Pengusaha Ngemplang Pajak, Rakyat Dipalak Pajak



Pemerintah berencana menggelar pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II pada tahun depan. Pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-undang.


Rencana kebijakan tax amnesty II muncul karena pemerintah membutuhkan banyak dana untuk menjalankan program pemulihan ekonomi nasional. Sementara di sisi lain, opsi penarikan utang mulai dikurangi secara perlahan. 


Wacana tax amnesti mencuat di antara upaya pemerintah untuk mendorong optimalisasi penerimaan perpajakan pada 2022 mendatang. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam rapat paripurna DPR RI mengungkapkan langkah-langkah optimalisasi itu. 


Langkah pertama adalah menggali potensi perpajakan melalui kegiatan pengawasan dan pemetaan kepatuhan yang berbasis risiko.


Kedua, pemerintah akan memperluas basis perpajakan melalui perluasan objek dan ekstensifikasi berbasis kewilayahan.


Ketiga, pemerintah akan menyesuaikan regulasi perpajakan yang sejalan dengan struktur ekonomi dan karakteristik sektor perekonomian. Untuk kepentingan ini, pemerintah dan DPR akan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). RUU tersebut sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun ini. 


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memerinci sejumlah perubahan dalam RUU tentang Perpajakan ini. Ia menuturkan ada rencana perubahan tarif sejumlah jenis pajak meliputi, tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang jasa  dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). (cnnindonesia.com,31/05/2021)


Selama ini, perubahan tarif selalu bermakna kenaikan tarif pajak. Tampaknya, rakyat harus bersiap lebih menguatkan pundak untuk memikul kenaikan harga barang dan jasa sebagai imbas kebijakan ini. Ironis, pemerintah getol memunguti pajak receh dari rakyat, sementara potensi pajak trilyunan dari pengusaha justru diberi pengampunan.


Tujuan tax amnesty jilid II untuk mendorong kapatuhan wajib pajak dan meningkatkan rasio pajak tampaknya sulit terwujud. Contohnya, tax amnesty jilid I yang berlangsung pada 2016-2017 tidak mampu merubah banyak. Tax amnesty jilid I memang berhasil mencatat deklarasi aset 972.530 wajib pajak senilai Rp 4.719 triliun dari target Rp 4.000 triliun. Rinciannya, pelaporan harta dari dalam negeri sebesar Rp 3.687 triliun, sementara dari luar negeri Rp 1.032 triliun hingga 31 Maret 2017. Namun dari target Rp 1.000 triliun dana repatriasi atau pengembalian dari luar negeri, pemerintah hanya mampu menarik Rp 147 triliun.


Tak hanya itu, tax amnesty juga tak efektif menaikkan rasio pajak. Berdasarkan data Ditjen Pajak, rasio pajak pada 2017 sebesar 9,89% lebih rendah 0,47% dibandingkan 2016. Angkanya kemudian naik menjadi 10,24% pada 2018 tapi kembali menurun menjadi 9,76% dan 8,94% pada 2019 dan 2020. Sementara itu, Sri Mulyani menargetkan pada tax amnesty jilid II , rasio penerimaan perpajakan pada tahun 2022 akan mencapai 8,37-8,42% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut setara dengan Rp 1.499,3-1.528,7 triliun. (katadata.co.id,31/05/2021)


Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai rencana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II akan menimbulkan dampak yang negatif terhadap ekonomi Indonesia. Menurutnya, tax amnesty hanya menciptakan ketimpangan antara orang kaya dan miskin. Sebaiknya pemerintah mencari solusi lain untuk menaikkan penerimaan negara.


Bima menjelaskan, faktanya selama pandemi Covid-19 sudah banyak kebijakan yang pro terhadap korporasi, seperti penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen bertahap hingga 2022 sampai diskon PPnbm mobil. Sedangkan, bagi masyarakat umum dinaikkan pajak PPN-nya. (republika.co.id,24/05/2021)


Penolakan juga datang dari Ekonom senior Faisal Basri. Dia mengkritik keras atas adanya tax amnesty jilid II yang dianggap hanya akan menciptakan moral hazard. "Saya setuju tax amnesty ini menciptakan moral hazard. Artinya, ya sudahlah saya nyolong pajak terus, nanti 5 tahun lagi ada tax amnesty lagi. Jadi menurut saya sangat buruk,"  ujarnya.


