Membaca Arah Penegakan Hukum


Pro kontra tentang vonis yang dijatuhkan terhadap Habib Rizieq Syihab memang menarik untuk dicermati. Mengapa? Karena kasusnya disinyalir tidak murni kasus hukum tapi berkelindan pula dengan kepentingan politik. Novel Bamukmin, Wasekjen PA 212 menyimpulkan Habib Rizieq Syihab sudah menjadi korban kriminalisasi ulama. "Jadi jelas Imam Besar Habib Rizieq Syihab adalah menjadi korban diskriminasi hukum melalui kriminalisasi ulama," katanya. (Kumparan.com, 25/06/21) “Kami sudah duga bahwa hakim bermain dalam politik mungkar demi kepentingan rezim ini untuk membungkam perjuangan IB HRS yang selama ini tegas dan terbukti benar memerangi kemungkaran di rezim ini,” ungkapnya pula sebagaimana dilansir Fajar.co.id, 25/06/21)

Sebagaimana diketahui Habib Rizieq divonis 4 tahun penjara karena dinyatakan bersalah menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi hingga menimbulkan keonaran. Habib Rizieq dinyatakan bersalah melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam Pasal 14 Ayat (1) ini ada kata kunci yang krusial yakni "menerbitkan keonaran". 

Menanggapi kasus ini, Refly Harun, ahli hukum tata negara, mengatakan, “Yang namanya putusan hukum, ada dua perspektif yaitu formal dan substantif. Secara formal kita tidak bisa mengatakan keputusan ini salah. Semua putusan hakim itu benar sampai kemudian dikoreksi oleh pengadilan tingkat atasnya dalam hal ini banding. Putusan banding benar sampai kemudian dikoreksi oleh kasasi. Kalau sudah kasasi itu inkrah. Kalau ada novum baru boleh diajukan peninjauan kembali.” 

Kemudian dia melanjutkan, ”Tapi secara substantive tentu akan bertanya-tanya dengan putusan tersebut. ”Kok bisa, kok bisa. Apakah hakim memutus secara independen dan dia berkeyakinan memang pantas HRS idhukum 4 ahun penjara atau dia menghukum berdasarkan pengaruh dari pihak lain.” (Sindonews.com, 27/06/21) 

Kejadian ini semakin menguatkan buruknya wajah pengadilan di negeri ini. Sebelumnya vonis hakim yang dijatuhkan kepada jaksa Pinangki juga membuat tanda tanya besar. Kebalikan dengan kasus Habib Rizieq, justru jaksa Pinangki mendapat hukuman hanya 4 tahun dari tuntutan 10 tahun hanya karena posisinya sebagai seorang ibu dari anak yang masih balita (berusia 4 tahun).

Potret buruk pengadilan di negeri ini pada akhirnya akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan supremasi hukum. Yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Mengapa ini bisa terjadi? Setidaknya ada 3 faktor yang menjadi penyebabnya. 

Yang pertama adalah perbedaan dalam mendefinisikan makna kejahatan. Dalam negara yang menganut sistem kapitalis seperti Indonesia, manfaat adalah tolok ukur untuk menilai sebuah perbuatan, termasuk tindak kejahatan. Dan ketika manfaat itu menjadi pertimbangan dalam memandang sebuah kejahatan maka bisa dikatakan bahwa standar kejahatannya akan berubah-ubah. Jika perbuatan dianggap merugikan pihak penuntut, maka itu akan dianggap sebagai sebuah kejahatan. Demikian sebaliknya, 

Dalam kasus Habib Rizieq, ketidakterusterangannya terhadap hasil swab dianggap merugikan sehingga menimbulkan keonaran. Tidak ada batasan yang rigid apa bentuk keonaran yang dimaksudkan, sementara realitasnya Airlangga Hartanto juga menyembunyikan hasil swabnya padahal posisinya adalah pejabat pemerintah yang berhubungan dengan banyak orang. Namun, tidak ada tuntutan hukum kepadanya. Karenanya asas manfaat ini sebenarnya tidak layak untuk dijadikan landasan untuk menilai sebuah kejahatan. 

Faktor kedua adalah tidak ada kaidah yang jelas dalam membuat pertimbangan saat menjatuhkan vonis. Bisa jadi keputusan hukum sudah ditetapkan terlebih dahulu, sedangkan pertimbangan-pertimbangannya bisa menyusul kemudian. Akibatnya hakim akan mencari-cari pasal yang sekiranya bisa digunkan untuk mendukung keputusan tersebut. 

Dengan kata lain, hakim tidak mandiri dan tidak merdeka dalam menentukan vonis. Sekalipun dalam sistem hukum yang berlaku saat ini mengharuskan hakim adalah orang yang merdeka dan mandiri dalam menetapkan hukuman, namun sistem politik hari ini telah membelenggu sistem hukum yang diterapkan di pengadilan. 

Faktor ketiga, absennya aspek keimanan pada penegak hukum. Akibatnya mereka berani melakukan kedustaan atas nama hukum tanpa takut dengan azab Allah swt kelak di akhirat. Saat keimanan ini hilang, praktis tak ada lagi suara hati yang menghalangi seseorang untuk berbuat tidak adil. Hawa nafsu yang biasanya dikontrol oleh keimanan menjadi lepas kendali. Dan bagi muslim ini adalah kondisi yang mengkhawatirkan. Ketika tak lagi meyakini hukum Allah sebagai hukum terbaik, maka kondisi ini akan mengantarkan pelakunya ke jurang kemunafikan. 

Demikianlah, hari ini sistem hukum yang ada tidak lagi berkuasa dalam penegakan hukum. Sebaliknya politiklah yang lebih banyak mengendalikan hukum dan menjadi panglimanya. Karena itu sistem hukum di Indonesia ini perlu di tata ulang, bahkan jika perlu, dirombak dari akarnya sebab realitasnya memang sudah tidak layak lagi digunakan. Wallahu a’lam,


Kamilia Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar