Dalam cuplikan pidatonya pada peringatan Hari Lahir Pancasila, Selasa (1/6/2021), Presiden Joko Widodo meminta semua pihak untuk waspada terkait terjadinya rivalitas antarideologi. Pada acara peringatan yang diselenggarakan secara virtual dari Istana Bogor tersebut, Joko Widodo juga mengingatkan tentang ancaman ekspansi ideologi transnasional radikal. Pesan dari Presiden RI tersebut kemudian diterjemahkan oleh Donny Gahral Adian, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden sebagai upaya menggelorakan spirit moderasi di Indonesia.
Donny Gahral Adian melanjutkan keterangannya melalui pesan singkat bahwa, munculnya ideologi transnasional radikal berpotensi memecah belah bangsa dan bisa membuat Indonesia ‘berumur pendek.’ Karenanya moderasi menjadi kunci penting untuk mengatasi hal ini. Radikalisme no, moderasi yes, tegasnya. Selanjutnya Donny menyatakan bahwa, ideologi transnasional radikal yang memecah belah bangsa tersebut adalah ideologi yang menghalalkan kekerasan dan menyebarkan ketakutan. Sedangkan sumbernya adalah mulai dari agama hingga kebudayaan. Menurutnya, contohnya adalah Ideologi Khilafah.
*Mengkritisi Ancaman Ideologi Transnasional Radikal*
Pernyataan Donny Gahral Adian ini menarik untuk dikritisi, karena banyak bias yang diungkapkan dalam pernyataannya tersebut. Misalnya, ancaman ekspansi ideologi transnasional radikal yang menurut presiden perlu diwaspadai, mengapa dihubungkan dengan keharusan menggelorakan spirit moderasi? Bukankah selama ini Indonesia telah menganut Ideologi Transnasional Kapitalisme walaupun tidak sampai taraf radikal? Kapitalisme adalah salah satu ideologi transnasional bukan? Hal ini karena ia lahir bukan dari rahim putera-puteri bumi pertiwi. Apakah ini berarti Ideologi Kapitalisme harus diwaspadai penyebarannya di Indonesia?
Lalu, apa hubungannya menangkal ideologi transnasional radikal dengan moderasi? Ini membingungkan. Moderasi menurut KBBI artinya adalah pengurangan kekerasan, atau bisa pula berarti penghindaran keekstreman. Sedangkan radikal artinya mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), atau bisa juga berarti maju dalam berpikir atau bertindak. Kata radikal tidak sama sekali menunjukkan arti yang mengandung unsur tindak kekerasan. Jadi mengapa moderasi disebut-sebut perlu diterapkan untuk menangkal radikal? Bukankah dua kata tersebut tidak berada dalam konteks yang bertentangan?
Kemudian, anggapan bahwa ideologi transnasional radikal berpotensi memecah belah bangsa, rasanya tepat sekali disematkan pada Ideologi kapitalisme. Kebebasan berpikir, berpendapat, dan bertindak yang diagung-agungkan dalam Kapitalisme sangat berpeluang melahirkan konflik antar anak bangsa.
Sedangkan penyebab yang paling memungkinkan sehingga Indonesia bisa ‘berumur pendek,’ adalah ideologi yang dianut negara ini, dan pengusung ideologi tersebut. Ideologi Kapitalisme yang kini cenderung ke kiri yang diterapkan di Indonesia telah menguras kekayaan alam negara ini dan menyerahkannya kepada negara asing. Sementara itu, pintu gerbang untuk menguras sumber daya alam negara ini selalu dibuka lebar oleh pemerintah Indonesia sendiri untuk negara asing.
Pendapat selanjutnya yang menyatakan bahwa ideologi yang memecah belah bangsa adalah ideologi yang menghalalkan kekerasan dan menyebarkan ketakutan, rasanya sangat tepat ditudingkan pada Ideologi Komunisme. Komunisme yang menafikan keberadaan Tuhan sebagai Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan tentu tidak mengenal konsep halal haram. Hal itu memungkinkan apapun menjadi boleh untuk dilakukan asalkan tujuan yang diinginkan bisa tercapai, termasuk cara-cara kekerasan. Sedangkan pemaksaan kehendak oleh penguasa Komunis melalui pemerintahan yang berkarakter otoriter (tangan besi) sangat tepat untuk melahirkan ketakutan bagi rakyat.
Pernyataan Donny Gahral Adian yang menyatakan bahwa sumber ideologi radikal adalah agama dan kebudayaan, sangat kuat tercium aroma tendensinya menunjuk kepada agama Islam. Hal ini jelas, karena agama selain Islam tidak memiliki peraturan hidup sebagaimana dalam Islam. Agama selain Islam, hanya mengatur masalah peribadatan kepada Tuhannya masing-masing. Sedangkan untuk peraturan hidup, agama selain Islam mengambil dari Ideologi Kapitalisme. Sedangkan kebudayaan, semuanya hanya bermain pada tataran individu dan kelompok, tidak berkiprah sampai ke tataran politik negara.