Faisal Basri menegaskan harusnya pemerintah menegakkan aturan, memburu pembayar pajak yang tidak benar dan tidak ikut tax amnesty dan menerapkan denda 100- 200%, Ia menduga orang-orang itu adalah orang-orang kuat yang berada dalam lingkaran terdekat Presiden Joko Widodo (Jokowi), bisa jadi politikus maupun pengusaha. Sehingga sulit bagi petugas pajak untuk mengejar hak negara. (cnbcIndonesia, 26/05/2021)


Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai pelaksanaan tax amnesty jilid II tidak akan efektif. Pasalnya, pelaksanaan amnesti pajak 2016-2017 memuat ancaman hukum bagi mereka yang tidak mengikuti program tersebut dan terbukti menggelapkan pajak. Namun faktanya  pemerintah tidak  menegakkan hukum secara tegas atas implementasi tax amnesty pada 2016.


Hal ini, menurut dia, akan membuat pemerintah berlaku tidak adil bagi mereka yang patuh pajak.  "Kredibilitas pemerintah jadi taruhannya. Mereka yang tidak mengikuti tax amnesty dan terbukti melanggar pajak harus diproses lebih lanjut, bukan diberikan tax amnesty lanjutan," ujar Piter. (katadata.co.id,31/05/2021)


Di lain sisi, rencana tax amnesty ini disambut baik oleh banyak pihak. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan banyak pengusaha nasional yang menyesel tidak ikut program tax amnesty jilid pertama. Pengusaha berharap adanya program tax amnesty jilid II. Rosan mengatakan, salah satu alasan para pengusaha ingin ikut kembali tax amnesty jilid II karena ingin pengelolaan pajaknya lebih transparan, sehingga hidupnya bisa lebih tenang.( detikfinance.com, 19/05/2021)


Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H Maming menilai, hal ini akan mencegah shortfall ( realisasi penerimaan pajak lebih rendah ) penerimaan pajak pada tahun ini. "Kami dari anggota HIPMI akan mendorong pendapatan negara dari sektor perpajakan. Kami siap bersinergi dengan asosiasi dunia usaha untuk mendukung rencana pemerintah meluncurkan tax amnesty jilid II," kata Mardani.(republika.co.id, 24/95/2021)


Praktisi Perpajakan, Ronsianus B Daur menilai, bahwa pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II yang dicanangkan oleh pemerintah memberi manfaat besar bagi bangsa Indonesia. Beberapa keuntungan di antaranya dari sisi penerimaan uang tebusan, pengadministrasian data pajak, kepatuhan wajib pajak serta pelacakan terhadap shadow economy. (merdeka.com,21/05/2021)


Sumber pendapatan negara dalam sistem ekonomi kapitalistik hanya berasal dari katup perpajakan dan utang luar negeri. Tidak ada alternatif lain. Sedemikian banyak sumber daya alam yang dimilikipun, negara hanya mendapatkan penghasilan dari setoran pajak pengelolanya, bukan keuntungan karena kepemilikannya. Karena pada dasarnya, kepemilikan sumber daya alam itu telah beralih kepada swasta baik asing maupun dalam negeri. 


Berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Khilafah memiliki banyak sumber pemasukan kas negara. Di antaranya anfal, ghanimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum, harta milik negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum, dan pendapatannya, harta ‘usyur, harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang tidak diijinkan syara’, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya, khumus barang temuan dan barang tambang, harta yang tidak ada ahli warisnya, harta orang orang murtad dan  harta zakat. Pajak hanya dikenakan kepada orang kaya dan kondisi kas negara benar-benar kosong. []


Wa Allahu a’lam bi ash showab.


Oleh D. Shalindri


Posting Komentar

0 Komentar