukan saat ini yang masih kental dengan motif keuntungan dan kepentingan segelintir pihak.
Khalifah akan menerapkan aturan Islam yang khusus menangani pandemi, seperti mencegah perjalanan ke dan dari wilayah wabah penyakit, dan memisahkan orang-orang yang sakit dari yang sehat. Tak terkecuali juga mengembangkan teknologi vaksin dan memfasilitasi distribusi vaksin, sehingga bisa ditawarkan kepada masyarakat untuk pencegahan penyakit.
Dalam kasus Covid-19, mungkin ada kebijakan lain yang diperlukan untuk mengurangi penyebaran virus, yang mungkin termasuk peningkatan pengujian individu tanpa gejala dan pelacakan kontak terhadap orang-orang yang mungkin telah melakukan kontak dengan individu yang positif, sehingga mengharuskan mereka untuk melakukan isolasi mandiri.
Sepintas teknis penanganan pandemi ini pun sudah dilakukan oleh sistem di negeri ini, namun perbedaan motif mendasar tadi tentu sangat bagaimana menentukan efektivitas dan dampaknya di tengah masyarakat. Hal yang paling menonjol di sistem kapitalisme-sekularisme yang tak akan bisa menihilkan kapitalisasi di setiap kebijakan dan program yang diterapkan, belum lagi segelintir oknum yang mengambil keuntungan hingga menjadikannya bancakan kian memperparah situasi pandemi.
Dalam level geopolitik, khilafah akan berusaha dalam berbagai cara pada konteks penyakit ini. Termasuk di dalamnya mencoba berkoordinasi dengan wilayah negara bagian lain di dalam khilafah untuk menahan penyebaran penyakit ini, dan mengakui bahwa pandemi tidak terbatas oleh batas wilayah.
Khilafah akan mencoba bekerja sama juga dengan negara lain untuk mengembangkan pengobatan, berbagai pengetahuan teknis dan terobosan apa pun tanpa dibatasi oleh konsep yang dilarang seperti hak paten (sementara tentu saja tidak mengizinkan kontrol oleh negara lain atau oleh badan non-pemerintah yang mungkin memiliki motif-motif tertentu tadi).
Jika memungkinkan, tindakan itu termasuk mencoba membantu negara-negara yang lebih lemah dalam hal pengobatan dan penyembuhan – sebagaimana dalam sejarahnya yang panjang khilafah membantu negara-negara lain ketika mereka kelaparan.
Negara khilafah akan memastikan bahwa setiap obat baru dan vaksin akan diuji keamanannya sebelum ditawarkan kepada warganya.
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan: Rasulullah (ﷺ) bersabda,
‘لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ مَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللَّهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ’
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain. Barangsiapa yang menyusahkan orang lain, Allah akan menyusahkannya. Barangsiapa yang kasar kepada orang lain, Allah akan bertindak keras padanya. ”
Hal ini akan menjadi persyaratan hukum yang diawasi oleh para ahli di cabang peradilan yang disebut Muhtasib, yang memantau setiap pelanggaran hak umum terhadap warga negara. Peradilan yang independen dari cabang eksekutif khilafah akan mengurangi potensi tekanan politik yang mempercepat teknologi medis yang belum terbukti kemanjurannya atau tidak aman. (https://mediaumat.news/islam-covid-vaksinasi-dan-khilafah/)
Oleh karenanya, krisis kepercayaan hingga kekecewaan rakyat ini yang terus-menerus diabaikan oleh pemerintah, tak bisa kita anggap hal yang lumrah. Berpangku tangan melihat kondisi ini sehingga terbiasa hidup bersama dan menoleransi kegagalan-kegagalan yang ditampakkan oleh pemerintah dan sistem ini. Sejatinya kita terus mengkaji dan memiliki semangat perubahan ke arah yang lebih baik. Menelaah sistem Islam yang telah menawarkan solusi paripurna atas segala problematika termasuk problem pandemi ini. []
Wallahu a'lam biashshawab.
Oleh Novita Sari Gunawan
0 Komentar