Menjelang Pilpres 2024, Covid-19 dibajak politik. Covid-19 menjadi alat politik untuk menjatuhkan rival kekuasaan. Salah satu bukti yang paling mudah terindikasi masyarakat adalah tingginya sentimen dan subyektivitas dalam hal penanganan pandemi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya di DKI Jakarta.
Pemerintah Pusat memberi penilaian tergesa-gesa dan politis terkait penanganan Covid-19 di Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari dua peristiwa yang saling bertolak belakang antara satu dengan lainnya di antara Menteri dan Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Pertama, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan jebloknya rapor DKI Jakarta dalam Penilaian Kualitas Penanganan Pandemi Covid-19. DKI Jakarta menjadi satu-satunya provinsi dengan nilai penanganan pandemi yang mendapat rapor merah atau nilai E. Kementerian Kesehatan menilai penanggulangan COVID-19 Ibu Kota paling buruk dari provinsi lain. Hal ini diungkapkannya pada rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Kamis, 27/5/2021. (voi.id, 28 Mei 2021).
Nilai E itu berdasar pada tingkatan laju penularan dan tingkat kapasitas respon layanan kesehatan di Pemprof DKI Jakarta yang rendah. Bed occupation rate/BOR (keterisian tempat tidur) sudah mulai meningkat. Di sisi lain, transmisi atau penularan kasus secara lokal memasuki level 4. Artinya ada 150 kasus terkonfirmasi per 100 ribu penduduk yang dilaporkan setiap pekan. Sementara itu, kapasitas respons terhadap penerapan 3T (testing, tracing, treatment) ketika ditemukan adanya kasus terkonfirmasi Covid-19 dinilai masih terbatas.
Bertolak belakang dari Kementerian Kesehatan, orang nomor satu di Pemprov DKI Jakarta, yakni Anies Baswedan pernah berujar bahwa kondisi COVID-19 di Jakarta per tanggal 14 Mei termasuk terkendali. Tingkat penyebaran Covid-19 di DKI terbilang terendah secara nasional pada triwulan kedua tahun 2021.
"Saat ini di Jakarta, kita secara umum situasinya termasuk yang paling rendah. Misalnya bed occupation rate/BOR (keterisian tempat tidur) di Wisma Atlet itu sekitar 20 persen, kemudian tingkat isolasi kita antara 24-28 persen. Itu artinya termasuk yang rendah selama satu tahun ini," tutur Anies. (Jakarta.suara.com, 27/5/2021).
Kedua, berita mengejutkan datang dari Menteri Kesehatan selang satu hari setelah laporan Wakilnya. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meminta maaf terkait informasi Kementerian Kesehatan yang memberikan penilaian penanganan Covid-19 untuk Pemprov DKI Jakarta dengan nilai E. Pasalnya, nilai E itu diperoleh dari indikator risiko yang tidak semestinya menjadi penilaian kinerja. Terlebih, DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi dengan kinerja penanganan Covid-19 terbaik di Indonesia. Ia selanjutnya meminta masyarakat Indonesia tidak lagi meributkan hal tersebut dan fokus bekerja sama menuntaskan pandemi yang sedang melanda. (megapolitan.kompas.com, 28/5/2021).
Keberadaan Covid-19 bagi masyarakat sudah sangat meresahkan. Ditambah dengan gaya komunikasi yang ambigu antara Menteri dan Wakilnya di atas, serta ketidakkompakan antara pemerintah pusat dan daerah memperjelas posisi rakyat seperti diabaikan. Pemerintah pusat terlihat panik dengan gaya kepemimpinan daerah dalam menangani pandemi Covid-19, sehingga data penting mengenai Covid-19 diumumkan dengan penuh kontradiksi. Hal paling mencolok yang terindera adalah makin meningkatnya eskalasi rivalitas pemerintah pusat dan daerah menjelang Pilpres 2024.