Alhasil, jika digarisbawahi, pernyataan Joko Widodo dan Donny Gahral Adian sangat mencolok menuding kepada Islam. Ideologi transnasional radikal yang mereka maksud adalah Ideologi Islam, sedangkan upaya moderasi digaungkan juga untuk melawan Ideologi Islam. Walaupun Joko Widodo dan Donny tidak secara langsung menyatakan tudingan tersebut, tetapi dapat terbaca jelas maksud mereka. Karenanya, mereka mengingatkan masyarakat untuk berpikir kritis terhadap Ideologi Islam, yang menurut mereka disebarkan oleh para demagog melalui koneksivitas 5G saat ini.
*Rivalitas Antarideologi*
Pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya memantau rivalitas antarideologi. Sikap ini sesungguhnya sangat kentara menunjukkan ketakutan mereka terhadap dipahaminya Ideologi Islam oleh masyarakat baik Muslim maupun Non Muslim. Maka tak heran, jika saat ini semakin banyak dipublikasikan pernyataan-pernyataan terkait semangat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Namun anehnya, seiring dengan menaikan jargon menjaga persatuan dan kesatuan, mereka senantiasa mengobok-obok Ajaran Islam sehingga umat Islam menjadi marah. Pemerintah juga membentur-benturkan antar kelompok-kelompok Islam, dengan politik belah bambu. Maka tak ayal, yang dilakukan pemerintah tersebut justru melahirkan perpecahan, bukan persatuan.
Jika pemerintah mau bersikap adil, maka seharusnya mereka membiarkan rakyatnya berpikir jernih untuk membandingkan kebenaran antar ideologi yang ada. Biarkan rakyat menilai mana ideologi yang paling mumpuni dalam mengatur kehidupan, antara Ideologi Islam, Ideologi Kapitalisme, dan Ideologi Komunisme.
Jangan pula pemerintah menyatakan hal-hal yang diharapkan bisa diterima oleh rakyatnya, padahal sesungguhnya hanya kalimat pemanis bibir belaka. Misalnya seperti pernyataan Wakil Presiden Ma’ruf Amin melalui akun Instagram resminya (1/6/2021), bahwa Pancasila hadir untuk menjadi titik temu, kalimatun sawa dari segala perbedaan suku bangsa, agama, dan kepercayaan di Indonesia. Tidakkah Ma’ruf Amin bercermin, bahwa pelanggar terbesar Pancasila adalah pihak pemerintah sendiri? Mereka menjadi antek asing untuk menguasai politik dan perekonomian Indonesia adalah fakta yang tak terbantahkan dari pelanggaran mereka terhadap Pancasila yang mereka agung-agungkan.
Sedangkan sebagian rakyat dan kaum cendekia yang masih berupaya memegang teguh idealisme Pancasila, mereka hanya menjadi korban dari kalimat pemanis bibir yang digaung-gaungkan oleh pemerintah. Pada akhirnya rakyat harus terbangun dari mimpi-mimpi indahnya, dan siap menghadapi kenyataan pahit.
*Khilafah Bukan Ideologi*
Banyak tokoh dari kalangan elit politik negeri ini yang tidak juga mengerti atau bisa jadi pura-pura tidak mengerti, bahwa Khilafah bukan sebuah ideologi. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam tentang politik dan pemerintahan negara. Khilafah bersumber dari ajaran Islam yang dipeluk oleh para pemimpin dan mayoritas rakyat Indonesia sendiri. Khilafah berasal dari tuntunan Nabi Muhammad SAW ketika beliau memerintah sebagai kepala negara di Madinah. Sedangkan Allah berfirman bahwa, apa saja yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu, maka terimalah (penggalan Surah Al-Hasyr ayat 7).
Khilafah adalah metode bernegara yang diridai oleh Allah untuk ditegakkan, karena Allah rida ketika Rasulullah memimpin negara dengan sistem Islam. Namun mengapa di zaman ini Kekhilafahan sebagai sistem bernegara dianggap tidak benar lagi untuk ditegakkan? Sedangkan Ajaran Islam sejak masa Rasulullah hingga Hari Kiamat tidak ada perubahan, tetap sama kebenarannya. “Telah sempurna kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Quran Surah Al-An’am ayat 115).
Sistem Khilafah juga meniscayakan peraturan hidup dan hukum-hukum Islam yang selama ini hanya bisa dibaca di Al-Quran jadi dapat ditegakkan. Perekonomian yang bebas riba, perpolitikan yang bebas intervensi negara penjajah, sistem pendidikan yang tidak dicampuri banyak pihak yang punya kepentingan bisnis, adalah beberapa contoh saja. Masih banyak lagi kebaikan dan keberkahan dari penerapan sistem Islam yang bisa didapat oleh manusia, tak peduli ia beriman maupun kafir sekalipun. []
Oleh Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah Politik
0 Komentar