Banyaknya penolakan terhadap rencana pemerintah untuk menarik pajak pada sejumlah sembako dan jasa pendidikan mestinya harus disertai dengan tawaran solusi. Sebab tekanan ekonomi akibat pandemi akhirnya membuat pemerintah harus memutar otak untuk mencari sumber dana baru yang memungkinkan didapat dalam waktu yang cepat dengan jumlahnya besar. Sementara dalam konsep ekonomi kapitalis yang dianut di negeri ini, pajak adalah satu-satunya sumber pendapatan utama bagi negara. Maka ketika kondisi ekonomi sedang limbung, satu-satunya solusi adalah dengan menarik dana dari masyarakat melalui pajak.
Masalahnya, kondisi perekonomian rakyat secara umum juga oleng akibat badai pandemi. Maka jika pemerintah tetap meneruskan kebijakan ini dan tidak segera menemukan cara lain untuk mendongkrak pendapatannya, masyarakat tentu akan kehilangan kepercayaan pada penguasnya. Boleh dibilang rakyat sudah memelas, namun penguasa tetap memeras.
Kondisi ini justru menjadi gambaran tentang kesudahan sistem ekonomi kapitalis. Runtuh akibat hilangnya kepercayaan masyarakat pada penguasanya. Sebuah sistem yang justru membunuh dirinya sendiri akibat kecacatan yang dideritanya sejak awal kelahirannya. Tentu masyarakat butuh solusi. Benarkah penarikan pajak seperti ini dibenarkan? Benarkah pajak hanya satu-satunya solusi? Adakah solusi lain selain menarik pajak? Tulisan ini berusaha menjawabnya dengan mengkomparasikannya dengan sistem ekonomi Islam. Tetap dengan perspektif Islam tentunya.
Pajak Bukan Pendapatan Utama Negara
Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Amwal fi Daulati al-Khilafah mendefinisikan pajak (dharibah) sebagai “Harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” Sedangkan Syaikh Rawwas Qal’ah Jie dalam kitab Mu’jam Lughat al-Fuqaha’ menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.”
Dari definisi ini bisa disimpulkan bahwa pajak (dharibah) adalah salah satu pendapatan negara yang bersifat tidak tetap. Dalam Islam, pendapatan negara yang ada di Baitul mal terdiri dari dua. ada pendapatan yang bersifat tetap dan ada yang bersifat tidak tetap. Sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal ada beberapa jenis, diantaranya adalah fai’ (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris dan harta orang murtad. Disebut pendapatan tetap negara karena pendapatan ini tidak bergantung pada ada atau tidaknya kebutuhan. Jadi jika tidak ada kebutuhan untuk dikeluarkan harta ini tetap tersimpan di Baitul Mal dan akan dikeluarkan sesuai peruntukannya.
Adapun yang kedua, pendapatan yang tidak tetap, disebabkan syara’ menetapkan kepada kaum Muslim untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika tidak ada dana sama sekali di Baitul Mal. Kewajiban ini hanya dibebankan kepada umat Islam dan tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya. Di sinilah posisi pajak (dharibah) dalam Islam. Dan pajak bisa menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara
Selain menetapkan jenis pendapatan, syara’ juga telah menetapkan sejumlah pengeluaran. Pengeluaran-pengeluaran itu bersifat wajib bagi negara dan tetap harus berjalan, ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan terjadi dharar bagi seluruh kaum Muslim. Nah, untuk menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka negara boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban tersebut bisa dibiayai, atau dengan kata lain sampai Baitul Mal mempunyai dana untuk meng-cover-nya.
Ini adalah gambaran posisi pajak dalam postur “APBN” negara khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Semua pengaturan Islam berkaitan dengan pengelolaan harta oleh negara diterapkan secara paripurna dan tidak dipilih-pilih. Karena itu, jika negara ini ingin mendapatkan solusi untuk menyelesaikan persoalan ekonominya maka mengadopsi sistem keuangan negara khilafah adalah satu-satunya pilihan. Sebab tidak ada yang lebih baik selain system Islam.
Realita di lapangan sekalipun sistem ekonomi kapitalis saat ini diterapkan secara menyeluruh di dunia, tetapi tidak Nampak sama sekali adanya kesejahteraan dan keadilan bagi semua orang. Justru yang ada adalah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Yang kaya dengan mekanisme kapitalis kian gampang mengumpulkan harta, sedangkan yang miskin kian tercekik. Pajak yang dibebankan pada para pemilik modal faktanya bisa ditawar dan akhirnya keluarlah kebijakan tax amnesty bagi para pengemplang pajak. Akibatnya negara kian sulit mendapatkan harta. Akhirnya fasilitas umum dan kebutuhan pokok rakyatlah yang dikenakan pajak.
Apalagi postur APBN negara-negara yang mengadopsi sistem kapitalis ini memang menempatkan pajak sebagai pendapatan utama bagi negara. Negara tidak memiliki sumber pemasukan lainnya selain pajak dan utang luar negeri. Maka bisa dipastikan ketika posisi utang Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan, maka pajak adalah satu-satunya instrumen yang bisa dimainkan. Dan ketika para wajib pajak dari kalangan orang-orang kaya dan pemilik modal sulit untuk dipaksa membayar pajak, maka tidak ada jalan lain selain menekan rasa tega untuk memeras rakyat kecil.
Sungguh ini adalah sebuah konsep ekonomi yang penuh dengan ketidakadilan dan sama sekali tidak manusiawi. Hanya berorientasi pada kepentingan segelintir orang dan tidak peduli dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Jelas sudah bahwa sistem ekonomi model begini layak untuk ditinggalkan.
Pajak (Dharibah) Bukan Palak
Berbeda dengan sistem kapitalis, pajak dalam negara khilafah sekalipun menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu dan tidak dipukul rata. Jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan kebutuhan sekundernya sesuai dengan standar hidup di wilayah tersebut, maka dia menjadi wajib pajak. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.
Yang jelas, pajak (dharibah) dalam Islam, diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain karena Islam tidak memerintahkannya.
Demikian pula, negara khilafah tidak akan menetapkan biaya retribusi apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis dan dengan pelayanan terbaik. Negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.
Bandingkan dengan sistem kapitalis saat ini. Pajak berlaku hampir pada semua barang dan komoditas. Dan jika rencana pemerintah untuk membebankan pajak pada sektor pendidikan ini benar-benar dijalankan, maka jelas sudah tak ada lagi jasa tanpa pajak dan tanpa retribusi. Akibatnya sudah nampak nyata, kebutuhan hidup sehari-hari akan semakin tinggi dan biaya sekolah kian mahal. Rakyat akan dipaksa bayar pajak tanpa memperhatikan kebutuhan pokok dan sekundernya. Dengan kata lain negara berada dalam posisi memalak rakyat.
Dengan gambaran ini, maka Islam jelas mampu menjadi alternatif solusi bagi negara ini. Tentu saja itu akan bisa dilakukan jika negara ini mau mengambil syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupannya. Jadi, masihkah kita phobia dengan syariat Islam kaffah?
Oleh Kamilia Mustadjab
0 Komentar