Tak hanya sekali ini. Ketegangan Pusat dan Daerah sebelumnya pernah terjadi pada Desember 2020. Di satu pihak, Pemprov DKI injak rem darurat disebabkan angka positif harian Covid-19 cukup mengkhawatirkan. Bersebrangan dengan itu, Pusat justru tancap gas demi pemulihan ekonomi. (tribunnews.com, 19/12/2020). Sangat terlihat inkonsistensi keputusan sebelumnya dengan saat ini.
Upaya tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah (spanning of interest) sesunggunya sudah dikenal lama dalam dunia demokrasi. Terlebih dalam negara kesatuan seperti Indonesia ini, upaya pemerintah pusat untuk memegang kendali urusan daerah sudah sangat jelas terlihat. Budaya politik Indonesia yang masih paternalisme dan patrimonial dimana fenomena bapakisme atau pemahaman asal bapak senang semakin terlihat. Wajar jika inkonsistensi kebijakan terus menerus dipertontonkan.
Kesehatan merupakan hak yang melekat pada diri masyarakat dan merupakan tanggung jawab negara dalam mewujudkannya. Masyarakat berhak keluar dari pandemi secara fisik sekaligus keluar dari dampak sosialnya: pekerjaan kembali seperti sedia kala, relasi persaudaraan dan pertemanan kembali terjalin. Tapi, melihat fakta di lapangan, mau dibawa kemana nasib rakyat sekarang dikala kepentingan yang diurusi hanya untuk diri dan golongan?
Sesungguhnya Islam memberikan cahaya solusi atas gelapnya masa depan dan harapan masyarakat. Dalam Islam, pemimpin diberikan ancaman yang keras jika lalai mengurus rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا مِنْ أَمْيرٍ عَشَرَةٍ إِلَّا وَهُوَ يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْلُولًا حَتَّى يَفُكَّهُ العَدْلُ أَوْ يُوْبِقَهُ الجورِ.
“Tidaklah seorang lelaki memimpin sepuluh orang, kecuali ia akan didatangkan dalam keadaan tangan yang terbelenggu pada hari Kiamat. Kebaikan yang ia lakukan akan melepaskannya dari ikatan, atau dosanya akan membuat dirinya celaka.” (HR. Baihaqi)
Baginda ﷺ juga mendoakan mereka yang menyulitkan masyarakat. Beliau ﷺ berdoa:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
“Ya Allah, bagi siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan kepadanya.” (HR. Muslim)
Adapun standar kebaikan dan keburukan, kesulitan juga kemudahan, semuanya menggunakan aturan Islam sebagai standarnya. Maka, penguasa dan rakyat hendaknya menggunakan aturan Islam saja dalam menjalani segala proses kehidupannya. Mulai dari kehidupan berkeluarga, bertetangga, hingga bernegara.
Dalam rangka takut kepada kekuasaan Allah ﷻ, seorang pemimpin dalam Islam juga tak akan berani berbohong kepada rakyatnya. Sebab, kebohongan itu sendiri merupakan kemaksiatan di hadapan Allah ﷻ. Berbeda secara diametral dengan rezim saat ini. Sejak April 2020, data Covid-19 saja rezim dengan sengaja tidak membuka data corona dengan alasan menghindari kepanikan. Doni Monardo yang saat itu menjadi kepala BNPB marah karena ada perbedaan data antara Gugus Tugas dan Kementerian Kesehatan. (majalah.tempo.co, 18/4/2020).
Dalam Islam, lockdown untuk menghilangkan pandemi tak akan terasa berat, sebab sudah menjadi ketetapan syariat Islam. Penguasa pun tak akan beda kepentingan, sebab mereka berdiri memimpin rakyat atas dasar ketundukan kepada Rabb-nya untuk mencari rida-Nya. Suasana seperti ini akan mampu diwujudkan oleh khilafah Islamiyah yang sebentar lagi akan tegak.
Wallahu a’lam bi as shawab.
Oleh Annisa Al Munawwarah
(Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi)
0 Komentar