Sebanyak 90 warga dari 96 pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Perumahan Griya Melati telah dinyatakan sembuh dan sudah kembali ke rumah masing-masing. Sementara enam pasien lainnya masih menjalani perawatan. Walikota Bogor Bima Arya bersama dinas terkait pun melakukan koordinasi lapangan sembari berkunjung ke rumah warga yang telah dinyatakan sehat. Banyaknya warga yang sembuh tentu akan ada penurunan status zona yang tidak lagi zona merah. “Kami akan berkoordinasi dengan kepolisian dan menetapkan status zona di Griya Melati seperti apa besok,” ucapnya (RadarBogor,06/06/2021)
Warga Perumahan Griya Melati Bubulak Bogor Barat yang terkonfirmasi 96 orang terinfeksi Covid-19, menjadikan daerah tersebut ditetapkan sebagai zona merah dan dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Hal ini menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa wabah Covid-19 masih terus membayangi negeri ini dan protokol kesehatan harus terus ditingkatkan untuk mengantisipasi bertambahnya korban.
Kasus KLB ini seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan untuk menangani wabah hanya berdasarkan pada asas untuk meraih manfaat ekonomi semata. Karena hal inilah yang justru menjadi penyebab penyebaran wabah terus terjadi tanpa bisa diantisipasi dan menyebabkan rakyat terus menjadi korban dari keganasan Covid-19.
Bahkan bisa dikatakan bahwa semua kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sejak kemunculan wabah mengalami kegagalan yang sangat fatal. Pasalnya, sudah setahun lebih negeri ini berada dalam cengkeraman wabah. Tidak satupun kebijakan yang dikeluarkan bisa mengatasi wabah. Justru yang terjadi malah sebaliknya, lahirnya permasalahan-permasalahan lain akibat kesalahan fatal pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan. Oleh karena itu, negeri ini perlu mencari solusi alternatif lain yang komprehensif agar bisa keluar dari kemelut wabah dan yang terpenting dapat menyelamatkan kehidupan dan jiwa rakyat.
Ada baiknya kita melihat bagaimana sejarah kegemilangan Islam yang terbukti telah berhasil mengatasi wabah yang kejadiannya sekian abad yang lalu, jauh sebelum kemunculan wabah Covid-19 melanda dunia. Seperti yang dipaparkan Nukhet Varlik dalam disertasinya,”Disease and Empire: A History of Plague Epidemic in the Early Modern Ottoman Empire (1453-1600), Kesultanan Utsmaniyah selama 64 tahun terus diterjang epidemi dengan jumlah korban jiwa yang tak sedikit. Wabah ini juga mengakibatkan lumpuhnya aktivitas ekonomi sehingga memberi dampak jangka panjang.
Para sultan berupaya mencurahkan perhatiannya pada aspek antisipasi dan penanangan kala wabah terjadi. Saat pandemi berlangsung, warga Utsmaniyah melakukan karantina diri untuk meminimalisir penyebaran penyakit dengan bertahan di rumah masingmasing atau semetara menyingkir ke perbukitan yang jauh dari keramaian kota. Mereka mengaplikasikan sabda Rasulullah saw yang berbunyi, ”Jika ada wabah di suatu kota, janganlah kalian masuk. Kalau kalian sedang ada di dalamnya, janganlah kalian lari keluar”.
Selain itu para sultan juga telah membuat berbagai fasilitas karantina, sebagai contoh Pulau Chios di lepas pantai Yunani pernah dijadikan lokasi karantina warga pelancong atau pedagang pada abad ke-16. Siapa pun yang terbukti baru datang dari kawasan yang terjangkit wabah mesti dikaratina di sana dengan durasi 20 hari. Tidak hanya menyediakan pulau yang diisolasi sebagai tempat karantina, khilafah Utsmaniyah juga mengembangkan pusat-pusat karantina yang dinamakan tahaffuzhanes, yang berfungsi sebagai tempat sementara untuk mengisolasi orang-orang yang diduga terpapar wabah. Bila memerlukan pertolongan medis, mereka dapat segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Para penguasa Utsmaniyah juga terus menggiatkan pembangunan rumah sakit, setidaknya sejak satu abad pasca penaklukan Konstantinopel (Istanbul) sedikitnya ada enam unit rumah sakit baru di ibukota Istanbul. Tata kota saat itu menunjukkan tiap rumah sakit yang berada di pinggiran kota, sebagai langkah antisipasi apabila penyakit yang sedang diidap oleh para pasien menulari kebanyakan warga yang sehat.
