Siapa sih yang tidak mengenal panganan murah meriah dan bergizi serta rasanya enak di lidah. Tahu dan tempe adalah makanan yang disukai semua kalangan. Harganya yang relatif terjangkau dan mudah divariasikan dalam mengolahnya membuat makanan ini sangat khas yang merupakan ciri khas Indonesia.
Namun sangat disayangkan beberapa hari terakhir ini makanan tersebut mulai sulit didapatkan karena bahan bakunya mulai naik, yaitu kedelai di pasaran. Bahkan saking mahalnya harga kedelai para penjual tempe dan tahu membuat ukuran tahu tempe diperkecil. Karena harga kedelai yang mahal hampir Rp12.000 per kilogram (kg). Kini para pedagang mengaku saat ini hanya berjualan oncom di lapak dagangannya.
(economy.okezone.com,29/05/2021)
Akibat kondisi ini sangat disayangkan oleh para konsumen tempe dan tahu. Mahalnya makanan murah meriah dan kaya gizi ini justru menjadi sesuatu yang berharga. Indonesia yang merupakan negara agraris tetapi begitu sulit untuk mendapatkan bahan baku panganan sederhana ini. Selama ini Indonesia sangat bergantung kepada negara-negara importir seperti halnya Amerika karena Amerika Serikat jadi salah satu negara importir kedelai terbesar untuk Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), selama periode Januari hingga Oktober tahun lalu, impor kedelai dari Negeri Paman Sam tersebut mencapai 1,92 juta ton. Total nilai transaksinya juga gak main-main, yakni sebesar USD762 juta atau setara Rp10,6 triliun. Selain AS, negara-negara lain yang jadi importir kedelai buat Indonesia adalah Kanada, Argentina, Perancis, bahkan negara tetangga Malaysia. Negeri yang kaya akan sumberdaya alam dan subur tanahnya justru kini sangat bergantung pada impor. Ironis bukan?
Ada beberapa alasan mengapa Indonesia masih bergantung pada negara lain dalam hal pengadaan bahan baku tahu dan tempe ini. Hal ini pula yang diungkapkan Kementerian Pertanian mengungkap alasan Indonesia sangat ketergantungan kedelai impor. Salah satu penyebabnya yakni produksi kedelai RI yang begitu minim serta keuntungan dari hasil tanam kedelai yang tak seberapa.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Suwandi menjelaskan, keuntungan petani jika tanam kedelai hanya Rp1juta/hektar. Pun harus menunggu masa tanam selama 3 bulan. Berbeda dengan keuntungan petani jika tanam jagung dan padi sekitar Rp4,5juta/hektar. “Keuntungan tanam kedelai cuma Rp1 juta/hektar sangat rendah jauh di bawah padi dan jagung jadi petani lebih pilih tanaman yang untungnya lebih tinggi dan beberapa lebih pilih tanam tebu,” kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan k=Komisi IV DPR RI.
Kondisi tersebut diperparah dengan harga kedelai dalam negeri yang tidak bisa bersaing dengan gempuran kedelai impor yang tidak dibatasi. “Sudah dibahas di dewan kedelai selama ini non lartas [larangan terbatas], jadi berapapun masuknya, waktunya kan gak ada larangan, tarif [masuknya] pun 0 persen untuk kedelai,” kata dia. Maka dari itu, pihaknya saat ini tengah menggenjot produksi dalam negeri, langkah tersebut dilakukan untuk mengamankan stoknya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
Di tahun ini Kementan sudah mempersiapkan lahan 325 ribu hektar untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri. “Dengan tanam 325 ribu hektar dengan produktivitas sekitar 1,5 juta ton di bawah potensi memang, karena potensi riset litbang bisa 3,5 juta ton baik itu varietas Rajabasa, Agropuro, Malika, Baluran, Usowei ini yang varietas baru itu yang didorong sehingga bisa memasok produksi 1,5 ton per hektare bisa masuk 500 ribu ton sampai panennya bulan sembilan,” terang dia.
Lahan seluas 325 ribu hektar itu nantinya akan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, Suwandi menyebut beberapa lahan tersebut akan berada di Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Jambi dan Banten. “Kami akan tanam di sentra yang sudah ada,” kata dia. Untuk mendorong produktivitas tersebut Kementerian Pertanian mendapat anggaran dari Kementerian Keuangan sebesar Rp180 miliar untuk menggarap lahan 125 ribu hektar.
(Tirto.id, 13/01/2021)
Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi cengkeraman negara-negara kapitalis.Negara-negara tersebut siap mencengkeram dengan serbuan barang impor. Indonesia seolah tak berdaya dan tak memiliki independensi untuk berbuat banyak dalam menahan arus impor kedelai karena kedelai sendiri merupakan komoditas yang gak berlabel lartas atau pelarangan dan pembatasan.
Mirisnya pemerintah cenderung berpikir untuk apa susah-susah menanam kedelai sendiri jika impor lebih murah. Ini pula yang mengakibatkan terus ketergantungan pada negara-negara importir. Sudahlah hidup di masa pandemi semakin sulit ditambah mencari panganan sederhana pun dibuat panik. Pada akhirnya yang diuntungkan negara-negara kapitalis dan mafia importir yang bermain.
Islam solusinya
Jika kita mau berubah atas permasalahan yang dihadapi saat ini, tentu harus dicarikan solusi jitunya yang mencabut hingga ke akarnya. Solusi tersebut adalah kembali kepada aturan Islam. Mengapa harus Islam? Jawabannya karena aturan yang saat ini berlaku tidak pernah berpihak kepada rakyat,tidak pernah memberikan solusi hingga akarnya dan hanya menguntungkan sebagian orang saja.
Islam sebagai agama yang paripurna mampu memberikan solusi jitu. Hal ini terbukti saat pemerintahan Islam yaitu khilafah masih tegak mampu menyejahterakan rakyatnya. Berbagai sektor kehidupan mampu dikelola secara baik dan sempurna hingga menjadi negara adidaya yang ditakuti seluruh dunia.
Terkait masalah kebutuhan pokok hidup masyarakat ditanggung oleh negara. Harga kebutuhan pokok pun selalu memadai. Ketahanan pangan menjadi target utama oleh negara Islam. Hal ini dilakukan agar warga negaranya tidak ada yang kelaparan.
Untuk mengatasi agar tidak terjadi kekurangan pangan termasuk di dalamnya makanan pokok diterapkan beberapa strategi swasembada pangan yang dilakukan di antaranya:
Pertama, negara harus memberikan suport kepada para petani dalam pembangunan pertanian.Semisal negara memberi modal,lahan,pupuk, sarana produksi.
Kedua, melakukan kebijakan ekstensifikasi dengan membuka lahan-lahan baru pertanian.Lahan kosong yang tidak digarap selam 3 tahun berturut-turut maka oleh negara diambil untuk diproduktifkan.
Ketiga, negara melakukan intensifikasi dengan penemuan bibit unggul, sistem budidaya serta obat pembasmi hama yang aman terhadap lingkungan.
Keempat, dilakukan restrukturisasi pertanian artinya petani-petani yang gurem tidak efisien dengan lahan usahanya 0,2-0,3 ha harus ditingkatkan skala usahanya.
Kelima, melakukan penanganan yang baik pada sektor pemasaran produk pertanian.
Dengan demikian sistem Islam sajalah yang mampu memberi solusi bagi permasalahan manusia saat ini bukan yang lain.
Wallahu alam bishshawab.
Oleh Heni Ummu Faiz
Ibu Pemerhati Umat
0 Komentar