Seakan ada petir di siang bolong, Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI menyampaikan bahwa pelaksanaan ibadah haji 1442 Hijriah/2021 Masehi dibatalkan. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring pada Kamis.(kompas.com, 3/6/2021).
Ada 6 alasan yang diajukan oleh Pemerintah terkait pembatalan haji kali ini seperti yang dilansir kompas.com, 4/6/2021. Pertama, Faktor kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah haji yang terancam akibat pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi, sementara Kerajaan Arab Saudi hingga kini belum mengundang pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021. Padahal Indonesia butuh waktu untuk mengurusi persiapan layanan haji tersebut.
Kedua, Bukan karena utang. Menteri agama menyampaikan Indonesia tidak punya utang tagihan apapun, hal yang sama juga ditegaskan oleh Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto. Ketiga, Dana haji bisa diambil, menteri agama Yaqut mengatakan jemaah yang batal berangkat tahun 2021 akan menjadi jemaah haji tahun 1443 Hijriah atau 2022 Masehi. Akan tetapi ia menyampaikan pemerintah tidak keberatan jika para Jemaah ingin mengambil kembali dana haji yang sudah disetorkan ke pemerintah.
Keempat, 11 Negara yang masuk Arab Saudi bukan untuk haji. Konsul Haji dan Umroh Konsulat Jenderal RI di Jeddah, Arab Saudi, Endang Jumali juga memastikan bahwa hingga saat ini belum ada negara di dunia yang mendapat kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi. Kelima, Bukan karena vaksin karena pihak otoritas Arab Saudi belum mengeluarkan peraturan apapun terkait penyelenggaraan haji tahun ini. Keenam, Jadwal antrean keberangkatan haji, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Haji dan Umrah Kemenag, Khoirizi mengatakan untuk jemaah yang batal berangkat, maka jadwal keberangkatan akan bergeser di tahun berikutnya.
Namun, keputusan ini tetap memberikan pukulan berat terhadap pengusaha travel haji dan umrah. Termasuk kekecewaan dan kesedihan jamaah yang sudah menunggu lama, ternyata harus batal berangkat. Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi mengatakan, selain berdampak pada daftar tunggu calon jemaah yang berangkat, kesempatan tiap travel untuk mendapatkan pemasukan sebesar Rp 5 miliar pun lenyap. (tempo.co, 6/6/2021).
Banyak pihak mempertanyakan komitmen pemerintah terkait pembatalan ini, Anggota Komisi VIII DPR, Bukhori Yusuf, menyesalkan pengumuman pemerintah yang kembali membatalkan pemberangkatan haji tahun 2021. Dia menilai keputusan itu terkesan terburu-buru karena belum ada pemberitahuan Arab Saudi menolak jemaah dari Indonesia. Bukhori menilai pemerintah tidak mengupayakan secara serius terkait keberangkatan haji jemaah Indonesia. Menurutnya, bisa saja Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya berkomunikasi langsung atau melobi Raja Arab Saudi Salman Bin Abdulaziz Al Saud, termasuk dia juga meminta pemerintah untuk secara transparan menjelaskan sejauh apa upaya diplomasi haji yang telah dilakukan. Menurutnya, hal ini penting dilakukan pemerintah sebagai wujud pertanggungjawaban publik.(detikNews, 4/6/2021).
Haji adalah rukun Islam yang kelima, umat Islam di Indonesia atau Nusantara telah melakukan ibadah ini ratusan tahun lamanya. Sejarah haji Nusantara dimulai ada awal abad 16, saat itu hubungan antara Nusantara dengan Arab memasuki babak baru. Hal tersebut ditandai dengan semakin maraknya pedagang sekaligus ulama Nusantara yang ikut serta dalam pelayaran ke Asia Barat. Pada tahun 1526 armada dari Nusantara, khususnya dari Aceh, memulai pelayarannya ke Jeddah untuk berdagang. Mereka banyak yang menetap di Haramain sembari menuntut ilmu agama. Disebutkan dalam buku "Historiografi Haji Indonesia" karya Shaleh Patuhena, pada tahun 1556 telah ada lima kapal besar Aceh yang berlabuh di Jeddah. Ulama Aceh yang berdatangan ke tanah Arab itu selain menimba ilmu ternyata juga manfaatkan waktunya untuk berhaji.
Selama mencari pengetahuan bersama ulama-ulama besar di Arab ternyata di saat yang sama bangsa Eropa mulai melakukan pelayarannya ke Nusantara. Mereka ingin mencari harapan baru setelah pusat perdagangan di Konstantinopel, Turki ditutup. Kedatangan mereka menjadi masalah karena selama mereka ingin berkuasa di Nusantara juga ingin menyingkirkan Islam. Namun di tengah hambatan itu, masyarakat Nusantara yang ingin ke Makkah tetap secara sporadis bisa bergantian untuk belajar di Arab sekaligus menunaikan ibadah haji. Menurut catatan Louis Barthema, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati juga pergi ke Makkah setelah kota kelahirannya, Pasai, ditaklukkan Portugis pada tahun 1521. Ia di sana selama tiga tahun. Selain berhaji, saat itu Sunan Gunung Jati juga tampil sebagai diplomat untuk meminta bantuan Turki Utsmani agar mengusir Portugis di Pasai.
Selepas menimba ilmu di Makkah dan Madinah, para ulama sekaligus pedagang tersebut kemudian memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Masyarakat Nusantara pun diberikan ilmu soal ibadah haji. Kala itu pemahaman masyarakat tentang Islam masih minim. Singkat cerita, beberapa pusat pemerintahan di Nusantara dari Jawa hingga Ternate dijadikan para ulama sebagai pelabuhan embarkasi haji pada kuartal akhir abad ke-17. Hal ini membuat kesempatan mereka yang ingin pergi ke Makkah untuk berlayar ke Jeddah menjadi lebih terbuka.(detikNews.com, 9/8/2016).
Peneliti asal Belanda, Martin van Bruinessen, dalam artikelnya Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji mengatakan, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah orang Nusantara yang berhaji berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh jamaah haji. Malah pada dasawarsa 1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia, karena ada yang menetap di Haramain sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Mekah, setelah bahasa Arab. Orang Nusantara untuk berhaji memerlukan waktu yang lama dan perjalanan laut yang membahayakan.
Sebelum ada kapal api, perjalanan haji tentu saja harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat tergantung kepada musim, ada juga yang naik kapal dagang, perjalanan itu ditempuh setengah tahun perjalanan, tidak jarang bahaya mengancam misal perahu atau kapal mereka tenggelam, terdampar di pulau terpencil dan asing, ada juga mereka yang semua harta bendanya dirampok oleh perompak di laut, bahkan ada yang terkenai wabah penyakit selama di perjalanan. Jika mereka sudah sampai di Makkah tak jarang mereka harus menghadapi perampok dari suku Badui. Perjalanan yang cukup memberatkan kala itu.
Perjalanan haji juga pernah mengalami penurunan keberangkatan ketika perang kemerdekaan berlangsung, karena kondisi bangsa Indonesia yang sangat sulit. Tapi itu tidak lama, semangat berhaji bangkit lagi setelah kemerdekaan Indonesia bahkan jumlahnya membludak, pada tahun 1952. Padahal mereka masih naik kapal laut, meskipun mulai saat itulah awal jamaah haji menggunakan pesawat terbang, hanya biayanya dua kali lipat dari kapal laut, ongkos kapal laut Rp7.500 sementara pesawat terbang Rp16.691.(Kabar24.Bisnis.com, 18/8/2020).
Dorongan keimanan dan upaya menerapi rukun Islam yang kelima menjadi motivasi yang luar biasa bagi umat Islam, sebagaimana Allah Swt. berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran [03]: 97). Dalam surat al-Hajj [22]: 27 Allah menyatakan: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka..” Ibn Abbas menjelaskan makna, liyasyhadu manafi’ lahum (supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka) adalah manfaat dunia dan akhirat. Manfaat di akhirat berupa pahala dan keridhaan Allah SWT, sementara manfaat di dunia berupa pelaksanan kurban dan keuntungan dalam perdagangan (Ibn Katsir, Tafsir Alquran al-‘Adzim, Juz V/365).
Apalagi Indonesia adalah negara yang penduduk muslim terbesar di dunia, seharusnya regulasi yang dikeluarkan negara akan lebih mudah dilakukan, lobby-lobby akan terus digalakkan dengan persyaratan tertentu terkait pandemi juga akan diusahakan semaksimal mungkin, seharusnya dijadikan hajatan tahunan yang diadakan negara, karena ini erat kaitannya sebagai tugas negara sebagai pengurust rakyatnya, mempermudah muslim mayoritas negeri ini untuk beribadah di tanah suci sebagai perintah agama, maka dalam pelaksanaan nya perlu peran strategis negara karena negara adalah sebagai penanggung jawab dan pengurus bagi rakyatnya, Rasulullah bersabda: Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).
Pada masa Islam menuai kejayaannya sejarah gemilang telah dicatat oleh para Khalifah kaum muslimin terkait penyelenggaraan ibadah haji, diantaranya: Membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah. Karena ini terkait dengan masalah administrasi, maka urusan tersebut bisa didesentralisasikan, sehingga memudahkan calon jamaah haji dan umrah, memberikan kemudahan terkait akses transportasi darat, laut dan udara termasuk pengurusannya sewaktu ditanah suci sampe pulang kembali ke tanah air, Pada masa Khilafah Abbasiyah, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah—Madinah). Negara juga menyediakan logistik dan dana zakat bagi jemaah yang kehabisan bekal. Hal itu kemudian dilanjutkan pada masa Khalifah Sultan Abdul Hamid II, pernah dibangun sarana transportasi massal dari Istanbul hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Tidak ada visa haji pada masa Khilafah, sehingga seluruh jemaah haji dari berbagai negeri muslim dalam wilayah pemerintahan Islam bisa keluar masuk Makkah-Madinah dengan mudah tanpa visa. (Kuliahpemikiran.wordpress.com,9/11/2012). Demikian penting tanggung jawab negara untuk memberi kemudahan demi kemudahan yang bisa dirasakan umat di negeri mayoritas muslim ini demi optimalisasi ibadah di hadapan Allah SWT.wallahu a'lam Bi asshawwab.
0 Komentar