Lembaga-lembaga pendukung juga dibina oleh khilafah diantaranya Madrasah Kedokteran Suleymaniye, yang berfungsi antara lain sebagai sentra pendidikan kedokteran. Di sana pula para pakar medis dari berbagai wilayah datang untuk berdiskusi, meneliti dan mengobati masyarakat terlebih pada saat terjadi wabah.
Sejak abad ke-16 Utsmaniyah memiliki tata kelola yang cukup efektif dalam memerangi wabah. Sultan memimpin langsung penanganan epidemi dengan memanfaatkan birokrasi yang efisien. Begitu terkonfirmasi ada wabah di suatu daerah, petugas lokal langsung membuat laporan ke Istanbul. Pemerintah pusat kemudian memerintahkan mereka untuk sigap mengadakan karantina, menghimbau warga agar tetap di rumah, menyiapkan layanan media, serta menjaga kebersihan fasilitas publik. Selain itu, administrasi juga mencatat jumlah korban jiwa dan memastikan penguburan yang layak dan aman bagi pasien wabah yang wafat.
Salah satu bukti efektivitas sistem penanganan ini, ketika mendapat kabar wabah berkecamuk, Istanbul pun memerintahkan Gubernur Mesir untuk menutup sementara jalur transportasi dan meminta kepada para calon jemaah pada tahun itu untuk mengurungkan ibadah haji demi mencegah penyebaran wabah. Dan menindak tegas siapa saja yang berkeliaran di jalan pada saat wabah terjadi dan petugas mendata warga yang akan mendapat bantuan dari negara. Walaupun mereka melakukan karantina di dalam rumah atau di tempat lain, negara menjamin kebutuhan pokok mereka sehingga tidak ada satu pun warga yang mengalami kelaparan akibat wabah.
Gambaran di atas adalah kebijakan yang tepat untuk menangani wabah yang harus dilakukan oleh pemerintah, yaitu kebijakan yang berlandaskan syariat Islam bersumber dari Sang Maha Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Kebijakan ini menitikberatkan orientasinya pada keselamatan nyawa manusia yang sangat berharga dalam pandangan Islam. Rasulullah bersabda, ”Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah, dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa haq”. (HR. An Nasai dan Turmudzi)
Menyelamatkan nyawa rakyat sangatlah penting dan harus menjadi orientasi penguasa dalam menangani wabah. Dan penguasa yang bisa melakukan hal ini hanyalah sosok penguasa (khalifah) yang lahir dari sistem Islam (khilafah), bukan sistem yang lain. Karena khalifah memahami tupoksinya sebagai pengurus urusan umat yang menjadi amanah dan wewenang yang harus ditunaikan. Khalifah juga memahami konsekuensi yang akan didapatkan apabila tidak melaksanakan pengurusan umat sesuai dengan perintah Rabb-nya. Sosok penguasa bervisi akhirat seperti inilah yang saat ini dirindukan dan ditunggu-tunggu kehadirannya oleh umat, agar umat dapat melewati semua ujian seperti terjadinya wabah dengan penuh keimanan dan ketakwaan serta semakin mendekatkan diri pada Allah Swt. Karena bisa jadi wabah ini terjadi sebagai bentuk teguran dariNya, karena telah sekian lama (satu abad) kaum muslimin tidak menjadikan aturan Allah sebagai satu-satunya standar dalam semua aspek kehidupan. Wallahu a’lam. []
Oleh Siti Rima Sarinah (Studi Lingkar Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar