PPN Pendidikan? Harap Maklum!



Kaget. Begitu reaksi kitam mendengar rencana pemerintah menaikkan PPN perdagangan sembako dan jasa pendidikan. Nampaknya rezim ini memang suka membuat kejutan dalam hal kebijakan. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen. Tak hanya itu, pemerintah juga akan mengenakan PPN terhadap sembako hingga sekolah.

Rakyat sudah sempoyongan digebuk pandemi yang tidak ada tanda-tanda akan cepat surut,belum lagi impotensi ekonomi yang membuat daya beli masyarakat lesu. Wajar saja jika wacana tersebut menuai badai kritik. Rezim dianggap tidak peka dan semena-mena. Kebijakan yang dibuat dianggap membabi buta.

Meski Kemenkeu melalui stafsusnya, Yustinus Prastowo menegaskan tidak akan ada penarikan PPN dalam waktu dekat."Kebijakan PPN tidak akan terjadi saat masa pandemi Covid-19. Untuk saat ini, pemerintah sedang fokus untuk memulihkan perekonomian nasional akibat pandemi." (WartaEkonomi,13/6/2021). 

Sekalipun ditunda,kebijakan ini sangatlah tidak tepat diberlakukan, sebabnya antara lain.

Pertama,rencana mengenakan PPN dalam ranah pendidikan sangatlah kontradiktif dengan cita-cita mencerdaskan anak bangsa. Bila diberlakukan,maka biaya pendidikan akan semakin tinggi dan mengancan upaya Indonesia untuk memajukan sumber daya manusianya. Mungkin sasarannya sekolah swasta. Tapi patut diingat,tidak semua sekolah swasta untuk kalangan mampu. Banyak kalangan menengah kebawah yang memasukkan anaknya ke sekolah swasta terjangkau dengan harapan mendapat pendidikan yang lebih baik. Bahkan banyak yang memasukkan ke sekolah swasta terjangkau karena keterbatasan kuota atau akses ke sekolah negeri.

Kedua,masih banyak PR yang belum selesai dalam sistem pendidikan di Indonesia. Akses maupun mutu pendidikan masih belum merata. Fasilitas pendidikan seperti internet di tengah sistem belajar daring masih menjadi barang mahal untuk dijangkau. Ditambah lagi dengan jumlah siswa yang putus sekolah. Hal ini diperparah dengan penurunan kemampuan belajar sebagai  dampak dari learning loss akibat pandemi. Maka, pengenaan pajak PPN jika diberlakukan akan semakin mempersempit akses kepada pendidikan, terutama bagi masyarakat kalangan bawah. 

Ketiga, banyak sekolah  terutama sekolah swasta berbiaya rendah, sulit untuk bertahan karena sekolah maupun gurunya sangat bergantung kepada pendapatan orang tua murid. Pandemi membuat keuangan orang tua siswa pun ikut terguncang. Di sisi lain, sekolah negeri terutama di pelosok pun juga masih kekurangan guru.

Keempat, polemik PPN pendidikan justru menambah distrust tinggi kepada berbagai kebijakan. Distrust ini terjadi sebab banyak kebijakan yang tidak konsisten, sensitif, dan kontroversial. Misalnya saja terkait dengan pelemahan KPK, rencana impor beras, pembatalan haji, pemindahan ibu kota, dan banyak lagi.

Jika kita tilik lebih dalam, permasalahan demi permasalahan yang diurai di atas lahir dari sistem kapitalisme yang diusung negeri ini. Dalam     ekonomi kapitalisme, pajak memang menjadi tumpuan fiskal negara. Sehingga menjadi maklum adanya,ketika kapitalisme telah mewabah, berbagai lini yang dapat meraup profit pasti dijadikan komoditi. Pendidikan di bawah cengkeraman kapitalis tak luput dari orientasi bisnis. Akibatnya bisa ditebak. Kesenjangan antara kaya dan miskin bagai jurang yang menganga lebar. Pupus harapan  untuk mencerdaskan anak bangsa. Pendidikan secara adil, merata, dan nondiskriminatif ibarat mimpi di negeri dongeng. Mustahil terwujud! 

Kondisi yang demikian tentu tak akan terjadi jika sistem Islam secara kaffah yang menjadi landasan kehidupan. Islam memposisikan pendidikan sebagai mashalih asasiyah (kebutuhan mendasar) umat, bukan sekadar kebutuhan sampingan. Karena tanpa pendidikan, martabat manusia tidak akan mulia. 

Maka sudah menjadi kewajiban bagi Daulah Khilafah Islam untuk membuka dan membangun sekolah dasar, menengah, maupun atas dalam jumlah yang memadai sesuai dengan jumlah rakyat yang akan belajar. Khilafah  juga membuka pintu pendidikan seluas-luasnya bagi seluruh lapisan masyarakat dengan biaya sangat murah,bahkan gratis tanpa dipungut biaya sepeserpun. Khilafah juga wajib memenuhi dan melengkapi sarana prasarana yang mumpuni  dengan fasilitas mutakhir di setiap jenjang pendidikan. 

Lantas dari mana biayanya? Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah  untuk membiayai sektor pendidikan.

Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, maka Daulah tidak perlu menarik pungutan apa pun dari rakyat. Kalaupun harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka Daulah meminta sumbangan sukarela dari kaum Muslimin. Jika sumbangan kaum Muslim juga tidak mencukupi, barulah Daulah menarik pungutan kepada kaum muslimin. Itupun sebagai opsi terakhir. 

Dalil yang menunjukkan bahwa pendidikan bebas biaya menjadi tanggung jawab khilafah Islam berdasarkan ijma' sahabat ,yang memberi gaji kepada pengajar dari Baitul Maal dengan jumlah tertentu. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, bahwasanya  ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji 15 dinar (kurang lebih 63,75 gram emas) setiap bulan. 

Rasulullah pun menentukan tebusan tawanan perang Perang Badar berupa keharusan mengajar sepuluh kaum muslimin. Ini menunjukkan bahwa masalah pendidikan menyangkut hajat hidup rakyat yang vital  menjadi tanggung jawab negara. 

Adapun dalil syara' yang menjadi dasar bahwa negara mempunya kewajiban memelihara, mengatur, dan  melindungi urusan rakyat adalah sabda Rasulullah ﷺ :

"Seorang imam(pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya. (HR.Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Umar).

Begitulah Islam mengaturnya sedemikian rupa. Bukan seperti sekarang, hanya kalangan tertentu yang bisa mengakses pendidikan dengan fasilitas mumpuni, sedangkan

yang lain harus tersungkur di kolong-kolong jembatan.

Tugas negara bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan mencederakan akal sehat anak bangsa demi melanggengkan  kapitalisme menguasai negara. Jika PPN pendidikan jadi  diberlakukan, harap maklum adanya.


Oleh : Nurina P. Sari


Posting Komentar

0 Komentar